PHRI DKI desak pemprov dengarkan masukan soal Raperda KTR

Arsip Foto - Sejumlah anak bersama orang tuanya bermain di Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Taman Ranggon Wijaya Kusuma, Jakarta Timur, Minggu (19/5/2024). DPRD DKI Jakarta mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk menegakkan aturan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan menekankan pentingnya Raperda KTR untuk memberikan payung hukum bagi Satpol PP dalam menegakkan aturan tersebut. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/YU.)
Arsip Foto - Sejumlah anak bersama orang tuanya bermain di Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Taman Ranggon Wijaya Kusuma, Jakarta Timur, Minggu (19/5/2024). DPRD DKI Jakarta mendorong Pemprov DKI Jakarta untuk menegakkan aturan Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan menekankan pentingnya Raperda KTR untuk memberikan payung hukum bagi Satpol PP dalam menegakkan aturan tersebut. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/YU.)
Badan Pimpinan Daerah (BPD) Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta meminta agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI dapat mendengarkan keluh kesah dan aspirasi pelaku usaha terkait Rancangan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Raperda KTR).
“Raperda KTR DKI Jakarta sudah banyak dikeluhkan oleh anggota kami karena akan berdampak secara signifikan bagi industri hotel dan restoran di Jakarta. Kami ingin agar suara dari pelaku usaha itu bisa didengar dan ditampung aspirasinya,” ujar Ketua BPD PHRI DKI Jakarta Sutrisno Iwantono di Jakarta, Sabtu.
Untuk itu, kata dia, PHRI berharap ada perlindungan dan pemberdayaan dari pemerintah, terutama di tengah kondisi ekonomi saat ini.
“Tak bisa dipungkiri, hotel dan restoran itu kan menyumbang PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang cukup dominan di DKI Jakarta,” ujar Iwantono.
Dia mengatakan sebagai upaya mengawal proses pembahasan Raperda KTR, PHRI bersama-sama dengan asosiasi lain menyampaikan permohonan perlindungan, baik kepada pemerintah daerah maupun DPRD DKI Jakarta.
Dengan begitu, sambung dia, Raperda KTR yang dihasilkan benar-benar adil, berimbang, inklusif dan mengakomodir keberlangsungan usaha sektor jasa dan pariwisata.
Sebelumnya pada Mei 2025, PHRI merilis data sekitar 70 persen pelaku usaha hotel dan restoran di Jakarta melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karena bisnis yang tidak lancar.
PHK massal itu terjadi di tengah kombinasi tekanan yang makin berat, seperti penurunan okupansi hotel secara drastis, sementara biaya operasional terus naik.
Iwantono menuturkan langkah efisiensi pun sudah mulai dilakukan oleh hotel. Berdasarkan survei PHRI, pemangkasan tenaga kerja, terutama menyasar pekerja kontrak dan harian lepas, bahkan beberapa hotel menghentikan sementara seluruh proses rekrutmen.
Sejalan dengan efisiensi itu, PHRI meminta perlindungan pemerintah dengan mengkaji ulang regulasi yang ada, termasuk Raperda KTR DKI Jakarta, mengingat dampaknya terhadap kondisi industri serta pasar segmen jasa dan pariwisata yang semakin anjlok.




