Animasi karya mahasiswa “Ikan Mas Tur Dedari” viral di jagat maya

Film Jumbo (2025) film bergenre fantasi animasi telah ditonton 8 juta penonton dalam sebulan penayangannya di bioskop. (ANTARA/HO-Visinema (poster film teatrikal).)
Film Jumbo (2025) film bergenre fantasi animasi telah ditonton 8 juta penonton dalam sebulan penayangannya di bioskop. (ANTARA/HO-Visinema (poster film teatrikal).)
Karya film animasi pendek mahasiswa Sekolah Tinggi Multi Media ST-MMTC Yogyakarta, Aditistya, mendadak viral. Ini menandakan masa depan animasi sangat menjanjikan sebagai penggerak ekonomi kreatif. Kesuksesan karya, seperti “Jumbo” dan “Ikan Mas Tus Dedari” menegaskan bahwa animator lokal, termasuk talenta muda, seperti Aditistya, mampu menghasilkan karya berkualitas, dan diterima pasar domestik dan global.
Film nimasi berjudul “Ikan Mas Tur Dedari” menarik perhatian warganet melalui akun Instagram @adhismengaqak dan TikTok, berkat kualitas visual memukau dan sangat detail.
Aditistya, dikenal sebagai Adhis di media sosial, fokus pada animasi 2D dan 3D dengan kurikulum yang menekankan kreativitas, inovasi, dan etika profesi. Animasi ini merupakan proyek tugas akhir yang diproduksi dengan rumit, melibatkan ribuan frame yang digambar, di-render, dan disusun cermat. Karya ini menonjol karena visual setara standar internasional serta cerita yang mengakar pada budaya Bali.
Tidaklah mudah, proses produksi menghadapi tantangan, seperti trial and error, revisi berulang, dan kelelahan akibat begadang untuk memenuhi tenggat waktu. Namun, tantangan terbayar dengan respons positif dari warganet, yang memuji detail visual dan narasi tajam. Banyak yang berharap karya ini diikutsertakan dalam festival film animasi internasional, menunjukkan potensinya dapat bersaing global.
Karya “Ikan Mas Tur Dedari” menjadi fenomena di TikTok dan Instagram, di mana cuplikan animasinya mendapat pujian atas keindahan visual dan kedalaman cerita. Warganet menilai ini sebagai bukti kreativitas anak muda Indonesia mampu bersaing dengan produksi internasional, meski sumber daya terbatas.
Film animasi ini mencerminkan kekayaan budaya Bali dan Yogyakarta sebagai pusat seni Indonesia. Sebelumnya, karya mahasiswa ST-MMTC, seperti “Rangda Awaken” oleh Romario Manggala dan “Neo Batavia” oleh Birama Doni mendapat apresiasi dari CEO Brando Villa Lemon Sky, Ken Lai, yang menyebut karya MMTC sebagai terbaik di Indonesia. Karya-karya ini ditampilkan dalam acara musim akademik, seperti Gelar Karya Animasi dan peluncuran MMTC Animation Community (MAC), yang menjadi wadah memamerkan karya audio-visual dan grafis. Acara ini juga ajang bertukar pengalaman dengan animator lain, meningkatkan percaya diri, dan memperbaiki kualitas karya.
Industri film animasi Indonesia menunjukkan potensi besar menjadi pilar ekonomi kreatif, didukung pertumbuhan pesat, talenta lokal kompetitif, dan kemajuan teknologi. Berdasarkan data Asosiasi Industri Animasi Indonesia (AINAKI), dalam satu dekade, industri ini tumbuh 153 persen dengan rata-rata tahunan 26 persen dan potensi pendapatan Rp600 miliar hingga Rp800 miliar. Kesuksesan film “Jumbo” (2025) dengan lebih dari 10 juta penonton dan pendapatan domestik Rp252,8 miliar menunjukkan animasi lokal dapat bersaing dengan genre lain, bahkan melampaui film horor, seperti “KKN di Desa Penari” dan komedi “Agak Lain”.
Permintaan global dan ekspor film animasi Indonesia menembus pasar internasional, diekspor ke Asia Timur, Eropa, Amerika Utara, dan Timur Tengah. “Jumbo” direncanakan tayang di 32 negara, seperti Rusia, Malaysia, dan Jepang, menunjukkan film ini punya daya saing global. Kolaborasi internasional, termasuk keterlibatan animator Indonesia di proyek Hollywood dan grup musik, seperti Coldplay, memperkuat reputasi talenta lokal. Tren Virtual YouTuber (VTube) membuka peluang, dengan pasar global diprediksi USD12,265 juta pada 2028.
Sementara itu kemajuan teknologi CGI, AI, VR, dan AR merevolusi produksi, memungkinkan visual lebih realistis dan efisien dalam memproduksi film animasi. Perusahaan lokal, seperti Sagara Technology, Nodeflux, dan Dattabot, mendukung melalui cloud computing, big data, dan AI, berkeinginan membantu studio menciptakan karya internasional dengan biaya terkendali. Ini akan mendorong peningkatan penggunaan AI untuk animasi, sehingga mempercepat proses dan mengurangi ketergantungan manual. Belum lagi dukungan platform streaming, seperti GoPlay, Netflix, dan Disney, yang membuka ruang distribusi global. Media sosial TikTok dan Instagram menjadi wadah promosi efektif, seperti viralnya karya Aditistya.
Dukungan investor
Produksi film animasi 3D membutuhkan waktu lama dan biaya besar. Film “Jumbo”, misalnya, melibatkan 420 animator selama lima tahun dengan biaya di bawah Rp30 miliar, tapi investor ragu karena risiko finansial jika gagal.
Kurangnya insentif untuk produksi film animasi dari pemerintah dan perbankan, termasuk Infrastruktur, seperti studio modern, fasilitas pengeditan, dan peralatan canggih terbatas, akan menghambat karya berkualitas. Belum lagi ancaman persaingan global dari animasi Jepang (Naruto, Doraemon) dan Barat (Pixar, Disney) yang terus memperburuk. Faktor lain adalah stigma animasi lokal hanya untuk anak-anak, sehingga membatasi penonton, dan pendapatan tidak stabil karena bergantung libur sekolah.
Apalagi distribusi film animasi ke bioskop atau streaming sering terhambat. Banyak animator berbakat migrasi ke luar negeri, seperti Malaysia, Jepang, atau Hollywood, untuk karir dan gaji lebih baik, melemahkan industri loka,l meski di lain sisi menunjukkan kualitas SDM Indonesia di tingkat global. Ke depan, film animasi 3D akan mendominasi, didukung AI, VR, dan AR. Studio, seperti Visinema Pictures dan MSV Pictures, juga akan menghasilkan karya berkualitas, mengikuti “Jumbo” dan “Battle of Surabaya”.
Kolaborasi dengan studio internasional dan perusahaan teknologi lokal, seperti Telkom Indonesia atau Nodeflux, akan menjadi titik temu masalah produksi dan distribusi film animasi lokal. Kerja sama lintas negara juga harus dilakukan guna meningkatkan skala, seperti rencana pemutaran “Jumbo” di 32 negara
Pemerintah via Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) perlu memfasilitasi insentif, dana, dan infrastruktur untuk perkembangan industri film animasi ini. Program pendidikan ST-MMTC Yogyakarta, AMIKOM, atau UNESA Magetan yang mencetak alumni bertalenta harus terus didukung. Inisiatif “Making Indonesia 4.0” juga dapat didorong untuk integrasi AI dalam film animasi. Film animasi “Jumbo” dan “Ikan Mas Tus Dedari” telah menggeser persepsi dan menunjukkan bahwa animasi lokal juga relevan untuk semua usia. Maka perlu kampanye promosi agresif untuk memperluas basis penonton domestik dan internasional, termasuk melalui diversifikasi media dan konten
*) Dr Eko Wahyuanto adalah dosen di Sekolah Tinggi Multimedia (ST-MMTC) Komdigi Yogyakarta