PWKP soroti tantangan tata kelola laut Indonesia
Refleksi Hari Nusantara: Penguatan tata kelola, riset, regulasi, dan infrastruktur kelautan dinilai mendesak.

Elshinta/ HUB
Elshinta/ HUB
Jakarta — Perkumpulan Wredatama Kelautan dan Perikanan (PWKP) menegaskan bahwa peringatan Hari Nusantara merupakan momentum penting untuk melakukan refleksi menyeluruh terhadap tata kelola kelautan Indonesia. Ketua PWKP, Dr. Aji Sularso, menekankan bahwa semangat Deklarasi Juanda (1957) perlu terus dihidupkan sebagai fondasi politik dan hukum Indonesia sebagai negara kepulauan.
“Deklarasi Juanda membentuk mindset bahwa orientasi pembangunan kita tidak lagi hanya berbasis darat, tetapi darat dan laut secara seimbang,” ujarnya dalam Diskusi Publik Hari Nusantara di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kamis (11/12/2025).
Aji menjelaskan bahwa perjuangan tokoh-tokoh seperti Prof. Mochtar Kusumaatmadja berhasil membawa konsep negara kepulauan diakui dunia melalui UNCLOS 1982, yang kemudian melahirkan berbagai regulasi kunci di sektor kelautan dan perikanan.
Tantangan Fragmentasi Kelembagaan dan Penegakan Hukum
Dalam paparannya, Aji menilai tata kelola kelautan Indonesia masih menghadapi fragmentasi kelembagaan. Salah satu isu krusial adalah posisi BAKAMLA, yang diharapkan menjadi pusat komando keamanan laut namun belum memiliki payung undang-undang yang memadai.
“Dalam penegakan hukum di laut masih terjadi mispersepsi antara rezim kedaulatan dan rezim ZEE. Ini berpengaruh pada proses penyidikan di lapangan,” tegasnya.
Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Pengawasan Perikanan juga disebut masih tertunda sehingga menghambat pengawasan sumber daya perikanan secara optimal.
Kritik Soal Data Nasional dan Risiko Overfishing
Aji turut mempertanyakan angka Maximum Sustainable Yield (MSY) sebesar 12 juta ton per tahun yang digunakan pemerintah.
“Jika merujuk riset tahun 2001, stok ikan hanya 6,4 juta ton. Bila pencatatan sekarang melampaui itu tanpa dasar ilmiah yang kuat, jangan-jangan kita sudah masuk overfishing,” katanya.
Ia menambahkan bahwa sistem pemantauan kapal seperti VMS dan pengawasan IUU Fishing masih belum maksimal. PWKP bahkan menyarankan pemanfaatan teknologi radar microwave yang lebih murah dan dapat diandalkan sebagai alternatif satelit.
Peran Asosiasi Dianggap Melemah
Aji menilai bahwa asosiasi profesi kelautan kini semakin pasif dalam proses perumusan kebijakan. Padahal, di masa lalu asosiasi seperti MPN sangat vokal mengawal lahirnya berbagai regulasi penting.
“Asosiasi harus kembali menjadi jembatan antara pemerintah dan pelaku sektor,” ujarnya.
Asosiasi juga memiliki peran penting dalam sosialisasi regulasi, pengawasan program seperti hibah kapal, hingga melakukan advokasi berbasis data.
Ketimpangan Infrastruktur dan Akses Pembiayaan Nelayan
PWKP juga menyoroti ketimpangan infrastruktur pelabuhan perikanan yang dinilai masih menjadi hambatan utama.
“Pelabuhan swasta harus lebih banyak dilibatkan untuk mendorong efisiensi,” kata Aji.
Sementara itu, akses pembiayaan seperti KUR tanpa agunan juga dinilai belum berjalan ideal di lapangan.
“Banyak nelayan tetap kembali ke rentenir karena lebih mudah. Ini persoalan klasik yang harus diselesaikan,” tegasnya.
Makna Hari Nusantara Harus Lebih Substantif
Aji menutup dengan penegasan bahwa Hari Nusantara harus menjadi momen untuk meneguhkan kembali komitmen nasional pada kedaulatan dan keberlanjutan laut.
“Hari Nusantara bukan sekadar seremoni. Kedaulatan, kesejahteraan, dan kelestarian laut harus menjadi pilar pembangunan nasional,” ujarnya.
PWKP, lanjut Aji, harus menjadi pusat pengetahuan, jembatan kolaborasi, sekaligus penjaga etika dan kelestarian laut Indonesia.
— Hutomo Budi




