3 Februari 1933: Momentum kebangkitan pejuang maritim bangsa Indonesia

Memang tak pernah tertulis dalam sejarah mengenai pemberontakan pelaut bangsa Indonesia di kapal perang kebanggaan Belanda, De Zeven Provincien atau biasa disebut Kapal Tujuh. Peristiwa yang terjadi pada 3 Februari 1933 itu  menjadi bukti pelaut bangsa ini di masa kolonial memiliki keberanian luar biasa dalam memperjuangkan harkat dan martabatnya.

Update: 2024-02-03 06:11 GMT
Sumber foto: https://urlis.net/hix8pwdz/elshinta.com.

Elshinta.com - Memang tak pernah tertulis dalam sejarah mengenai pemberontakan pelaut bangsa Indonesia di kapal perang kebanggaan Belanda, De Zeven Provincien atau biasa disebut Kapal Tujuh. Peristiwa yang terjadi pada 3 Februari 1933 itu  menjadi bukti pelaut bangsa ini di masa kolonial memiliki keberanian luar biasa dalam memperjuangkan harkat dan martabatnya.

Beberapa tahun sebelum peristiwa ini meletus, memang pemerintah Kolonial Hindia Belanda sudah banyak mendidik pelaut pribumi dengan tujuan untuk mencari tenaga pelayaran yang terdidik namun murah upahnya. Sama halnya dengan pendirian STOVIA (Sekolah Kedokteran-red) yang merupakan sekolah yang dapat diikuti kaum pribumi. Meskipun pada saat itu tetap saja hanya kaum ningrat pribumi yang dapat bersekolah di situ. Tujuannya sama, yaitu mencari tenaga medis terdidik lagi murah.

Di dunia kemaritiman, Angkatan Laut Kerajaan Belanda, Koninklijke Marine, telah mendidik para pelaut-pelaut pribumi yang akan ditempatkan sebagai pembantu (ABK) di kapal-kapal milik Belanda. Sejatinya memang tidak ada perbedaan antara tenaga pelayaran untuk armada niaga dengan armada tempur. Keduanya selalu berjalan bersamaan, antara kapal perang yang selalu mengawal kapal niaga dan sebaliknya kapal niaga menyuplai kebutuhan yang diperlukan oleh kapal perang.

Maka dari itu sudah status tenaga pelayaran dalam kapal niaga pun seperti tentara (Angkatan Laut). Diprediksi, menurut catatan Kasubsidjarah Dinas Penerangan Angkatan Laut (Dispenal) Kolonel Laut (P) Rony Turangan sudah ada 1500 orang pribumi yang dididik oleh Koninklijke Marine dan berstatus sebagai prajurit pembantu di masa itu. Mereka juga mendirikan organisasi, antara lain Inlandsche Marine Bond (IMB) dan Cristelyke Inlandsche Matrozen Bond (CIMB). Melalui organisasi-organisasi inilah para pemuda maritim atau pemuda bahariawan bangsa Indonesia telah berhasil membangkitkan kesadaran nasional untuk mempertebal semangat cinta tanah air dan jiwa kebaharian.

Di kemudian hari kita dapat mengenal Mas Pardi, Laksdya R Soebijakto, dan Laksda John Lie adalah beberapa orang Indonesia yang pernah dididik di Koninklijke Marine dan jebolan organisasi-organisasi tersebut. Seiring perjalanan waktu, tepatnya 12 tahun sebelum Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia 17 Agustus 1945, yaitu pada 3 Februari 1933 telah terjadi momentum besar bagi kebangkitan perjuangan bahariawan Indonesia, di mana meletus pemberontakan para pelaut Indonesia di Kapal Tujuh. Ini menjadi perlawanan pertama para pelaut Indonesia setelah kemunculan istilah “Bangsa Indonesia’ pada 28 Oktober 1928 dalam Sumpah Pemuda.

Sebelumnya, perlawanan bangsa Nusantara di laut banyak tercatat dalam peristiwa Pati Unus menyerang Selat Malaka, perlawanan Sultan Hassanudin di Bone, Sultan Ageng Tirtayasa di Banten, Sultan Mahmud Badarudin di Palembang, Raja Haji di Kepri, Sultan Nuku di Tidore dan masih banyak lagi yang semuanya mencerminkan pertempuran di laut Nusantara dalam mempertahankan kedaulatannya dari ancaman penjajah.

Pemberontakan ABK Indonesia Kapal Tujuh ini merupakan pertempuran laut pertama di era modern (abad 20) di Indonesia. Terlebih setelah kemunculan bangsa baru yang bernama Indonesia. Perlawanan yang kemudian memberi banyak dampak perjuangan bagi bangsa Indonesia hingga saat ini, terutama dalam semangat kebaharian untuk mempertahankan kehormatannya.

Peristiwa itu bermula dari kebijakan Pemerintah Kolonial yang menurunkan gaji pegawai sebesar 17 persen sejak 1 Januari 1933. Alasan kebijakan tersebut, pemerintah mengalami defisit anggaran pasca-terjadinya krisis ekonomi dunia. Maka dari itu, kemudian terjadi pemogokan besar yang dilakukan anggota Korps Marinir pribumi Angkatan Laut Belanda pada 3 Februari 1933 di Surabaya.

Sementara itu para pelaut Kapal Tujuh yang mendengar informasi itu dari radio menyatakan simpati dan dukungannya terhadap rekan-rekannya yang melakukan aksi di Surabaya. Akibatnya, Kapal Tujuh yang sedang berada di perairan Sumatera sekitar Aceh juga mengalami hawa panas di antara awak-awak kapalnya. Terutama kesenjangan antara pelaut Belanda dan pelaut pribumi.

Kendati demikian, ada beberapa pelaut Belanda yang bersimpati dengan perasaan para pelaut pribumi, seperti yang dilakukan oleh Moud Boshart dan kawan-kawannya. Mereka pun akhirnya aktif bersama pelaut pribumi seperti J.K Kawilarang, Paradja, Gosal dan Hendrik untuk mengadakan rapat-rapat rahasia menggulirkan rencana pemberontakan.

Gejala itu pun sudah tercium oleh para pelaut Belanda termasuk Komandan Kapal Tujuh, Eikenboom. Dia sudah mewanti-wanti dengan ancaman bila ada ABK Kapal Tujuh yang melakukan aksi seperti para pelaut pribumi di Surabaya. Alhasil, ancaman itu bukan membuat para pelaut Indonesia gentar melainkan semakin menggelora dan meluas pada seluruh ABK Indonesia.

Aksi Pemberontakan

Pada saat Kapal Tujuh sandar di Dermaga Sabang, Paradja dan Rumambi mendorong sebuah pertemuan di darat. Hadir dalam pertemuan itu, antara lain Gosal, Kawilarang, Kaunang, Posuma, Hendrik, Sudiana, Supusepa, Luhulima, Abas, Tuanakotta, Pelupessy, Delakrus, Suparjan, Achmad, Tuhumena, J Parinusa dan Manuputi. Hadir pula Moud Boshart dan pelaut-pelaut Belanda yang setuju dengan rencana pemberontakan.

Dalam rapat itu telah disetujui bahwa aksi perlawanan dimulai saat para pelaut Belanda mengadakan pesta di kantin KNIL di Uleelheue, Aceh. Pesta yang menghamburkan uang 500 gulden untuk menyewa nona-nona yang akan dihidangkan ke pelaut pribumi itu dinilai jadi momentum yang tepat karena kondisi itu para pelaut Belanda akan lengah.

Malam 4 Februari 1933, saat mereka berpesta di darat, para pelaut Indonesia dan beberapa pelaut Belanda yang sepakat dengan pergerakan ini langsung membajak kapal dan menahan siapa pun yang ada di dalamnya. Ketika seorang Letnan kembali ke kapal, terkejutlah kala melihat perwira jaga kapal tewas di tangga kapal. Ternyata dalam waktu seketika, kapal sudah dikuasai oleh marinir Indonesia yang bersenjata lengkap di bawah pimpinan Martin Paradja dan Gosal. Dalam pemberontakan itu, semua marinir Indonesia sehati untuk melayarkan Kapal Tujuh kembali ke Surabaya.

Kenyataan ini merupakan tamparan bagi rasa sombong orang Eropa yang menganggap bahwa orang Indonesia hanyalah pekerja rendahan yang bisa dibohongi. Tanpa mengikuti sekolah pelayaran pun, ternyata kelasi Paradja mampu memimpin pelayaran ini. Hal ini sangat merendahkan para perwira Belanda. Keesokan harinya, opsir Belanda mencoba berunding untuk mengambil hati marinir Indonesia yang telah menjadi majikan di kapal perang Belanda itu.

Upaya perundingan ditolak oleh para pemberontak. Sementara Gubernur General De Jonge di Batavia segera mengirimkan pasukan dengan kapal perang Aldebaran, Martin Paradja pun kemudian memerintahkan Kawilarang untuk  membidikkan meriam kaliber 15 cm guna mengancam Aldebaran.

Pada hari kelima setelah melewati Selat Siberut, masuk telegram untuk mengikuti perintah di bawah pengawasan Kapal Penjelajah Java, tetapi Martin Paradja pemimpin Kapal Tujuh lagi-lagi menolak mentah-mentah perintah ini dan membalas telegram, “Tetap berlayar ke Surabaya.” Komandan Kapal Perang Java, Kapten Van Dulm, terus membuntuti Kapal Zeven Provincien.

Ia juga memberi ultimatum agar pemberontak segera menyerah dan mengibarkan bendera putih. Akan tetapi, peringatan tersebut tidak dipedulikan oleh para pemberontak. Akhirnya, Van Dulm mengambil tindakan kekerasan untuk menghentikan pemberontakan tersebut.

Akhir Perlawanan

Pada Jumat, 10 Februari 1933, tepat Jam 09.18 pagi, bom pertama dijatuhkan dari pesawat terbang militer Dornier, tepat di atas geladak Kapal Zeven Provincien, menewaskan 20 awak Indonesia dan tiga awak Belanda. Pemimpin pemberontakan Martin Paradja termasuk yang tewas dalam pengeboman itu. Melihat banyak korban yang bergelimpangan, Kawilarang yang mengganti posisi Paradja sebagai pemimpin, akhirnya menyatakan menyerah dan meminta bantuan medis segera. Akan tetapi ada versi lain yang menyebutkan Martin Paradja selamat dan berhasil meloloskan diri, hingga kembali ke kampung asalnya di daerah Sawu, NTT.

Kisah lain pun menyebutkan, Martin Paradja sempat bertemu Soekarno saat di buang ke Ende, Flores. Di sana ia membantu Soekarno dalam hal pengiriman surat ke Jawa. Sementara itu, nasib Kawilarang beserta anak buahnya ketika menyerah, divonis 644 tahun penjara oleh Mahkamah Militer. Mereka ada yang dipenjarakan di Sukolilo, Madura, dan Pulau Onrust. Beberapa pelaut Belanda yang membantu perjuangan pelaut Indonesia seperti Moud Boshart juga dijatuhi hukuman penjara.

Dalam peristiwa ini, dukungan para tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno dan Dr Soetomo juga mengalir kepada para pelaku pemberontakan. Tidak salah kemudian jika Belanda mengaitkan peristiwa ini karena akibat ulah tokoh-tokoh pergerakan yang menggelorakan nasionalisme sebagai semangat perlawanan terhadap Belanda.

Ketika kemerdekaan, para pelaut dilepas dari Penjara Sukolilo dan mendirikan Ikatan Bekas Marine, dan selalu memperingati gerakan mereka pada setiap tanggal 3 Februari dengan menyanyikan lagu ‘Mars Sukolilo’. Andre Therik, seorang pelaku mengatakan, “Penurunan gaji hanya momentum bagi meletusnya pemberontakan itu. Para pelaut Indonesia yang sudah bermimpi akan kemerdekaan Indonesia yang mendorong kami memberontak.”

Walau pemberontakan hanya berlangsung seminggu, tetapi dampaknya sangatlah besar. Implikasinya di dalam negeri, kebanggaan nasional makin menjalar. Organisasi pergerakan yang tersebar menyatu dalam Parindra (Partai Indonesia Raya) pimpinan dokter Soetomo, yang kemudian mendapat tekanan dan dibreidel.

Selain beberapa media dibreidel, tokoh-tokoh politik seperti Hatta dan Sjahrir dibuang ke Boven Digul, menyusul Soekarno dibuang ke Ende. Pengawasan terhadap gerakan politik diperketat. Di luar negeri, Belanda sangat merasa malu, apalagi Jerman dan Jepang dapat mengukur kelemahan Angkatan Laut Kerajaan Belanda, karena peristiwa itu terjadi di ambang Perang Dunia II.

Media Jepang bahkan mengutip ucapan Kawilarang setelah dijatuhi hukuman 17 tahun, “Dihukum mati pun saya merasa bangga, karena bagaimanapun saya pernah memimpin De Zeven Provincien, kapal perang kebanggaan Kerajaan Belanda.”

Usulan Hari Maritim Nasional

Beberapa polemik terkait penetapan Hari Maritim saat ini dilakukan oleh pemerintah. Melalui Kemenko Maritim dan SD beberapa usulan terkait Hari Maritim pun bermunculan. Salah satu yang diusulkan ialah pada tanggal 3 Febuari ini, sebagai tanggal meletusnya peristiwa pemberontakan Kapal Tujuh, yang merupakan perlawanan pertama di era modern menjelang Perang Dunia II.
    
Kolonel Laut (P) Rony Turangan beranggapan, “kalau memang harus diukur pada hari pertempuran maka tanggal 3 Februari ini lah yang cocok. Karena peristiwa itu terjadi jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan. Dan belum banyak juga anak bangsa yang tahu keberadaan peristiwa tersebut. Karena nyaris tidak pernah ada yang menyinggung dalam pelajaran sejarah”.

Selanjutnya para pemimpin perlawanan yang legendaris namanya seperti Martin Paradja dan JK Kawilarang pun diusulkan agar menjadi Pahlawan Nasional, kemudian dikenang oleh generasi saat ini dan mendatang. Tercatat atau tidak tercatat tentunya bukan itu maksud dan tujuan perjuangan mereka. Bukan pula, ruh mereka menuntut untuk dijadikan pahlawan, tetapi mereka hanya menuntut akan kemajuan maritim bangsa Indonesia yang telah digelorakan dan diperjuangkan dengan penuh martabat dan kebanggaan itu.

Dan mereka pun hanya menuntut kepada generasi saat ini agar perjuangannya senantiasa diteruskan demi Jayanya Maritim Indonesia!

Tags:    

Similar News