BGN nilai pengolahan sisa MBG berpeluang sebagai bagian ekonomi sirkular

Juru Bicara BGN, Dian Fatwa. Foto : Radio Elshinta Rizki Rian S
Juru Bicara BGN, Dian Fatwa. Foto : Radio Elshinta Rizki Rian S
Badan Gizi Nasional (BGN) menilai pengolahan limbah sisa makan (food waste) dari Program Makan Bergizi Gratis (MBG) berpotensi dikembangkan sebagai bagian dari ekonomi sirkular melalui mekanisme perdagangan karbon. Termasuk yang dilakukan oleh Jimmy Hantu Foundation di Bogor, Jawa Barat.
Juru Bicara BGN, Dian Fatwa menjelaskan bahwa perdagangan karbon dapat dilakukan melalui berbagai sektor, seperti mangrove, lahan gambut, hingga sisa makanan. Namun, menurutnya, mekanisme perdagangan karbon dari food waste relatif lebih sederhana dibandingkan sektor lainnya.
“Food waste ini lebih simpel. Ketika kita mampu melakukan dan mampu mengukur berapa emisi yang bisa kita tahan untuk tidak kita buang ke tempat sampah. Inilah nanti yang diukur badan internasional dan bisa langsung dijual di pasar voluntary. Jadi bukan di obligation market,” kata Dian di Bogor, Selasa.
BGN, lanjutnya, tengah menggali potensi tersebut dengan menyiapkan proyek percontohan guna melihat peluang keuntungan dari pengolahan sampah makanan menjadi kredit karbon.
“Dan kalau ini bisa kita cuankan, ini tentu akan membawa manfaat bagi dapur, bagi BGN itu sendiri, juga bagi masyarakat sekitar,” ujarnya.
Dian menambahkan, kebutuhan kredit karbon cukup tinggi di sejumlah negara Eropa. Banyak perusahaan di negara-negara tersebut telah mencapai batas emisi sehingga harus membeli kredit karbon sebagai bentuk kompensasi.
Meski demikian, tidak semua jenis sampah dapat dikonversi menjadi kredit karbon. Ia menjelaskan, sampah yang bisa dimanfaatkan adalah limbah yang dapat diolah, seperti menjadi kompos, biogas, atau pakan ternak.
“Kenapa limbah makanan bisa dijadikan kompos? Karena gas metana ini tidak kita buang ke landfill, tempat sampah. Karena tidak kita buang ke tempat sampah dan dijadikan kompos. Ini menjadi kompos organik, karena ini menjadi ada emisi gas yang dicegah,” katanya.
Ia menegaskan, hanya limbah yang dapat ditimbang, diukur, dan diverifikasi secara internasional yang memenuhi syarat untuk dijadikan kredit karbon.
Namun, Dian juga mengingatkan adanya keterbatasan dalam pasar karbon sukarela. Menurutnya, kredit karbon dari skema tersebut tidak dapat diklaim sebagai bagian dari komitmen pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi untuk memenuhi target Perjanjian Paris.
Rizki Rian Saputra




