Top
Begin typing your search above and press return to search.

Tantangan sektor riil di tengah derasnya likuiditas era Purbaya

Tantangan sektor riil di tengah derasnya likuiditas era Purbaya
X

Menteri Keuangan menyampaikan pidatonya dalam Forum Great Lecture di Jakarta, Kamis (11/9). Ia optimistis Indonesia mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen. (ANTARA/HO-Forum Great Lecture)

Di tengah pertumbuhan yang belum mencapai ekspektasi, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membuka kran likuiditas, sebuah kebijakan yang perlu dibarengi pendorong permintaan agar tak sekedar mengendap di neraca bank, namun menjadi efek domino ekonomi.

Menggantikan Sri Mulyani Indrawati, --yang tak berlebihan rasanya disebut penjaga kredibilitas fiskal Indonesia dalam tiga era pemerintahan--, Purbaya hadir mengukir rezim baru.

Di hari keduanya menjabat menteri keuangan, ia mengaku bergaya koboi. Tak heran rasanya, ia memilih pendekatan yang langsung menyentuh jantung intermediasi dengan mengaktifkan dana kas pemerintah yang selama ini diparkir di Bank Indonesia dan menempatkannya ke bank-bank Himpunan Bank-Bank Negara (Himbara).

Selain kepastian penyaluran kredit yang benar-benar produktif, keberhasilan Purbaya akan ditentukan jangkar disiplin fiskal untuk keberlanjutan, dan koordinasi fiskal-moneter untuk menjaga stabilitas.

Dalam rapat kerja perdana di Komisi XI DPR RI, Rabu (10/9), Purbaya menginginkan anggaran pemerintah sebanyak Rp200 triliun dari total Rp425 triliun dipindahkan dari BI ke lima bank Himbara.

Musababnya, ia menilai selama ini sistem keuangan “kering” karena mesin-mesin ekonomi belum bekerja optimal. Pemindahan anggaran pemerintah dari BI ke Himbara diharapkan membanjiri likuiditas sehingga biaya dana perbankan menurun, dan kredit baru lebih mudah mengalir ke sektor riil. Ia ingin “agen-agen” ekonomi di perbankan, dunia usaha, pelaku usaha riil dapat bergerak optimal sesuai kanalnya masing-masing.

Namun likuiditas tak pernah berperan sendirian dalam menumbuhkan perekonomian. Suntikan likuiditas memang akan memompa sisi moneter atau penawaran kredit, tapi perbankan akan turun dan kredit baru bisa mengalir ke sektor riil jika agregat permintaan terdorong.

Kalau permintaan lemah, perusahaan atau industri rumah tangga tetap enggan berutang ke bank, sehingga dana perbankan hanya mengendap di perbankan. Tanpa keyakinan permintaan, bank juga cenderung hati-hati dalam menyalurkan pembiayaan sehingga likuiditas tidak otomatis jadi kredit.

Karena itu, logika kebijakan ini perlu dipasangkan dengan pengungkit permintaan dari sektor riil, seperti realisasi percepatan program prioritas pemerintah dan stimulus ekonomi bagi masyarakat.

Stimulus itu, di antaranya, dapat dialirkan dengan akselerasi dan peningkatan kualitas program prioritas seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa (Kopdes) Merah Putih, dan pembangunan 3 juta rumah sehingga benar-benar memberikan efek pengganda ekonomi seperti pembukaan lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan. Insentif juga patut diberikan bagi pekerja dan dunia usaha yang selama ini terdampak kelesuan ekonomi agar mampu menggedor agregat permintaan.

Pemerintah juga perlu segera mencarikan solusi untuk diversifikasi ekspor agar dunia usaha mendapat jalan keluar untuk menjaga keberlangsungan bisnis di tengah eskalasi ekonomi global.

Intinya sederhana: paket insentif permintaan berjalan berdampingan dengan injeksi likuiditas agar operasi penawaran bertemu dengan permintaan sehingga menghasilkan manfaat ekonomi nyata bukan sekadar penambahan uang beredar.

Koordinasi fiskal-moneter

Di sisi lain, rezim yang dibangun Purbaya juga mengundang tepuk tangan dan perhatian setelah belasan tahun fiskal berada di era konservatif. Namun koordinasi otoritas fiskal dan moneter tetap perlu dijaga agar tidak menghasilkan sinyal yang membingungkan pasar.

Garis mandat harus tetap tegas antara otoritas fiskal dan moneter. Otoritas fiskal mendorong intermediasi melalui pengelolaan anggaran, sementara bank sentral tetap berperan menjaga inflasi, stabilitas rupiah, dan suku bunga pasar uang. Dalam tataran teknisnya, perlu kesepahaman indikator kapan bank sentral mensterilisasi kelebihan likuiditas agar stabilitas perekonomian terjaga.

Berbagai literatur ekonomi dunia juga menunjukkan pentingnya koordinasi otoritas fiskal dan moneter agar tidak menimbulkan sinyal yang saling bertubrukan seperti halnya dalam operasi pelonggaran atau pengetatan likuiditas.

Dari sisi pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberikan dukungan yang diperlukan, namun juga mewanti-wanti agar perbankan menerapkan mitigasi risiko dalam penyaluran kredit. Regulator berharap penempatan dana negara menurunkan biaya dana perbankan dan pada gilirannya dapat menurunkan suku bunga kredit.

Pengawasan perbankan

Suara dari parlemen pun menebal untuk memasang pagar risiko dari kebijakan pelonggaran likuiditas ini. Ketua Komisi XI DPR RI, yang membidangi keuangan dan perbankan, Misbakhun menekankan perlunya koordinasi erat antara Kementerian Keuangan dan BI agar tujuan fiskal dan moneter selaras, yakni menjaga inflasi dan stabilitas nilai tukar rupiah sekaligus memastikan kredit benar-benar masuk ke sektor riil.

Penempatan likuiditas, ujar dia, sebaiknya tidak berhenti pada Himbara, tetapi menjangkau bank swasta yang sehat dan diarahkan ke sektor padat karya. Pengawasan realisasi penyaluran menjadi penting supaya kredit tidak menjadi undisbursed loan.

Indonesia melihat pelajaran upaya pemulihan ekonomi dari pandemi COVID-19 sangat relevan. Saat itu, banyak negara menyalurkan likuiditas besar ke sistem keuangan tetapi efeknya ke sektor riil kurang optimal. Indonesia tidak perlu mengulang bab yang sama. Injeksi likuiditas kali ini semestinya diikat dengan stimulus ke sektor riil, dan ketentuan eksplisit bahwa dana tidak boleh diparkir ke SBN.

Pemerintah, bekerja sama dengan BI dan OJK juga perlu menetapkan indikator pertumbuhan kredit sektoral yang terukur, baik dari sektor UMKM, manufaktur padat karya, pertanian, perumahan dan lainnya setelah pemindahan dana pemerintah ke Himbara. Indikator itu menjadi rujukan, apakah kebijakan pelonggaran likuiditas ini dapat terus dikebut, atau perlu penyesuaian melihat perkembangan fungsi intermediasi.

Jika tidak, alih-alih mengungkit perekonomian, dana yang mengendap di pasar keuangan hanya menguntungkan segelintir pihak karena hanya menaikkan harga aset keuangan tanpa efek pengganda ke sektor riil.

Kehati-hatian berikutnya menyangkut kualitas risiko. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) perlu menyiapkan uji ketahanan (stress test) bagaimana jika serapan di sektor tertentu gagal, jika kredit macet (Non Performing Loan/NPL) merayap naik, atau jika bank menimbun likuiditas saat volatilitas meningkat. Hasilnya menjadi dasar mengatur tempo kebijakan.

Pada akhirnya, keberhasilan gaya Purbaya tidak hanya diukur dari bombastisnya suatu kebijakan. Jika adanya penguatan di sektor riil, maka injeksi likuiditas bisa menjelma menjadi kapasitas produksi baru, peningkatan pendapatan, dan transaksi perdagangan yang mengular. Masyarakat diharapkan akan bisa merasakan manfaatnya di pasar-pasar, warung kelontong, bursa lowongan kerja, dan produksi pabrik-pabrik.

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire