Polemik QRIS vs uang tunai: Rupiah tetap alat tukar sah
Polemik QRIS vs uang tunai mencuat usai kasus penolakan pembayaran cash. Secara hukum, Rupiah tetap alat pembayaran sah di Indonesia.

Sumber: vecteezy.com
Sumber: vecteezy.com
Perkembangan teknologi finansial di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir telah membawa perubahan drastis pada cara masyarakat bertransaksi. Sistem pembayaran digital seperti QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) semakin populer di kota-kota besar dan dalam kalangan generasi muda, mempermudah transaksi sehari-hari dengan cepat, praktis, dan terintegrasi antar e-wallet dan bank.
Namun popularitas QRIS memunculkan perdebatan baru: apakah semakin dominannya pembayaran digital berarti uang tunai sudah tidak relevan lagi? Di tengah tren cashless society, polemik antara QRIS dan uang tunai terus meningkat, terutama ketika muncul kasus nyata yang menunjukkan dampaknya pada konsumen.
Viralnya Kasus Penolakan Tunai
Baru-baru ini, sebuah video viral memperlihatkan seorang nenek yang tidak bisa membeli roti di sebuah gerai karena hanya membawa uang tunai, sedangkan outlet tersebut hanya menerima pembayaran via QRIS. Peristiwa ini memicu respon luas dari publik, mulai dari simpati terhadap konsumen lansia hingga pertanyaan serius tentang hak konsumen dan praktik merchant.
Kasus ini bukan sekadar insiden sosial biasa, tetapi mencerminkan tantangan transisi digital ketika sebagian masyarakat masih bergantung pada pembayaran tunai, terutama kelompok usia lebih tua, pedagang kecil, atau mereka yang belum terhubung erat dengan layanan perbankan digital.
Posisi Hukum: Uang Tunai Tetap Sah dan Wajib Diterima
Secara hukum, uang tunai dalam bentuk Rupiah adalah alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Mata Uang secara jelas menyatakan bahwa Rupiah, termasuk uang fisik, wajib diterima dalam setiap transaksi pembayaran.
Bank Indonesia (BI) pun menegaskan kembali prinsip ini dalam berbagai kesempatan: meskipun mendorong digitalisasi sistem pembayaran, merchant tidak boleh menolak penerimaan uang tunai Rupiah. Pembatasan alat pembayaran hanya berdasarkan pilihan internal toko bukan alasan yang sah secara hukum untuk menolak tunai.
Kantor perwakilan BI di beberapa daerah bahkan mengambil langkah proaktif untuk meningkatkan penyediaan uang tunai, termasuk menjelang momen libur panjang, sebagai bentuk jaminan bahwa kebutuhan masyarakat terhadap uang fisik tetap terpenuhi.
QRIS: Tren Digital yang Tak Terelakkan
Tidak bisa dipungkiri, QRIS telah menjadi salah satu pendorong utama transformasi ekonomi digital di Indonesia. Adopsinya terus tumbuh, tidak hanya dalam transaksi sehari-hari di pasar tradisional dan UMKM, tetapi juga dalam integrasi lintas negara ASEAN seperti Malaysia, Singapura, dan Jepang, membuka peluang bagi pembayaran lintas wilayah.
Bank Indonesia dan pelaku industri finansial melihat QRIS sebagai alat inklusif yang mempermudah masyarakat mengakses layanan keuangan, mendukung UMKM, serta mempercepat transaksi tanpa uang fisik. Generasi Z dan milenial bahkan semakin akrab dengan gaya hidup cashless karena efisiensi dan kenyamanan yang ditawarkan.
Tantangan dan Ketimpangan Sosial
Meski begitu, kritik terhadap penggunaan QRIS sebagai satu-satunya cara transaksi menunjukkan bahwa transformasi digital belum merata. Kelompok tertentu masih bergantung pada tunai karena keterbatasan akses teknologi, literasi finansial, atau preferensi pribadi. Beberapa pengamat perlindungan konsumen menilai bahwa memberlakukan QRIS sebagai alat transaksi tunggal berpotensi bertentangan dengan regulasi yang menjamin hak konsumen untuk memilih alat pembayaran.
Selain itu, tidak semua merchant atau sistem digital sepenuhnya siap melayani seluruh segmen masyarakat, terutama di daerah dengan penetrasi internet terbatas atau di kalangan pedagang kecil yang belum beralih sepenuhnya ke digital.
Harmonisasi Digital dan Tunai
Polemik antara QRIS dan tunai mencerminkan dinamika transisi ekonomi Indonesia dari era analog ke digital. QRIS adalah inovasi penting yang mempercepat inklusi finansial dan efisiensi transaksi. Namun, peran uang tunai sebagai alat pembayaran sah tetap diakui secara hukum dan penting secara sosial, terutama bagi kelompok masyarakat tertentu.
Transformasi digital tidak boleh mengabaikan hak dasar konsumen untuk memilih cara bayar yang paling sesuai dengan situasi mereka. Regulasi yang adil dan edukasi masyarakat tentang kedua sistem ini harus berjalan seiring, supaya proses cashless society tetap inklusif dan tidak meninggalkan mereka yang paling rentan di belakang.
Penulis: Khalid Asmadi




