QRIS gratis di bawah Rp500 ribu dorong aktivitas ekonomi daerah

Local Expert Kemenkeu RI di NTT dan Akademisi FEB Universitas Nusa Cendana Kupang Dr Rolland E Fanggidae. ANTARA
Local Expert Kemenkeu RI di NTT dan Akademisi FEB Universitas Nusa Cendana Kupang Dr Rolland E Fanggidae. ANTARA
Akademisi Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, NTT, Dr Roland E Fanggidae menilai kebijakan pembebasan biaya layanan (gratis) untuk transaksi melalui QRIS di bawah Rp500 ribu berpotensi memacu ekonomi daerah, khususnya sektor UMKM.
“Kebijakan progresif ini akan semakin meningkatkan penggunaan QRIS oleh pengusaha kecil dan UMKM, sekaligus mendongkrak nilai transaksi dan perputaran uang di tingkat daerah,” kata dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Undana Kupang itu di Kupang, Jumat malam.
Menurut dia, selama ini sebagian pelaku usaha masih khawatir terkait biaya layanan, sehingga pembebasan tarif dapat meningkatkan penggunaan “Quick Response Code Indonesian Standard” (QRIS).
Sebelumnya, Merchant Discount Rate (MDR) atau biaya layanan dibebankan kepada pedagang ditetapkan sebesar 0,3 persen untuk transaksi lebih dari Rp100 ribu.
Ia menyebut penggunaan QRIS di NTT sejauh ini menunjukkan perkembangan positif seiring meningkatnya inklusi dan literasi keuangan digital di tengah masyarakat.
Ia merujuk data Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi NTT, hingga September 2025, transaksi QRIS tercatat mencapai 32,7 juta transaksi atau tumbuh hingga 77 persen (yoy) dibandingkan dengan periode yang sama pada 2024 yang mencapai 18,5 juta transaksi.
Jumlah pengguna tercatat 321 ribu masyarakat NTT telah bertransaksi menggunakan QRIS atau tumbuh sebesar 5,10 persen (ytd) dari 305 ribu pengguna pada Desember 2024.
“Kalau kita bicara QRIS hari ini, pengaruhnya besar dalam transaksi sehari-hari. Masyarakat sudah mulai terbiasa dengan pola non-tunai ini,” kata Local Expert Kementerian Keuangan di NTT itu.
Menurut dia, untuk meningkatkan efektivitas kebijakan tersebut, perlu dilakukan inovasi dan literasi keuangan lebih kuat ke daerah yang belum terjangkau.
“Misalnya menjangkau pasar tradisional, sehingga pedagang sayur dan ikan mulai menggunakan QRIS. Begitu pula kolaborasi kegiatan atau event yang mewajibkan tenant UMKM menggunakan QRIS, bahkan ada yang membuat kompetisi jumlah transaksi QRIS. Ini langkah positif,” katanya.
Namun, ia juga menyoroti tantangan kondisi geografis NTT yang belum seluruhnya mendukung penggunaan QRIS, sehingga sejumlah wilayah belum terjangkau secara optimal.
Rolland mendorong perlunya akselerasi dan inovasi dari Bank Indonesia serta lembaga perbankan dalam menyasar ekonomi lokal, agar jumlah pengguna QRIS terus bertambah, tidak hanya di perkotaan tetapi hingga pedesaan.
Ia menambahkan perlu juga menyentuh pasar di pedesaan hingga lembaga non-profit seperti gereja agar manfaat transaksi non-tunai semakin merata.
“Pada akhirnya, upaya-upaya ini turut berdampak pada pertumbuhan ekonomi di Nusa Tenggara Timur,” ujarnya.




