Di tengah gempuran AI, angkatan puisi esai justru tumbuh dan menguat

Ketika teknologi kecerdasan buatan (AI) mengubah lanskap sastra dan budaya baca global. Puisi esai satu bentuk sastra justru menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Genre yang menggabungkan puisi, esai, dan refleksi sosial ini tidak hanya bertahan, tetapi berkembang menjadi gerakan sastra yang memiliki daya jangkau lintas zaman.\r\n\r\n

Update: 2025-06-20 18:43 GMT
Sumber foto: Radio Elshinta/ Rizky Rian Saputra

Elshinta.com - Ketika teknologi kecerdasan buatan (AI) mengubah lanskap sastra dan budaya baca global. Puisi esai satu bentuk sastra justru menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Genre yang menggabungkan puisi, esai, dan refleksi sosial ini tidak hanya bertahan, tetapi berkembang menjadi gerakan sastra yang memiliki daya jangkau lintas zaman.

Fenomena ini diangkat dalam konferensi pers bertajuk “Lahirnya Angkatan Puisi Esai: Sastra di Era AI & Puisi Esai Goes to Germany”, yang digelar di sebuah kafe kawasan Mahakam, Jakarta Selatan, Jumat (20/6/2025).

Acara dibuka dengan pembacaan puisi esai oleh Monica JR, dan dilanjutkan sambutan dari penggagas puisi esai, Denny JA. Dalam pemaparannya, Denny menyampaikan bahwa era AI membawa perubahan besar dalam cara manusia mengakses dan mengonsumsi sastra.

Menurut data National Endowment for the Arts (NEA) di Amerika Serikat, pembaca novel dan cerpen menurun dari 45,2% pada 2012 menjadi 37,6% pada 2022. Pembaca puisi turun dari 11,7% (2017) ke 9,2% (2022). Di Indonesia, LSI Denny JA (2024) mencatat hanya 16% masyarakat membaca satu buku sastra per tahun.

Meski demikian, puisi esai tumbuh di tengah perubahan itu. Sejak diperkenalkan pada 2012, genre ini telah menghasilkan lebih dari 200 buku. Sejak 2021, setiap tahun terbit 20–25 judul puisi esai baru. Festival puisi esai digelar rutin di Indonesia dan kawasan ASEAN, bahkan kini disiapkan dana abadi untuk menjamin keberlanjutan gerakan ini selama 50 tahun ke depan.

“Yang bukan penyair boleh ambil bagian,” adalah slogan yang menyertai gerakan ini. Dengan format naratif dan reflektif, puisi esai memberi ruang bagi siapa pun untuk menulis, terutama generasi muda dengan pendekatan yang lebih terbuka dan komunikatif.

Sementara itu, Dua sastrawan Indonesia, Agus R. Sarjono dan Ahmad Gaus AF, menjadi pembicara utama. Sastrawan Ahmad Gaus menjelaskan bahwa puisi esai kini bisa disebut sebagai sebuah angkatan sastra baru. Merujuk pada konsep H.B. Jassin, ia menyebutkan bahwa puisi esai memenuhi indikator penting: adanya kesamaan visi estetika, momen kolektif dalam karya, dan kesadaran generasional.

“Kita mengenal Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 45, Angkatan 66, hingga Angkatan 2000. Sekarang, seluruh indikator itu ada pada puisi esai,” ujar Gaus.

Sementara Agus R. Sarjono menambahkan lima ciri utama Angkatan Puisi Esai:
    1.    Dirumuskan sebagai genre dengan struktur estetika dan partitur yang khas.
2.    Lahir dari satu tokoh tunggal, Denny JA.
3.    Didukung ekosistem sastrawi: buku, festival, dan dana abadi.
4.    Kolaboratif dengan AI sebagai respons terhadap era digital.
5.    Memberi dampak nasional dan internasional.

Ke depan, katanya, puisi esai juga akan melangkah ke panggung global. Sebab pada September 2025 mendatang, genre ini akan diperkenalkan dalam 5th Conference for Asian Studies di Bonn, Jerman, melalui makalah yang disampaikan oleh Agus R. Sarjono dan disebarluaskan lewat jurnal Orientierungen. Kolaborasi sastra internasional juga tengah dijajaki, termasuk dengan Tiongkok dan komunitas sastra global lainnya.

Dengan itu, puisi esai hadir bukan sebagai pelarian dari kenyataan, tetapi justru sebagai cermin yang jujur dan reflektif. Dalam dunia yang dipenuhi informasi singkat dan visual instan, puisi esai menyajikan kedalaman dengan cara yang relevan dan menyentuh, seperti yang dilaporkan Rizky Rian Saputra.
 

Tags:    

Similar News