Top
Begin typing your search above and press return to search.

Ketika Ulama bertemu algoritma di era AI

Seminar nasional MHM dan UIN Sunan Kalijaga bahas otoritas keagamaan, etika, serta masa depan keberagamaan di tengah perkembangan AI.

Ketika Ulama bertemu algoritma di era AI
X

Elshinta/ Suwiryo

Bagaimana ketika ulama bertemu algoritma? Pertanyaan ini menjadi fokus utama dalam Seminar Nasional bertajuk “Ketika Ulama Bertemu Algoritma” yang diselenggarakan Majelis Hukama Muslimin (MHM) kantor cabang Indonesia bersama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (9/12/2025). Acara ini menghadirkan lebih dari 550 peserta, mulai dari dosen, peneliti, akademisi, hingga mahasiswa.

Hadir sebagai narasumber:

  • Prof. Dr. M Quraish Shihab – Pendiri dan Anggota MHM
  • Prof. Dr. M Amin Abdullah – Guru Besar UIN Sunan Kalijaga
  • Prof. Dr. Noorhaidi Hasan – Rektor UIN Sunan Kalijaga
  • Dr. TGB M Zainul Majdi – Anggota Komite Eksekutif MHM
  • Dr. Mardhani Riasetiawan – Pakar AI, UGM

Direktur MHM Indonesia, Muchlis M Hanafi, menegaskan bahwa perkembangan AI membawa tantangan besar bagi otoritas keagamaan. “Mesin bisa meniru ilmu, tapi tidak menghadirkan hikmah,” ujarnya. Ia menekankan pentingnya membahas strategi menghadapi munculnya “ulama digital,” sekaligus memastikan teknologi tetap berada di bawah nilai etika dan martabat kemanusiaan.


Pandangan Prof Quraish Shihab: AI Perlu Dinilai dengan Nilai Lama dan Baru

Prof Quraish Shihab menyampaikan bahwa AI sebagai fenomena baru dapat dilihat melalui tiga perspektif:

  • Dengan cara pandang lama,
  • Dengan cara pandang baru,
  • Dengan pandangan baru yang tetap bertumpu pada nilai-nilai lama.


“Cara ketiga inilah yang sebaiknya ditempuh,” tegasnya.

Beliau mengingatkan bahwa ilmu agama sejak dulu menetapkan syarat dalam menerima informasi—adil, terpercaya, dan memiliki kecerdasan moral. “AI tidak mengenal siapa penanyanya. Bagaimana ia menjawab dengan tepat?” ungkapnya.


Dr. TGB M Zainul Majdi: AI Bukan Ancaman Eksistensial

TGB menegaskan bahwa AI tidak mengancam eksistensi agama maupun manusia sebagai khalifah. Ia menyoroti kekhawatiran publik bahwa AI dapat mengambil alih kreativitas manusia.

Menurut TGB, konsep hayawanun nathiq dalam Islam bukan hanya soal kecerdasan kognitif, tetapi juga hikmah dan spiritualitas—dua hal yang tidak dapat digantikan AI.

Ia juga mengingatkan bahwa setiap revolusi teknologi selalu mengguncang masyarakat, namun umat tidak boleh kehilangan prinsip-prinsip dasar mereka dalam menghadapinya.

Prof Amin Abdullah: Fragmentasi Otoritas Keagamaan dan Krisis Literasi

Prof Amin menyoroti adanya fragmentasi otoritas keagamaan akibat AI dan media digital. Umat kini tidak sepenuhnya merujuk pada lembaga fatwa tradisional, tetapi sering mengikuti “fatwa baru” dari ruang digital.

Ia juga mengingatkan bahaya komodifikasi agama dan penurunan literasi keagamaan generasi muda.

“Mereka ingin ilmu lima detik, tanpa membaca. Ini sangat membahayakan,” tegasnya.

Prof Noorhaidi Hasan: Ulama Harus Pahami Bahasa Algoritma

Prof Noorhaidi menjelaskan bahwa fragmentasi otoritas dapat bermakna demokratisasi agama, namun juga membuka ruang bagi tafsir sembarangan yang tidak bertanggung jawab. Di sisi lain, ulama memiliki peluang untuk mempertahankan relevansi jika mampu memahami perubahan audiens digital.

Ia menekankan empat aspek penting dalam “bahasa algoritma”:

  • Attachment – seberapa kuat interaksi audiens,
  • Personalisasi – apakah konten relevan dan ready to use,
  • Visibilitas – konsistensi unggahan,
  • Relevansi konten – kesesuaian dengan kebutuhan audiens.

“Jika ulama masih membaca audiens seperti masa lalu, relevansinya akan memudar,” ujarnya.


Dr Mardhani Riasetiawan: AI Harus Dipahami sebagai Teknologi Buatan

Pakar AI UGM, Dr Mardhani, mengajak publik memahami AI secara proporsional. “AI tidak sehebat yang dibayangkan. Ia tetap buatan manusia dan punya kelemahan.”

AI, menurutnya, hanya sebuah alat pemrosesan dengan kemampuan input–proses–output, meski kini inputnya semakin luas dan kreatif. Peran manusia tetap vital karena data yang diunggah publik menjadi “bahan bakar” AI.

Mardhani juga mengungkap bahwa kini ada upaya besar mendigitalkan seluruh kitab tafsir lintas agama sebagai dasar bagi penguatan otoritas keagamaan dalam era AI.

“Tantangannya adalah bagaimana kita mengkurasi data digital ke dalam AI dengan cara yang benar,” ujarnya.

Penutup: Merawat Hikmah di Tengah Derasnya Teknologi

Seminar ini menegaskan bahwa pertemuan antara ulama dan algoritma adalah keniscayaan. Tantangannya bukan hanya teknis, melainkan menyangkut etika, hikmah, otoritas keagamaan, serta masa depan keberagamaan generasi muda.

Majelis Hukama Muslimin menegaskan komitmennya untuk terus merawat nilai-nilai hikmah agar teknologi berkembang tanpa meninggalkan martabat kemanusiaan dan nilai luhur agama.

Suwiryo

Sumber : Radio Elshinta

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire