Top
Begin typing your search above and press return to search.

Cara baru membaca puisi esai: Dari narasi ke branding

Eksplorasi potensi puisi esai sebagai cultural brand dalam industri kreatif. Karya sastra ini bisa dikembangkan jadi ikon budaya melalui strategi branding dan alih wahana.

Cara baru membaca puisi esai: Dari narasi ke branding
X

Elshinta/ Rizki Rian Saputra (Sumber foto : Oleh Amelia Fitriani)

Postgraduate Student in Business & Communication Management, LSPR Institute of Communication & Business (Regular Batch 42)

Puisi esai selama ini dikenal sebagai genre sastra kontemporer yang memadukan kekuatan puitik dengan ketelitian fakta. Ia lahir sebagai respons terhadap kebutuhan masyarakat untuk memahami realitas sosial melalui cara yang lebih reflektif, naratif, dan emosional.

Sejak kemunculannya pada 2012, puisi esai terus berkembang dan menarik perhatian, bukan hanya para seniman, tapi juga para akademisi untuk dikaji. Namun, selama bertahun-tahun, kajian tersebut umumnya berfokus pada perdebatan sastra, estetika, konteks sosial dan sejarah, sehingga potensi strategisnya di luar ranah tersebut belum banyak disentuh.

Padahal, jika dibaca melalui pendekatan bisnis dan komunikasi, puisi esai bisa dilihat sebagai sebuah merek (brand) karena memiliki karakteristik yang selaras dengan prinsip-prinsip branding modern, ia memuat narasi yang kuat, membawa nilai identitas (identity value), dan mampu membangun kedekatan emosional dengan publik.

Pendekatan ini membuka ruang untuk melihat puisi esai sebagai ikon budaya yang tidak hanya berfungsi sebagai teks sastra, tetapi juga sebagai medium makna yang dapat dikembangkan, dikomunikasikan, dan dieksplorasi potensi monetisasinya dalam ekosistem industri kreatif. Hal ini dapat diperkuat melalui strategi branding yang tepat.

Merujuk pada pemikiran Douglas B. Holt, seorang profesor marketing yang pernah mengajar di Harvard Business School dan University of Oxford sekaligus pencetus teori cultural branding, dalam bukunya How Brands Become Icons (2004), sebuah brand tidak hanya memiliki nilai fungsional atau ekonomi, tetapi juga nilai budaya. Menurut Holt, sebuah brand menjadi kuat bukan sekadar karena fitur produknya, melainkan karena kemampuannya menghadirkan narasi budaya (myths) yang mampu menjawab kegelisahan sosial pada zamannya.

Lebih jauh, cultural branding tidak terbatas pada produk seperti fesyen, dekorasi rumah, kecantikan, hiburan, otomotif, makanan, dan minuman, tetapi juga mencakup berbagai entitas yang digunakan masyarakat untuk mengekspresikan identitas mereka. Artinya, seni, tokoh fiksi, gerakan sosial, lembaga, hingga tempat seperti kota atau negara pun dapat berfungsi sebagai ikon budaya yang membawa dan menegosiasikan makna sosial.

Jika kerangka berpikir Holt ini diterapkan pada puisi esai, terlihat bahwa genre ini memiliki potensi kuat sebagai cultural brand karena kemampuannya menghadirkan kisah faktual dalam bentuk puitik yang menyentuh identitas dan refleksi sosial. Struktur naratif yang memadukan realitas, sejarah, personalitas, dan interpretasi emosional menjadikan puisi esai sebagai “brand naratif” yang menawarkan mitos modern kepada pembacanya.

Dengan cara itu, puisi esai menjadi medium yang mampu mengartikulasikan kegelisahan publik, mulai dari isu kemanusiaan, keadilan, demokrasi, kemiskinan, hingga ingatan kolektif, dengan relevansi budaya yang kuat. Ketika karya sastra mampu menghadirkan mitos identitas yang resonan, ia berpotensi berkembang menjadi ikon budaya dalam ruang publik kontemporer.

Potensi tersebut semakin besar jika ditempatkan dalam ekosistem industri kreatif Indonesia. Branding yang tepat dapat mendorong puisi esai menjangkau format dan ruang kreatif yang lebih luas.

Puisi Esai tidak perlu terbatas hanya dalam bentuk buku atau antologi, melainkan dapat dieksplorasi lewat festival sastra, pertunjukan baca puisi, teaterisasi, film pendek, karya audiovisual, hingga kolaborasi lintas komunitas. Pendekatan ini tidak mengubah jati diri puisi esai sebagai karya sastra, tetapi justru memperluas ruang pertemuannya dengan publik dan membuka peluang monetisasi melalui produk turunan serta alih wahana.

Dalam konteks nasional, industri kreatif merupakan pilar penting ekonomi Indonesia. Media Tempo (23 Maret 2025) melaporkan bahwa sektor ekonomi kreatif menyumbang sekitar Rp1,53 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2024, dengan nilai ekspor mencapai US$25,10 miliar. Empat subsektor terbesar penyumbang nilai tersebut adalah fesyen, kriya, kuliner, dan penerbitan.

Dalam klasifikasi resmi ekonomi kreatif, subsektor publishing mencakup aktivitas penerbitan buku, jurnal, majalah, karya literasi, hingga pengembangan konten berbasis tulisan yang dapat dialihwahanakan ke format audio, visual, maupun digital. Puisi esai berada dalam kategori ini sebagai karya literer yang diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi melalui ekosistem penerbitan dan literasi modern.

Dengan demikian, posisinya tidak hanya terkait dunia sastra, tetapi juga menjadi bagian dari rantai nilai industri kreatif yang mampu melahirkan produk turunan, kolaborasi lintas media, dan peluang komersialisasi berbasis konten.

Pada akhirnya, branding puisi esai bukan semata-mata soal membuka peluang monetisasi, tetapi terutama tentang memperkuat nilai budaya yang dikandungnya. Melalui strategi alih wahana dan kolaborasi kreatif, puisi esai dapat memperluas jangkauan maknanya, menghadirkan kembali narasi-narasi penting yang membentuk identitas kolektif masyarakat.

Potensi ekonomi mungkin menjadi dampak turunan, tetapi nilai utamanya terletak pada kemampuannya membangun identity value, sebuah ruang simbolik yang merepresentasikan pengalaman, refleksi, dan imajinasi publik Indonesia.

Di tengah ekosistem industri kreatif yang terus berkembang, puisi esai memiliki peluang besar untuk berperan sebagai ikon budaya, alias karya yang tidak hanya dibaca, tetapi juga dihidupi dan dirayakan sebagai bagian dari perjalanan identitas bangsa. Dengan memperkuat posisi ini, puisi esai dapat menjembatani ekspresi artistik, nilai budaya, dan dialog sosial, sekaligus memberi kontribusi bagi lanskap kreatif Indonesia secara lebih bermakna.


(Rizky Rian Saputra)

Sumber : Radio Elshinta

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire