16 Februari 1967: Mengenang kecelakaan pesawat komersial pertama di Era Orba
Situasi politik nasional pada permulaan tahun 1967 masih memanas seiring proses peralihan kekuasaan. Meskipun Sukarno belum bersedia lengser dari kursi kepresidenan, sebenarnya rezim Orde Baru di bawah komando Soeharto sudah dimulai sejak beberapa bulan sebelumnya.
Elshinta.com - Situasi politik nasional pada permulaan tahun 1967 masih memanas seiring proses peralihan kekuasaan. Meskipun Sukarno belum bersedia lengser dari kursi kepresidenan, sebenarnya rezim Orde Baru di bawah komando Soeharto sudah dimulai sejak beberapa bulan sebelumnya.
Di tengah riuhnya suasana politik di Jakarta jelang kekuasaan Sukarno benar-benar tamat, terdengar kabar mengejutkan dari belahan timur Indonesia. Pada 16 Februari 1967, pesawat Garuda Indonesia penerbangan 708 mengalami kecelakaan saat mendarat di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara. Sebanyak 22 penumpang tewas dalam musibah tersebut.
Ini merupakan kecelakaan pesawat yang menimpa maskapai penerbangan Indonesia pertama sejak Republik ini berdiri. Dan peristiwa memilukan itu terjadi saat Soeharto sedang membangun pondasi awal kekuasaannya.
Penerbangan 708 milik Garuda Indonesia Airways bertolak dari Jakarta pada 15 Februari 1967 tengah malam. Tujuan akhir pesawat bernama “Candi Borobudur” ini adalah Bandara Sam Ratulangi di Manado. Namun, ia akan singgah sejenak terlebih dulu di Surabaya dan Makassar.
Sejak mula, proses penerbangan memang sudah sarat rintangan. Akibat cuaca buruk, pilot kesulitan mendaratkan pesawatnya di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Pesawat terpaksa kembali ke Bandara Juanda dan bertahan semalam di Surabaya hingga cuaca sedikit membaik.
Keesokan harinya, tanggal 16 Februari 1967 pukul 05.21 WIB, pesawat terbang lagi dan sukses mendarat di Makassar dengan selamat. Tinggal satu lagi rute yang harus ditempuh, yakni Manado sebagai tujuan akhir.
Dari Makassar di Sulawesi Selatan, pesawat mengudara kembali menuju Manado yang terletak di ujung utara Pulau Celebes. Cuaca di atas Kota Manado saat itu sebenarnya tidak terlalu buruk, hanya berawan, bukan hujan apalagi badai.
Berdasarkan rekaman data dari Aviation Safety Network, pesawat tersebut berada pada ketinggian 900 kaki dan pilot memiliki jarak pandang sejauh 2 kilometer. Namun, pendaratan yang dilakukan ternyata tidak berjalan mulus, bahkan berakhir dengan tragedi.
Begitu roda menyentuh landasan Bandara Sam Ratulangi, pesawat mendadak oleng dan meluncur ke arah kanan, melenceng dari jalur lintasan. Hidung Garuda menghantam tanah dengan keras. Wahana udara buatan Amerika Serikat ini pun tumbang sebelum meledak dan terbakar.
Dari total 92 orang yang berada di dalam pesawat, termasuk kru, 22 penumpang meninggal dunia. Sementara kru yang berjumlah 8 orang seluruhnya selamat.
Dikutip dari buku Hartono: Jenderal Marinir di Tengah Prahara (2015) karya sejarawan Petrik Matanasi, ada seorang perwira marinir Korps Komando Angkatan (KKO-AL) yang tewas dalam kecelakaan tersebut, yaitu Mayor Engelbert William Antonius Pangalila (hlm. 29).
Kisah pilu Pangalila ini terbilang heroik. Nyawa sang marinir bisa saja selamat jika ia segera melompat keluar. Saat pesawat limbung, Pangalila sudah bersiap di pintu. Namun, lantaran mendengar teriakan minta tolong, ia kembali ke dalam untuk menolong penumpang lain. Sayang, Pangalila justru tidak lolos dari maut karena pesawat keburu meledak.