DPR puji dampak positif TKA 2025, beri catatan soal teknis dan kebocoran soal

Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Abdul Fikri Faqih. Foto : Istimewa
Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Abdul Fikri Faqih. Foto : Istimewa
Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Abdul Fikri Faqih, memberikan apresiasi terhadap pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) 2025 yang dinilai mampu memacu kembali semangat belajar siswa yang sempat menurun.
Kendati demikian, ia menyoroti sederet persoalan teknis dan substansial yang merugikan peserta didik, sehingga mendesak pemerintah agar hasil asesmen tahun ini tidak dijadikan syarat penentu atau validator nilai rapor untuk jalur masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
Dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (28/11/2025), Fikri menilai kembalinya mekanisme evaluasi melalui TKA yang diatur dalam Permendikdasmen Nomor 9 Tahun 2025 memiliki dampak positif terhadap psikologis siswa.
Pelaksanaan TKA yang dimulai pada November 2025 untuk jenjang SMA/SMK serta Maret–April 2026 untuk jenjang SD dan SMP dianggap sebagai langkah strategis memulihkan etos belajar.
"Saya mengapresiasi dengan realisasi TKA, maka hal ini memotivasi kembali semangat berprestasi pada siswa. Karena dengan tanpa asesmen, terbukti semangat belajar siswa menjadi sangat kendor,"kata Fikri, Jumat (28/11/2025).
Meskipun menyambut baik semangat tersebut, Fikri tidak menutup mata terhadap berbagai kekurangan di lapangan yang ia sampaikan sebelumnya dalam Rapat Kerja evaluasi bersama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) di Ruang Komisi X DPR RI, Rabu (26/11/2025).
Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini memaparkan sembilan catatan evaluasi kritis, salah satunya mengenai durasi pengerjaan soal yang dinilai tidak realistis dan sangat memberatkan peserta didik, bahkan bagi siswa cerdas sekalipun.
Fikri menyoroti beban berat yang harus ditanggung siswa karena format soal Multiple Choice Multiple Answer (MCMA) atau pilihan ganda kompleks serta wacana panjang yang memakan waktu. Kondisi ini dinilai jauh lebih berat dibandingkan format Ujian Nasional (UN) terdahulu.
"Dengan alokasi waktu hanya 45 menit untuk menyelesaikan 25 butir soal, siswa dipaksa mengerjakan satu soal dalam waktu kurang dari dua menit, tepatnya 1 menit 48 detik. Keterbatasan waktu ini dinilai mustahil dapat diselesaikan dengan optimal, bahkan oleh siswa cerdas sekalipun, mengingat tingkat kesulitan soal yang membutuhkan analisis mendalam," tegasnya.
Selain masalah durasi, Fikri juga mengungkapkan temuan lapangan mengenai ketidaksinkronan antara materi simulasi dengan pelaksanaan riil. Berdasarkan aspirasi masyarakat dan keluhan guru di daerah pemilihannya, banyak siswa bingung karena materi ujian berbeda jauh dari kisi-kisi saat gladi bersih, bahkan memuat materi yang belum pernah diajarkan di kelas.
Integritas pelaksanaan tes juga dipertanyakan menyusul adanya laporan mengenai penggunaan telepon genggam oleh siswa saat ujian berlangsung yang memicu dugaan kebocoran soal, serta masalah teknis seperti ketidaksesuaian waktu pada server.
Atas dasar berbagai temuan tersebut, Fikri menegaskan akan menyerahkan data rinci evaluasi ini secara tertulis kepada Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP).
"Hasil TKA kali ini cukup dijadikan bahan evaluasi internal untuk perbaikan sistem pendidikan dan kerangka asesmen ke depan agar benar-benar disesuaikan antara kompetensi, level kognitif, dan konteks yang wajar bagi siswa," pungkas legislator dari daerah pemilihan IX Jawa Tengah (Kota Tegal, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes) ini.
Yuniar Kustanto




