BGN libatkan masyarakat bangun SPPG, tekankan efisiensi dan keamanan makanan

Wakil Kepala BGN, Sony Sonjaya. Foto : Radio Elshinta
Wakil Kepala BGN, Sony Sonjaya. Foto : Radio Elshinta
Badan Gizi Nasional (BGN) menegaskan strategi utama pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dilakukan melalui pelibatan aktif masyarakat dalam pembangunan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Sejak program berjalan pada 6 Januari 2025 hingga saat ini, tercatat sebanyak 17.676 SPPG telah berdiri dan seluruhnya dibangun oleh masyarakat.
Wakil Kepala BGN, Sony Sonjaya dalam Program Talk Highlight Radio Elshinta Selasa 16 Desember 2025 menjelaskan bahwa pada awal perencanaan pemerintah menargetkan pembangunan 1.542 SPPG yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun proses tersebut membutuhkan waktu panjang karena harus melalui tahapan lelang, pemenuhan spesifikasi peralatan, hingga administrasi lainnya. Hingga kini, lelang baru dimulai untuk sekitar 300 SPPG.
“Karena itu strategi yang diutamakan adalah partisipasi masyarakat. Masyarakat membangun sendiri dengan investasi dan fasilitas mereka, sehingga tidak ada proyek pemerintah yang rawan disalah artikan,” ujar Sony.
Menurutnya, pendekatan ini sekaligus menjadi bentuk efisiensi anggaran, sekaligus menepis tudingan adanya pemborosan atau bagi-bagi proyek. Dengan skema partisipatif, fasilitas SPPG sepenuhnya dimiliki masyarakat sehingga mendorong rasa memiliki dan tanggung jawab bersama.
Hingga 2025, program MBG telah menjangkau sekitar 50 juta penerima manfaat, meski target awal pemerintah mencapai lebih dari 82 juta anak. Angka tersebut diperkirakan masih akan meningkat seiring pendataan anak usia sekolah yang belum terjangkau, termasuk anak-anak yang tidak bersekolah atau anak jalanan. “Bagaimanapun juga, makan bergizi adalah hak seluruh anak Indonesia, baik yang sekolah maupun yang tidak sekolah,” tegasnya.
BGN juga menaruh perhatian serius pada aspek keamanan pangan. Sony memastikan seluruh SPPG wajib menerapkan standar operasional prosedur (SOP) ketat, mulai dari persiapan bahan makanan, proses memasak, hingga pendistribusian.
SOP tersebut mencakup pemisahan alat masak untuk bahan hewani dan nabati, penggunaan pisau dengan kode warna berbeda, kewajiban relawan memakai penutup kepala, masker, sarung tangan, hingga alas kaki khusus. Selain itu, sistem sanitasi juga diatur ketat, termasuk pemisahan area pencucian dan penggunaan penyaring lemak agar limbah tidak mencemari lingkungan.
BGN juga menetapkan batas waktu maksimal enam jam dari proses memasak hingga makanan dikonsumsi. Untuk menjaga kualitas, kapasitas produksi setiap SPPG dibatasi maksimal 2.500 porsi, dan dilakukan secara bertahap sejak awal operasional.
Setiap makanan yang akan didistribusikan juga wajib didokumentasikan melalui foto dan video, serta disisihkan sampel yang disimpan dalam lemari pendingin sebagai bahan pembanding jika terjadi insiden, termasuk dugaan keracunan.
“Standarnya sangat tinggi. Namun memang SOP memerlukan kedisiplinan. Ada masa transisi, terutama bagi relawan yang terbiasa memasak di rumah tanpa standar industri,” ujarnya.
BGN mengakui masih terdapat beberapa kejadian terkait konsumsi MBG, dengan puncak insiden terjadi pada Oktober lalu. Meski demikian, Sony menyebut jumlah kejadian telah menurun dan penerapan SOP di berbagai daerah terus menunjukkan perbaikan.
Suwiryo




