9 hari di bawah reruntuhan, Tim SAR merayap 8 meter selamatkan santri Al-Khoziny
Basarnas berpacu dengan waktu dan bahaya runtuhan susulan untuk menemukan setiap nyawa yang masih bertahan

Basarnas resmi mengakhiri operasi pencarian dan penyelamatan korban ambruknya bangunan mushola Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo Jawa Timur, Selasa (7/10/2025) Foto : Dokumentasi BNPB
Basarnas resmi mengakhiri operasi pencarian dan penyelamatan korban ambruknya bangunan mushola Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo Jawa Timur, Selasa (7/10/2025) Foto : Dokumentasi BNPB
Sembilan hari penuh perjuangan. Itulah yang dialami tim Basarnas Surabaya dalam operasi pencarian dan pertolongan korban runtuhnya bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny, Sidoarjo, Jawa Timur. Di balik keberhasilan menyelamatkan santri dari reruntuhan, tersimpan kisah heroik, ketegangan, dan ketulusan kemanusiaan dari para petugas yang mempertaruhkan nyawa mereka di antara beton dan debu.
Kepala Kantor Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Kelas A Surabaya, Nanang Sigit, menceritakan proses penyelamatan yang penuh tantangan itu dalam wawancara Program Edisi Pagi News & Talk Radio Elshinta, Rabu (8/10/2025)
“Hari pertama operasi pencarian kami langsung asesmen, memetakan posisi korban dan menandai posisi korban yang masih hidup. Kami bagi lokasi dan tim menjadi empat sektor, sektor A1 hingga A4, untuk mempercepat pencarian dan penyelamatan,” ungkap Nanang.
Dengan peralatan terbatas dan kondisi bangunan yang masih labil, tim Basarnas bekerja ekstra hati-hati. Getaran sedikit saja bisa memicu reruntuhan susulan. “Kami tidak bisa pakai alat berat karena khawatir bangunan makin ambruk. Jadi semua dilakukan manual, perlahan, dan penuh perhitungan,” tambahnya.
Merayap di terowongan diameter 50 sentimeter
Di bawah tumpukan beton setinggi empat lantai, para petugas harus merayap di ruang selebar 50 sentimeter untuk mencapai korban di lantai dasar. Upaya itu memerlukan waktu berjam-jam bahkan berhari-hari.
“Kami merayap membuat akses sambil membobol beton menggunakan alat ekstrikasi elektrik dengan hati-hati agar tidak ada pergerakan struktur bangunan yang bisa membahayakan tim dan korban. Karena terlalu sempit, kami hanya bisa bergerak sedikit demi sedikit,” ujarnya.
Dalam satu misi penyelamatan, Nanang menyebut, timnya harus membuat terowongan sepanjang delapan meter di bawah reruntuhan untuk mencapai dua korban yang masih hidup. “Kami suplai oksigen, beri asupan minum, dan makanan kecil supaya mereka bisa bertahan. Kami membuat semacam kanal ke bawah dengan membobol lantai untuk menjangkau korban. Setelah enam jam kerja keras, baru bisa dievakuasi,” katanya.
Salah satu momen paling menggetarkan adalah ketika tim harus memutuskan amputasi darurat terhadap seorang santri yang terjepit beton.
“Kami koordinasi dengan dokter spesialis. Tangannya rusak parah, dan kalau dibiarkan bisa infeksi sampai ke jantung. Akhirnya disepakati dilakukan amputasi di lokasi,” jelas Nanang dengan suara berat.
Dengan ruang sempit dan pencahayaan minim, seorang dokter harus merayap masuk bersama tim Basarnas untuk melakukan tindakan penyelamatan. “Kami tetap dampingi korban selama proses itu. Tidak ada korban yang dibiarkan sendirian,” ujarnya.
Antara hidup dan mati, antara batu dan doa
Kisah lain yang tak kalah memilukan terjadi saat tim menemukan korban hidup di balik tubuh temannya yang sudah meninggal dunia.
“Kami tidak bisa langsung angkat korban yang meninggal karena tubuhnya justru menahan reruntuhan. Kalau kami keluarkan, beton bisa turun dan menimpa korban yang masih hidup. Jadi kami cari cara lain, bikin lorong dari bawah,” tutur Nanang.
Sembari bekerja di ruang pengap, petugas terus memberi motivasi verbal kepada korban dengan bahasa yang mudah dipahami. “Kami ajak bicara, kami bilang ‘sebentar lagi kami bantu, tetap kuat, tetap semangat’. Komunikasi itu penting untuk menjaga mereka tidak panik dan tetap berharap,” katanya.
Proses keluar masuk tim penyelamat pun tak kalah berisiko. “Kalau mau keluar, sering kali teman di belakang harus menarik kaki kami. Aksesnya sempit, jadi hanya satu orang bisa lewat,” jelas Nanang sambil menggambarkan bagaimana tali dan kerja sama antarpetugas menjadi penyelamat hidup mereka sendiri.
Dalam kondisi ekstrem, tim Basarnas tak hanya bertugas secara teknis, tapi juga menghadapi dilema emosional antara menyelamatkan korban dan menjaga nyawa sendiri karena struktur bangunan yang labil sehingga cukup besar resikonya. “Kami paham risikonya besar. Tapi bagi kami, selama masih ada harapan hidup di dalam reruntuhan, kami akan berjuang sampai akhir,” tegas Nanang.
Operasi penyelamatan Pondok Pesantren Al-Khoziny bukan hanya soal kemampuan teknis, tapi juga uji keteguhan hati dan solidaritas kemanusiaan.
“Kami hanya berharap, setiap nyawa yang tertolong menjadi bukti bahwa tak ada usaha sia-sia bagi kemanusiaan, saat korban berhasil dievakuasi kemudian disambut haru keluarga, kami pun turut meneteskan air mata,” tutup Nanang menutup wawancara
Setelah 9 hari, Basarnas resmi mengakhiri operasi pencarian dan penyelamatan korban ambruknya bangunan mushola Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo Jawa Timur, Selasa (7/10/2025). Tim SAR gabungan berhasil mengevakuasi total 171 orang terdiri dari 104 korban selamat dan 67 korban meninggal dunia. Dari jumlah korban meninggal, delapan di antaranya ditemukan dalam bentuk bagian tubuh.