TSI: Penyebar hoaks tentang Bandung Zoo bisa dipidana

Situasi di Taman Safari Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. ANTARA/HO-Taman Safari
Situasi di Taman Safari Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. ANTARA/HO-Taman Safari
Manajemen Taman Safari Indonesia (TSI) menegaskan penyebaran informasi bohong atau hoaks yang mengaitkan TSI dengan perkara pidana di Bandung Zoo dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik dan dapat berimplikasi hukum pidana bagi pihak yang menyebarkannya.
Corporate Communication TSI Eko Maryadi dalam keterangannya di Bandung, Rabu, menyampaikan pihaknya menyesalkan beredarnya petisi daring di platform change.org yang dinilai menimbulkan kesalahpahaman publik mengenai posisi TSI dalam perkara tersebut.
"Disinformasi atau desas-desus yang mengaitkan TSI dengan perkara yang dimaksud dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik," kata Eko.
Eko menegaskan TSI tidak memiliki keterkaitan dengan perkara dugaan tindak pidana korupsi yang tengah disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung maupun dengan persoalan hukum yang menimpa Bandung Zoo.
"TSI sebagai badan hukum sama sekali tidak terkait dengan proses persidangan perkara tipikor yang didakwakan kepada mantan pengurus YMT atau Kebun Binatang Bandung," ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa penutupan Kebun Binatang Bandung sepenuhnya merupakan kewenangan Wali Kota Bandung bersama Polrestabes Bandung sebagaimana diberitakan media massa.
"Dalam hal ini, TSI tidak terlibat dalam kebijakan tersebut," katanya.
Eko menyatakan pihaknya mendukung penuh proses hukum yang tengah berlangsung di kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan, serta percaya proses itu berjalan secara adil dan transparan.
Sebelumnya, Kejati Jabar telah menetapkan dua orang tersangka dalam perkara dugaan korupsi di Bandung Zoo, yakni dua petinggi Yayasan Margasatwa Tamansari Bandung bernama Raden Bisma Bratakoesoema dan Sri Devi.
Keduanya diduga menyalahgunakan tanah milik Pemerintah Kota Bandung seluas hampir 140 ribu meter persegi di Jalan Tamansari. Lahan yang berstatus barang milik daerah (BMD) itu sudah disewa sejak tahun 2005, namun perjanjian sewa berakhir pada 30 November 2007.
Meski perjanjian telah berakhir, yayasan tetap mengelola kebun binatang tanpa membayar sewa ke kas daerah. Dalam kurun 2017 hingga 2020, terdakwa diduga menerima uang sewa hingga Rp6 miliar yang digunakan untuk kepentingan pribadi.