Hendri Satrio soroti pentingnya teori komunikasi dalam praktik komunikasi pemerintahan
Dosen Universitas Paramadina yang juga pengamat politik dan penulis buku "Riah Riuh Komunikasi", Hendri Satrio menekankan bahwa pentingnya penerapan teori komunikasi dalam praktik komunikasi pemerintahan, menyusul masih seringnya terjadi polemik dan kesalahpahaman publik akibat penyampaian pesan yang dinilai tidak tepat, lambat, dan minim empati. Hal tersebut disampaikannya dalam peluncuran buku "Riah Riuh Komunikasi" di Universitas Paramadina Jakarta, Kamis (18/12/2025).
Hendri Satrio mengatakan buku tersebut berisikan sejumlah contoh komunikasi positif, salah satunya komunikasi Presiden Prabowo Subianto dengan para mantan presiden, seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Joko Widodo, dan Megawati Soekarnoputri. Menurutnya, pola komunikasi tersebut menunjukkan praktik komunikasi politik yang inklusif, penuh simbol rekonsiliasi, dan dapat dianalisis secara ilmiah melalui teori komunikasi.
“Komunikasi yang dilakukan Presiden Prabowo dengan para mantan presiden itu baik, dan dalam teori komunikasi ada penjelasannya. Itu bukan sekadar gestur politik, tetapi bisa dijelaskan secara akademik,” ujarnya.
Namun demikian, buku tersebut juga memuat berbagai kritik terhadap komunikasi pemerintah yang dinilai kurang efektif. Beberapa kasus yang dibahas antara lain polemik “kepala babi”, pernyataan sejumlah pejabat yang dianggap tidak sensitif, kasus Gus Miftah, hingga fenomena Shin Tae-yong yang mendapatkan simpati luas dari masyarakat.
Fenomena Shin Tae-yong, menurut Hendri Satrio, dapat dijelaskan melalui teori konsistensi kognitif, yakni kondisi ketika masyarakat menyukai figur tertentu karena adanya harapan dan mimpi kolektif, seperti keinginan melihat Indonesia menembus Piala Dunia. Teori serupa juga digunakan untuk menjelaskan dukungan publik terhadap figur yang menawarkan harapan di tengah kondisi ekonomi yang sulit.
“Ketika masyarakat sudah lelah dengan kondisi ekonomi, muncul figur yang memberi harapan, maka secara kognitif publik akan cenderung menerima dan mendukung,” katanya.
Selain itu, buku tersebut juga mengulas isu pembatalan kebijakan PPN 12 persen, pencitraan bantuan sosial dalam bencana, hingga dugaan pengalihan isu (testing the water) dalam sejumlah peristiwa politik. Seluruh kasus tersebut, kata Hendri, selalu disertai dengan kerangka teori komunikasi agar pembaca memahami konteks secara utuh.
Ia menekankan bahwa pencitraan dalam situasi bencana sebenarnya diperbolehkan, selama dilakukan dengan empati, ketulusan, dan berdampak nyata bagi masyarakat. Sebaliknya, pencitraan yang tidak tulus justru berpotensi menimbulkan kemarahan publik.
“Kalau tidak empati, tidak tulus, dan tidak berdampak, sebaiknya tidak usah melakukan pencitraan karena efeknya justru buruk,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hendri menyoroti lemahnya komunikasi krisis pemerintah, khususnya dalam penanganan bencana. Ia mencontohkan keterlambatan informasi, ketiadaan crisis center dan media center yang terkoordinasi, serta pernyataan pejabat yang dinilai keliru dan memperkeruh situasi.
Ia juga menyinggung bagaimana informasi di media sosial kerap bertolak belakang dengan pernyataan resmi pemerintah, sehingga menimbulkan kebingungan dan menurunkan kepercayaan publik.
“Ketika Presiden menyampaikan sesuatu, tetapi di media sosial muncul fakta lapangan yang berbeda, publik akhirnya mempertanyakan, apakah Presiden benar-benar memahami kondisi atau hanya menerima laporan,” katanya.
Hendri Satrio mengatakan jika komunikasi pemerintahan dijalankan secara serius dan konsisten, maka kualitas kehidupan berbangsa dapat meningkat secara signifikan.
“Kalau politik, hukum, dan ekonomi dibarengi dengan komunikasi yang baik, saya yakin Indonesia bisa mencapai kondisi terbaiknya pada 2026,” ucapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya komunikasi satu pintu yang konsisten, tanpa harus menjadikan Presiden sebagai juru bicara untuk semua isu. Menurutnya, tugas tersebut seharusnya dijalankan oleh lembaga dan pejabat komunikasi pemerintah seperti Kementerian Komunikasi dan Digital serta Badan Komunikasi Kepresidenan.
“Presiden adalah posisi tertinggi. Kalau Presiden salah bicara, tidak ada yang bisa mengoreksi. Karena itu, petugas komunikasinya harus lebih proaktif,” katanya.
Buku ini diharapkan tidak hanya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah, tetapi juga sarana edukasi bagi masyarakat agar lebih memahami praktik komunikasi politik dan pemerintahan, sekaligus mampu memberikan kritik yang lebih substansial dan berbasis pemahaman.
“Ini bukan sekadar kritik atau kemarahan, tapi masukan agar komunikasi pemerintah ke depan bisa lebih baik, lebih cepat, dan lebih empatik,” pungkasnya.
Adapun dalam peluncuran buku "Riah Riuh Komunikasi" juga dihadiri oleh Peneliti Utama Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro, Profesional media & produser Helmy Yahya, CEO Good News From Indonesia (GNFI) Wahyu Aji.
Hutomo Budi






