Kisah penjaga perbatasan negeri gagalkan penyelundupan manusia

Kepala Kantor Imigrasi Kelas II TPI Entikong (kanan) menyerahkan penghargaan kepada pegawai yang berhasil menggagalkan upaya penyelundupan manusia. (ANTARA/HO-Kantor Imigrasi Kelas II TPI Entikong)
Kepala Kantor Imigrasi Kelas II TPI Entikong (kanan) menyerahkan penghargaan kepada pegawai yang berhasil menggagalkan upaya penyelundupan manusia. (ANTARA/HO-Kantor Imigrasi Kelas II TPI Entikong)
Di perbatasan yang sunyi antara Indonesia dan Malaysia, pagi hari sering datang lebih awal dari biasanya.
Kabut tipis menyelimuti jalanan kecil menuju Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, dan udara terasa lebih berat dari sekadar embusan angin hutan tropis.
Di tempat yang jauh dari sorotan kamera dan gemerlap kota besar ini, negara dijaga dengan mata yang tak pernah tidur dan dedikasi yang tidak selalu terdengar.
Fahrul Husaini dan Chandra Dinata, dua petugas imigrasi yang hari itu bertugas, tahu benar seperti apa rasanya berada di garis terdepan. Mereka bukan pahlawan berseragam dalam film aksi, bukan pula tokoh terkenal yang dielu-elukan publik.
Namun hari itu, mereka menjadi perisai pertama yang melindungi martabat negara dari ancaman yang tak terlihat, salah satunya soal penyelundupan manusia.
Tugas di perbatasan bukan sekadar memeriksa paspor atau menyambut pelintas batas. Bagi Fahrul dan Chandra, pekerjaan ini adalah soal kemanusiaan dan tanggung jawab.
Setiap wajah yang harus diperiksa mereka sadari benar, bukan hanya dokumen perjalanan. Di baliknya ada cerita penderitaan, sesuatu yang membahagiakan, harapan, atau bahkan jebakan.
Ia harus belajar untuk mengasah kepekaan karena sekali saja mereka lengah, nyawa manusia bisa terperangkap dalam jaringan perdagangan gelap yang tak kenal belas kasihan.
Hari itu, operasi rutin keimigrasian berubah menjadi momen yang akan selalu mereka ingat. Awalnya semua tampak biasa, yang tampak antrean warga negara Indonesia yang hendak melintas ke negeri jiran.
Namun ada sesuatu yang tidak sesuai dengan naluri mereka. Beberapa orang tampak canggung saat diwawancarai, dan jawaban mereka terasa seperti hafalan.
Pengalaman bertahun-tahun membuat Fahrul tahu ada yang tidak beres. Ia memberi isyarat kepada Chandra untuk memperdalam pemeriksaan.
Intuisi itu penting di lapangan dan itu disadari benar oleh Chandra. Prosedur memang harus dijalankan, tapi terkadang, yang menyelamatkan nyawa justru kepekaan saat membaca situasi.
Pemeriksaan lebih lanjut membuka tabir yang mencengangkan. Mereka menemukan indikasi bahwa sejumlah warga hendak diberangkatkan secara ilegal ke luar negeri melalui jalur darat.
Modusnya halus, dokumen tampak lengkap, tujuan perjalanan terdengar wajar. Namun setelah ditelusuri lebih dalam, jaringan di baliknya ternyata merupakan bagian dari sindikat penyelundupan manusia yang sudah lama diincar aparat.
Fahrul dan Chandra bergerak cepat. Mereka mengamankan para korban potensial dan membawa pihak yang diduga terlibat ke ruang pemeriksaan.
Dalam hitungan jam, upaya penyelundupan manusia berhasil digagalkan. Rasanya lega sekali, baik bagi Fahrul maupun Chandra. Bukan hanya karena keduanya berhasil menjalankan tugas, tapi karena mereka tahu mereka telah mencegah tragedi besar dalam kehidupan sejumlah orang.
Mengagalkan kejahatan
Apa yang mereka lakukan hari itu mungkin tidak akan pernah masuk dalam berita utama televisi, tapi bagi para korban yang nyawanya terselamatkan, tindakan itu berarti segalanya.
Mereka adalah orang-orang yang mungkin telah dijanjikan pekerjaan layak di luar negeri, namun berpotensi menjadi korban eksploitasi.
Mereka mungkin akan kehilangan kebebasan, bahkan nyawa. Dan semua itu tidak terjadi, karena dua petugas imigrasi memutuskan untuk tidak menutup mata.
Keberhasilan itu tidak datang begitu saja. Di baliknya ada latihan berulang, pembekalan pengetahuan hukum, serta pelatihan intelijen yang tak pernah berhenti.
Tetapi lebih dari itu, ada satu hal yang tidak diajarkan di ruang kelas, yakni empati. Mereka tidak hanya menegakkan hukum, tapi lebih jauh dari itu mereka juga melindungi sesama manusia.
Keduanya mengakui, pekerjaan di perbatasan bukan tanpa risiko. Mereka sering harus berhadapan dengan ancaman, intimidasi, bahkan bahaya fisik.
Semua itu mereka jalani dengan kesadaran penuh bahwa menjaga perbatasan berarti menjaga kehormatan negara. Setiap kali mereka mengenakan seragam itu, mereka membawa nama Indonesia, ada merah putih yang tersemat. Dan itu berarti tanggung jawab yang besar, dan tidak bisa dianggap main-main.
Penghargaan yang diberikan kepada mereka oleh Kantor Imigrasi Kelas II TPI Entikong adalah bentuk apresiasi, tetapi bukan alasan utama mereka bekerja.
Penghargaan itu menyenangkan, tapi bukan itu semata yang membuat mereka bangun setiap pagi. Hal yang membuat mereka tetap semangat adalah keyakinan bahwa mereka sedang melakukan sesuatu yang benar.
Dedikasi tinggi
Kini, setelah keberhasilan itu, Fahrul dan Chandra boleh jadi menjadi inspirasi bagi rekan-rekan mereka. Bukan karena mereka dianggap luar biasa, tetapi karena mereka membuktikan bahwa integritas masih menjadi nilai yang hidup di lapangan.
Bahwa di tengah segala godaan dan tekanan, masih ada petugas muda yang memilih untuk berjalan di jalan yang benar, meski tidak selalu mudah.
Cerita mereka juga menjadi pengingat bahwa menjaga negara bukan hanya tugas para pejabat tinggi atau aparat bersenjata.
Kadang, tugas itu dilakukan oleh orang-orang biasa dengan cara luar biasa, dengan mata yang awas memeriksa setiap paspor, dengan intuisi tajam membaca gelagat mencurigakan, dengan keberanian untuk bertindak saat ancaman datang diam-diam.
Entikong mungkin jauh dari pusat kekuasaan, tapi di sanalah kedaulatan diuji setiap hari. Di jalan-jalan kecil yang dilintasi truk dan pejalan kaki, di balik loket pemeriksaan yang sederhana, dan di hati petugas muda, seperti Fahrul dan Chandra yang memilih untuk tidak menyerah pada keadaan. Mereka tidak hanya menjaga batas teritorial, tetapi juga batas kemanusiaan.
Dalam setiap percakapan dengan para pelintas, Fahrul harus mampu menyelami dan jauh menatap ke dalam setiap kalimat yang disampaikan.
Mereka juga tidak tahu siapa yang akan mereka temui hari ini. Tapi mereka selalu tahu untuk apa mereka di tempatkan di sana, salah satunya, agar tak satu pun warga negara ini dijadikan komoditas perdagangan manusia.
Dan cerita dua petugas ini bukan hanya tentang menggagalkan penyelundupan manusia. Ini adalah kisah tentang keberanian yang lahir dari keikhlasan, tentang dedikasi yang tumbuh dari tanggung jawab, dan tentang cinta pada tanah air yang diwujudkan bukan dalam kata-kata besar, tetapi dalam tindakan nyata.
Maka, di Entikong, di antara kabut perbatasan dan langkah pelintas batas, Indonesia bisa tidur lebih tenang malam ini karena ada anak-anak muda yang memilih untuk tetap berjaga dan menjadi perisai pertama negeri.