Pengamat: Gelar Pahlawan Nasional harus jadi edukasi sejarah, bukan sekedar simbol

Dosen Ilmu Politik Pemerintahan dan Pengamat Politik Universitas Jenderal Achmad Yani, Arlan Siddha. Foto : Istimewa
Dosen Ilmu Politik Pemerintahan dan Pengamat Politik Universitas Jenderal Achmad Yani, Arlan Siddha. Foto : Istimewa
Dosen Ilmu Politik Pemerintahan dan Pengamat Politik Universitas Jenderal Achmad Yani, Arlan Siddha, menilai bahwa pemberian gelar Pahlawan Nasional memiliki makna penting sebagai bentuk penghargaan negara terhadap tokoh-tokoh yang berkontribusi besar bagi bangsa, namun juga harus menjadi sarana edukasi sejarah dan moral bagi masyarakat.
Hal tersebut disampaikan Arlan dalam di Radio Elshinta Edisi Pagi, Rabu (23/10/2025). Menurutnya, di era digital saat ini, proses penetapan pahlawan nasional kerap menuai perdebatan karena informasi tentang tokoh-tokoh tersebut mudah diakses dan ditafsirkan berbeda oleh publik.
“Banyak masyarakat punya pandangan sendiri tentang sejarah seseorang, ada yang menilai positif, ada yang mengingat sisi kelamnya. Itu hal yang wajar, tapi di sinilah pentingnya negara hadir memberi edukasi agar pandangan sejarah masyarakat tidak simpang siur,” jelas Arlan.
Arlan menilai perbedaan pandangan masyarakat terhadap tokoh calon pahlawan adalah hal yang normal dalam negara demokrasi. Namun ia menekankan pentingnya partisipasi publik dalam memberikan pandangan terhadap tokoh yang akan dianugerahi gelar tersebut.
“Masyarakat seharusnya dilibatkan untuk memberi pandangan, bukan untuk menentukan, tetapi agar negara mendapatkan perspektif yang lebih utuh. Banyak cerita atau catatan sejarah yang hidup di masyarakat bisa menjadi bahan pertimbangan negara,” ujarnya.
Menurut Arlan, hal itu juga untuk memastikan bahwa gelar pahlawan benar-benar tepat diberikan kepada tokoh yang layak, sesuai semangat pengabdian dan perjuangan yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Menanggapi daftar 40 nama calon Pahlawan Nasional 2025 yang telah diserahkan Kementerian Sosial kepada Dewan Gelar, Arlan menilai wajar jika muncul perdebatan, terutama dengan masuknya nama Presiden Soeharto yang memiliki catatan panjang sekaligus kontroversial.
“Nama Soeharto pasti menyedot perhatian publik. Bagi sebagian orang, ia dikenang karena keberhasilan pembangunan, tapi bagi lainnya, ada catatan pelanggaran HAM dan praktik KKN di masa Orde Baru. Ini menjadi ujian bagi negara dalam memberi edukasi dan konteks sejarah yang utuh kepada masyarakat,” tutur Arlan.
Ia menilai bahwa di negara demokrasi, perdebatan tentang figur sejarah merupakan hal yang sehat selama diarahkan untuk membangun kesadaran kritis dan penghargaan terhadap nilai perjuangan.
Makna hahlawan di era modern
Lebih lanjut, Arlan memaknai figur pahlawan di masa kini bukan hanya sebagai sosok yang berjuang melawan penjajahan secara fisik, tetapi juga mereka yang menyalakan semangat nasionalisme dan keadilan sosial di tengah tantangan zaman.
“Yang harus kita warisi adalah apinya, bukan abunya. Api perjuangan itulah yang menyalakan semangat kebangsaan dan pengabdian di tengah perubahan zaman,” tegasnya.
Arlan menutup wawancara dengan mengingatkan bahwa gelar pahlawan nasional seharusnya tidak berhenti pada penghargaan simbolik, tetapi menjadi inspirasi nyata bagi generasi muda untuk meneruskan semangat perjuangan dan pengabdian terhadap bangsa
Deddy Rahmadhany