Top
Begin typing your search above and press return to search.

Desealing soil untuk mengembalikan napas kota

Desealing soil untuk mengembalikan napas kota
X

Anggota Kelompok Masyarakat (Pokmas) membersihakan sekat kanal yang terbuat dari kanvas beton di Hutan Produksi Terbatas (HPT), Pedamaran, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, Rabu (9/9/2020). ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/foc,

Tanah kota yang sakit ternyata tengah menjadi isu besar di dunia. Tahun ini badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yaitu Food and Agriculture Organization tengah mempromosikan tanah sehat untuk kota yang sehat.

Dengan jargon ‘Healthy Soils for Healthy Cities’ lembaga dunia tersebut fokus pada tanah di wilayah urban yang menderita karena sakit akibat tersegel beton dan aspal dalam wujud bangunan, jalan, pedestrian, hingga lahan parkir.

Di kota-kota besar di dunia, tanah semakin jarang terlihat. Ia hilang tertutup rapat oleh lapisan beton, aspal, dan bangunan yang menjulang.

Tanah seolah tersembunyi, tersisih dari pandangan dan dari fungsi aslinya. Anak-anak tak dapat lagi bermain tanah.

Fenomena ini dikenal sebagai soil sealing, penyegelan tanah oleh material kedap air seperti aspal dan semen, yang kini menjadi wajah baru dari peradaban urban.

Padahal, jika planet bumi ibarat tubuh mahluk hidup seperti manusia, maka tanah adalah kulit tipis yang sangat berharga. Kulit seharusnya dapat “bernapas”, meresapkan air, menukar udara, menyerap panas, dan melepaskan panas.

Namun, ketika tanah tertutup rapat, bumi menjadi seperti manusia yang dilumuri cat perak pada tubuh “manusia silver” di jalanan.

Tampak mengilap di luar, tapi di dalam menyiksa. Tanah yang tersegel tak lagi dapat berkeringat, tak lagi mampu menyalurkan air, dan tentu tak bisa menyerap udara.

Tanah di perkotaan sejatinya berfungsi penting. Tanah menyaring, menetralkan, dan membersihkan bumi dari polusi di atmosfer yang diproduksi manusia. Saat hujan turun, butiran air membawa partikel debu, logam berat, dan polutan dari udara ke permukaan tanah.

Pada tanah yang sehat, maka polutan yang terlarut bersama air hujan terserap ke dalam tanah. Di dalam tanah terkandung partikel klei, pasir, debu, dan bahan organik.

Di antara semua material tersebut, klei dan bahan organik yang paling banyak menangkap cemaran tersebut dalam bentuk yang stabil.

Hasilnya air yang keluar menjadi air tanah lebih bersih. Prosesnya mirip dengan menyaring air keruh pada ember yang diisi dengan tanah, pasir, dan arang. Air keruh yang melewati ember berisi material tersebut keluar dalam kondisi bening dan bebas cemaran.

Filter Alami

Pada tanah yang sehat tanpa tertutup aspal dan beton, melainkan ditumbuhi vegetasi mulai rumput dan pepohonan, maka tanah dan vegetasi di atasnya berfungsi sebagai filter raksasa alami.

Selama kapasitas tanah dan vegetasi di atasnya mampu menyaring polutan, maka tanah dapat menyaring polutan berupa debu, gas beracun, hingga logam berat. Kapasitas menyaring tanah dapat terus ditingkatkan dengan merawat vegetasi di atasnya.

Seiring berjalan waktu vegetasi yang tumbuh kembang akan memberikan biomassa berupa serasah dedaunan, ranting, dan cabang yang jatuh ke permukaan tanah yang kemudian menjadi bahan organik tanah.

Keberadaan bahan organik tanah itulah yang terus menambah kapasitas tanah untuk menyaring polutan.

Namun, ketika permukaan tanah disegel, fungsi penting itu hilang. Air hujan yang seharusnya meresap masuk ke dalam tanah kini mengalir deras di permukaan aspal dan beton membawa serta polutan udara, minyak kendaraan, dan mikroplastik menuju badan air mulai selokan, anak sungai, sungai besar, dan bermuara ke lautan.

Di titik itu, tanah yang tersegel sakit. Ia tak mampu menyaring air sehingga air yang tercemar membahayakan kehidupan biota sungai dan laut, bahkan membahayakan kehidupan manusia yang mengkonsumsi pangan yang bersumber dari perairan seperti ikan, kerang, dan rumput laut.

Fenomena itu bukan hanya terjadi di tanah air. Riset terbaru di Eropa menunjukkan bahwa penyegelan tanah telah menjadi penyebab utama degradasi tanah perkotaan dan menurunnya fungsi ekosistem seperti pengaturan air hujan, pengendalian banjir, dan microclimate cooling.

Ketika seluruh permukaan kota tertutup beton, suhu udara meningkat, menciptakan fenomena urban heat island. Fenomena itu berupa tren meningkatnya suhu kota yang lebih panas 5–10°C dibanding daerah sekitarnya.

Hal tersebut terjadi karena panas matahari terperangkap di gedung-gedung dan bangunan tinggi yang menjulang.

Pantulan aspal dan beton juga meningkatkan suhu di siang hari. Hal tersebut berlanjut hingga malam hari yang terasa lebih hangat. Panas ini dapat terdeteksi melalui pengamatan satelit Land Surface Temperature (LST).

Napas Tanah

Di Prancis, penelitian Vieillard et al. (2024) mengungkap kini banyak kota di Eropa mulai melakukan de-sealing, yaitu membuka kembali permukaan tanah yang tertutup beton untuk mengembalikan fungsi ekologisnya.

Dari 57 proyek yang dikaji, sebagian besar bertujuan mengelola air hujan, menurunkan suhu kota, dan menambah ruang hijau.

Praktik de-sealing bukan sekadar estetika, melainkan cara “menyembuhkan tanah kota.” Lapisan aspal dibongkar, tanah di bawahnya diolah dan dipulihkan dengan material yang mampu menyerap air.

Di beberapa lokasi, proyek ini menggunakan kembali material lokal atau limbah kota yang telah menjadi bahan organik untuk membuat tanah buatan (technosol) yang subur dan ramah lingkungan.

Konsep ini penting bagi Indonesia, yang tengah menghadapi tekanan serupa. Kota-kota seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan mengalami penurunan kemampuan infiltrasi air, kenaikan suhu permukaan, serta peningkatan banjir akibat minimnya ruang tanah terbuka.

Untuk memulihkan fungsi ekologis tanah perkotaan, beberapa langkah penting perlu dilakukan.

Pertama, desealing soil di perkotaan yaitu membuka permukaan kedap air pada area jalan, taman, atau lahan parkir yang rusak, kemudian menggantinya dengan material berpori seperti permeable pavement atau grass block agar air dapat meresap.

Kedua, menyuburkan ruang terbuka hijau dengan tanah alami. Ruang terbuka hijau tidak cukup dengan pot atau paving dekoratif, tapi harus berupa tanah alami yang terbuka agar bisa menyerap air hujan dan menampung kehidupan mikroorganisme di bawahnya.

Ketiga, membangun drainase alami dan rain garden dengan meniru sistem alami seperti parit vegetatif yang berfungsi sebagai penyaring polusi.

Keempat, integrasi data satelit untuk mendapatkan Land Surface Temperature (LST) untuk mengidentifikasi area paling panas dan menentukan lokasi prioritas untuk desealing.

Pada akhirnya, mengembalikan napas tanah kota bukan sekadar urusan teknis tata ruang, tetapi investasi jangka panjang bagi keselamatan ekologis dan kesehatan manusia.

De-sealing adalah upaya mengingatkan kembali bahwa kota tidak bisa hidup tanpa tanah yang sehat, yaitu tanah yang mampu meresapkan air, menyaring polusi, menurunkan suhu, dan mendukung keberlanjutan ruang hijau.

Membuka kembali permukaan yang tertutup beton berarti mengembalikan fungsi dasar bumi sebagai penyeimbang, bukan sekadar mempercantik lanskap.

Jika kota-kota Indonesia ingin tetap layak huni di tengah perubahan iklim, langkah paling sederhana sekaligus paling mendasar adalah memberi kesempatan bagi tanah untuk bernapas kembali.

*) Penulis adalah Peneliti di Pusat Riset Geoinformatika, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire