Top
Begin typing your search above and press return to search.

Ketika jalan tak sama rata di NTB

Dalam perjalanan darat dari Kota Mataram menuju Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB), kontras pembangunan kerap terasa, bahkan sebelum kendaraan melintasi Selat Alas.

Ketika jalan tak sama rata di NTB
X

Sebuah kendaraan melintas di jalan Bypass Bandara Internasional Lombok (BIL) menuju ke Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Mandalika di Kecamatan Pujut, Praya, Lombok Tengah, NTB. ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi.

Dalam perjalanan darat dari Kota Mataram menuju Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat (NTB), kontras pembangunan kerap terasa, bahkan sebelum kendaraan melintasi Selat Alas.

Di Lombok, jalur demi jalur terus dipoles, ditopang jaringan bypass yang menghubungkan pelabuhan, bandara, hingga kawasan wisata. Namun, memasuki Sumbawa, cerita infrastruktur berubah menjadi perjalanan panjang yang menuntut kesabaran.

Pada titik tertentu, genangan air atau jalan terkelupas masih menjadi pemandangan akrab, memunculkan kembali perdebatan lama tentang keadilan pembangunan di NTB.

Isu ini kembali hangat setelah potongan video dialog pejabat pemerintah beredar dan ditafsirkan sebagai ketimpangan penanganan infrastruktur antara Lombok dan Sumbawa.

Klarifikasi pun muncul. Gubernur NTB Lalu Muhammad Iqbal menegaskan bahwa perhatian pemerintah provinsi tidak pernah dibedakan. Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) NTB, Sadimin juga menolak anggapan adanya bias kebijakan.

Namun, sorotan publik terhadap keadilan pembangunan tak pernah benar-benar padam, terutama karena masyarakat merasakan sendiri perbedaan kualitas konektivitas di kedua pulau.

Isu ini penting ditelaah bukan untuk mencari siapa yang salah, melainkan bagaimana memastikan pembangunan berjalan setara, efektif, dan berpihak pada kebutuhan masyarakat di seluruh NTB.

Dalam konteks inilah, pembahasan pembangunan jalan, jembatan, dan konektivitas lintas wilayah menjadi pintu masuk memahami tantangan pemerataan pembangunan di provinsi kepulauan ini.

Menjawab persepsi

Pembangunan tidak pernah berdiri di ruang hampa. Ia ditentukan oleh anggaran, demografi, kondisi geografis, dan urgensi sosial-ekonomi. Untuk itu, penting melihat fakta-fakta yang telah dijelaskan pemerintah.

Panjang jalan provinsi di Lombok sekitar 500 kilometer, sementara Sumbawa mencapai lebih dari 900 kilometer. Artinya kebutuhan perbaikan dan peningkatan kualitas jalan secara logis memang lebih besar di Sumbawa.

Kondisi ini direspons pemerintah provinsi dengan menempatkan Sumbawa sebagai prioritas pada tahun anggaran 2025. Sumbawa mendapatkan alokasi sekitar Rp58 miliar, sementara Lombok memperoleh Rp35 miliar.

Kebijakan ini menunjukkan bahwa pernyataan mengenai “Sumbawa kurang diperhatikan” tidak sepenuhnya tepat. Justru dalam sembilan bulan terakhir, sebagian besar proyek jalan berada di Sumbawa, termasuk ruas dengan lalu lintas harian tidak terlalu tinggi.

Namun perdebatan publik tidak serta-merta mereda. Sebab bagi sebagian masyarakat, pengalaman sehari-hari lebih kuat daripada angka.

Jalan rusak yang belum tersentuh perbaikan, akses antar kecamatan yang tidak sama kualitasnya, dan lambatnya penanganan di wilayah pedalaman menjadi alasan mengapa persepsi ketimpangan terus hidup di ruang publik NTB.

Pada saat yang sama, di Lombok, pemerintah sedang menyiapkan proyek besar, yaitu pembangunan jalan bypass Lembar-Kayangan yang akan dimulai pada 2027.

Proyek ini bernilai Rp3,5 triliun, mencakup jalur baru Sengkol-Pringgabaya hingga peningkatan jalan di kawasan Bandara Internasional Lombok. Jalan baru ini diproyeksikan memangkas waktu tempuh Lembar-Kayangan dari 4-5 jam menjadi hanya 2 jam.

Dari sisi skala, Lombok jelas menikmati proyek besar karena kawasan pelabuhan, bandara, dan destinasi wisata berada di pulau ini.

Di titik ini, yang dipertanyakan masyarakat bukan semata proporsi anggaran, melainkan rasa keadilan. Proyek besar di Lombok begitu mencolok, sementara di Sumbawa pembangunan terlihat lebih tersebar dan tidak selalu tampak sebagai “game changer”.

Sebagian warga menilai bahwa pembangunan monumental seharusnya juga hadir di Sumbawa, entah dalam bentuk jembatan strategis, jalan lingkar pulau, atau proyek yang mengubah wajah konektivitas wilayah timur NTB.

Namun persoalan pemerataan tidak sesederhana membandingkan dua pulau. Sumbawa memiliki bentang geografis luas dengan permukiman berjauhan, sedangkan Lombok padat, urban, dan menjadi pusat ekonomi NTB.

Sumbawa memiliki 900 kilometer jalan, tetapi intensitas lalu lintasnya tidak setinggi Lombok. Kebijakan pembangunan yang mempertimbangkan lalu lintas harian rata-rata tidak bisa serta-merta dianggap diskriminatif, melainkan upaya memaksimalkan manfaat anggaran.

Meski demikian, paradigma bahwa wilayah padat otomatis lebih berhak diprioritaskan mulai dipertanyakan. Banyak wilayah di Indonesia kini mendorong keadilan spasial, yakni pembangunan yang tidak hanya mengikuti jumlah penduduk, tetapi menimbang kebutuhan mendasar dan peluang pertumbuhan jangka panjang.

Dalam konteks NTB, pendekatan ini sangat relevan untuk menjembatani kesenjangan Lombok-Sumbawa.

Keadilan pembangunan

Pemerataan pembangunan di dua pulau utama NTB menghadapi tantangan khas daerah kepulauan. Ketika infrastruktur di Lombok bergerak cepat mengikuti dinamika pariwisata, logistik, dan urbanisasi, Sumbawa berjalan dalam ritme berbeda.

Jarak antarkecamatan jauh, biaya pembangunan lebih tinggi, dan kebutuhan perbaikan tersebar di banyak titik. Tantangan ini bukan sekadar persoalan anggaran, tetapi juga governance. Bagaimana memastikan alokasi dana tepat sasaran, pengawasan berjalan, dan masyarakat mendapatkan manfaat nyata.

Namun, keadilan pembangunan bukan hanya soal jumlah proyek atau besar anggaran. Yang lebih penting adalah efek jangka panjang terhadap kapasitas ekonomi wilayah, memperkuat konektivitas antarpulau, serta menyediakan layanan dasar yang setara di semua kabupaten.

Dalam konteks itu, ada beberapa langkah yang dapat memperkuat pemerataan pembangunan di NTB.

Pertama, memperluas pendekatan prioritas berbasis kebutuhan wilayah, bukan hanya lalu lintas harian.

Beberapa jalan di Sumbawa yang jarang dilalui justru menjadi urat nadi mobilitas warga di desa terpencil. Keberadaannya tidak hanya menentukan waktu tempuh, tetapi juga akses layanan kesehatan, pendidikan, hingga pasar.

Kedua, mendorong pembangunan strategis yang mampu mengangkat potensi Sumbawa secara signifikan.

Proyek serupa bypass Lombok dapat diterjemahkan ke dalam proyek ikonik Sumbawa, misalnya jalur lintas cepat penghubung antar kabupaten atau penguatan jaringan pelabuhan dan jalan industri untuk mendukung sektor perikanan dan pertambangan.

Ketiga, memastikan transparansi dan komunikasi publik yang kuat. Isu ketimpangan sering muncul bukan karena minimnya pembangunan, tetapi karena publik kurang mendapatkan informasi utuh.

Data anggaran, progres proyek, dan rencana jangka panjang harus disampaikan secara berkala agar persepsi publik sejalan dengan realitas.

Keempat, membangun kesadaran bersama bahwa pembangunan adalah kerja berkelanjutan.

Pemerataan tidak terjadi dalam satu tahun anggaran, melainkan melalui kebijakan yang konsisten, evaluasi rutin, serta sinergi pemerintah kabupaten, provinsi, hingga nasional.

Pada akhirnya, Lombok dan Sumbawa adalah dua saudara dalam satu rumah besar NTB. Pembangunan yang terlalu condong ke satu sisi hanya akan menyisakan jurang baru.

Namun ketika keduanya tumbuh bersama, NTB dapat menjadikan posisinya sebagai provinsi kepulauan, sebagai kekuatan, bukan keterbatasan.

Di tengah kritik dan tuntutan keadilan, momentum klarifikasi pejabat publik dapat menjadi titik balik. Bukan untuk menutup perdebatan, tetapi membuka ruang membangun kebijakan yang lebih setara, manusiawi, dan berdampak.

Jalan panjang pemerataan pembangunan NTB bukan hanya proyek fisik, tetapi juga proyek sosial seperti membangun rasa memiliki, rasa adil, dan rasa bahwa setiap jengkal tanah NTB layak tumbuh dengan martabat yang sama.

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire