Pengamat : fatwa MUI soal pajak berkeadilan momentum reformasi perpajakan

Forum Munas MUI berlangsung 20-23 November 2025 mengeluarkan fatwa tentang pajak berkeadilan. di Jakarta, Minggu (23/11/2025). Foto : MUI
Forum Munas MUI berlangsung 20-23 November 2025 mengeluarkan fatwa tentang pajak berkeadilan. di Jakarta, Minggu (23/11/2025). Foto : MUI
Fatwa terbaru Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang pajak berkeadilan harus dipandang sebagai momentum penting untuk mereformasi sistem perpajakan nasional yang dinilai tidak memiliki standar baku. Hal ini disampaikan Pendiri Indonesia Tax Care, Basuki Widodo dalam wawancara di Elshinta News and Talk edisi pagi, Rabu (26/11/2025), dipandu penyiar Asrofi.
Fatwa MUI tersebut antara lain menegaskan larangan pemungutan pajak berulang atas bumi dan bangunan yang dihuni, melarang pengenaan pajak atas hasil bumi yang diambil langsung dari alam, serta menempatkan pajak penghasilan hanya bagi warga yang memiliki kemampuan finansial minimal setara nisab zakat maal (85 gram emas). Fatwa itu juga memperbolehkan zakat menjadi pengurang pajak terutang, serta menuntut pengelolaan pajak yang amanah, transparan, dan akuntabel.
Basuki menilai sejumlah poin dalam fatwa ini sejalan dengan prinsip dasar perpajakan yang sesungguhnya. Menurutnya, bahan pokok dan kebutuhan dasar sejak awal tidak layak dikenakan pajak karena tidak memenuhi prinsip nilai tambah.
“Filosofi pajak itu dari nilai lebih. Hasil bumi yang diambil langsung dari alam belum memiliki nilai tambah, sehingga tidak seharusnya dikenakan pajak,” tegasnya.
Ia menambahkan, persoalan terjadi karena sistem perpajakan Indonesia tidak memiliki grand design yang jelas. “Saat ini, pajak hanya dipahami sebagai target. Semua serba instan, tanpa dasar dan tanpa ilmu. Akibatnya kebijakan sektoral simpang-siur, dari PPN sembako, tarif, hingga wacana redenominasi,” ujar Basuki.
Menanggapi konsep “pajak berulang” yang dilarang oleh MUI, Basuki menjelaskan bahwa beban pajak selama ini menumpuk pada objek yang sama dan dirasakan berat oleh masyarakat.
“Penghasilan rakyat tetap, tapi pajaknya terus muncul: PBB, PPN, BPHTB, dan seterusnya. Sumber pendapatan masyarakat satu, tetapi pajak menciptakan beban berlapis,” kata Basuki.
Ia menyebut kondisi ekonomi masyarakat yang tertekan oleh inflasi dan tingginya harga bahan pokok justru tidak menjadi pertimbangan dalam penyusunan kebijakan pajak.
Terkait ketentuan fatwa MUI yang memperbolehkan zakat menjadi pengurang pajak terutang, Basuki menilai konsep ini tepat dan sudah lama diperjuangkan.
“Masalahnya selama ini zakat hanya dijadikan pengurang penghasilan kena pajak, bukan pengurang pajak terutang. Itu akal-akalan kebijakan,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pemerintah dan lembaga keagamaan bisa menyusun mekanisme teknis agar pencatatan zakat lebih terstruktur dan dapat diterapkan sebagai bagian dari kewajiban fiskal.
Basuki berulang kali menyoroti paradigma target yang menurutnya menimbulkan penyimpangan, termasuk praktik kriminalisasi wajib pajak dan penyalahgunaan kewenangan.
“Pemeriksaan pajak itu untuk menguji kepatuhan, bukan mencari-cari kesalahan demi target. Ini yang merusak,” tegasnya.
Bahkan, ia menyebut selama 42 tahun pembangunan sistem perpajakan, Indonesia justru menghadapi persoalan kronis mulai dari korupsi hingga lemahnya fondasi ekonomi.
Basuki menyatakan pemerintah harus menyusun grand design perpajakan jangka panjang agar kebijakan fiskal tidak lagi berubah-ubah dan hanya berorientasi pada pemenuhan target.
“Pajak harus dibangun dengan sistem yang bersih, transparan, amanah, dan berpihak pada rakyat. Bukan menekan rakyat, bukan membuat rakyat takut dan dicurigai,” katanya.
Ia mengapresiasi fatwa MUI dan berharap lembaga keagamaan lain ikut memberikan pandangan, namun tetap disertai solusi teknis agar tidak mengganggu penerimaan negara yang mayoritas ditopang pajak.
Di akhir wawancara, Basuki mengungkapkan bahwa dirinya telah mengirim surat kepada MUI untuk membuka ruang kolaborasi penyusunan konsep perpajakan yang lebih adil.
“Saya berharap ada forum bersama agar fatwa ini tidak berhenti pada tataran normatif, tetapi menjadi pijakan untuk memperbaiki sistem perpajakan kita,” ungkapnya.
Dwi Iswanto




