Gen Z dan caranya menikmati tantangan dunia kerja

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dan Wakil Wali Kota Armuji bersama Presiden Gen Z Rian Fahradi, artis Elsa Japasal, dan konten kreator Jerome Polin sesuai acara bertajuk "Gen Z Suroboyo Beraksi dan Menginspirasi" di Graha UNESA, Lidah Wetan, Sabtu (8/6/2024). ANTARA/HO-Diskominfo Surabaya.
Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi dan Wakil Wali Kota Armuji bersama Presiden Gen Z Rian Fahradi, artis Elsa Japasal, dan konten kreator Jerome Polin sesuai acara bertajuk "Gen Z Suroboyo Beraksi dan Menginspirasi" di Graha UNESA, Lidah Wetan, Sabtu (8/6/2024). ANTARA/HO-Diskominfo Surabaya.
Gen Z adalah generasi yang tumbuh di tengah revolusi digital, krisis global, dan percepatan teknologi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Mereka yang lahir antara 1997–2012 ini dikenal adaptif, kritis, serta memiliki kesadaran tinggi terhadap makna kerja.
Di Indonesia, figur seperti Jerome Polin, kreator edukatif sekaligus wirausahawan muda, mencerminkan sosok Gen Z yang menikmati pekerjaan menantang secara intelektual, tapi tetap memberi ruang bagi ekspresi diri dan keseimbangan hidup.
Bagi Gen Z, pekerjaan bukan sekadar sumber penghasilan, melainkan wadah untuk berkembang, bereksperimen, dan berkontribusi. Tak heran bila mereka menyenangi “pola zigzag” dalam menentukan berapa lama akan bertahan dan menikmati keberadaan di suatu tempat kerja.
Gen Z dikenal memiliki prinsip kuat terhadap nilai kejujuran dan penghargaan atas kinerja individu. Mereka tidak segan meninggalkan tempat bekerja ketika hasil kerja pribadinya diakui sebagai capaian tim tanpa penyebutan kontribusi mereka sebagai individu dengan adil.
Generasi ini juga cenderung mudah berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain apabila menemukan lingkungan kerja yang tidak menerapkan nilai kejujuran, keterbukaan, dan penghargaan terhadap prestasi.
Bagi Gen Z, pengakuan yang proporsional dan peluang untuk berkembang merupakan bagian penting dari kepuasan dan loyalitas mereka di dunia kerja.
Laporan Deloitte Global Gen Z and Millennial Survey 2025 mencatat bahwa 61 persen Gen Z memilih bertahan di tempat kerja yang menghargai kesejahteraan mental dan peluang belajar berkelanjutan. Mereka lebih loyal kepada organisasi yang memberi tujuan (purpose), fleksibilitas, dan jalur pengembangan diri.
Di sisi lain, Gallup Workplace Report 2024 menegaskan bahwa Gen Z cenderung gelisah dalam sistem kerja yang kaku, hierarkis, dan tidak memberi ruang bagi ide baru.
Mereka menghargai pimpinan yang terbuka terhadap umpan balik, serta lingkungan yang kolaboratif dan transparan. Ketika mereka merasa tidak didengar atau peran mereka tidak jelas, tingkat keterikatan dan produktivitas menurun drastis.
Dalam proses beradaptasi, Gen Z mengandalkan critical thinking dan design thinking. Mereka terbiasa menganalisis masalah secara logis, kemudian mencari solusi kreatif berbasis empati dan eksperimen cepat.
Pendekatan ini membuat mereka mudah menyesuaikan diri dengan budaya kerja baru, terutama di sektor teknologi, komunikasi, dan industri kreatif. Survei LinkedIn Workplace Learning Report 2024 menunjukkan 76 persen profesional Gen Z aktif mengikuti pelatihan daring dan bootcamp untuk memperkuat kemampuan analitis dan kreatif mereka.
Selain itu, sejumlah faktor yang membuat Gen Z betah di tempat kerja antara lain perusahaan memiliki kepemimpinan yang mendukung (bukan mengontrol melainkan membimbing), adanya keluwesan waktu dan lokasi kerja (sistem hybrid atau remote menjadi nilai tambah), kultur inklusif dan kolaboratif (Gen Z lebih produktif dalam tim lintas generasi), serta pekerjaan yang selaras dengan nilai pribadi dan isu keberlanjutan (makna dan dampak sosial).
Sedangkan faktor yang membuat Gen Z mudah gelisah di tempat kerja adalah ketidakjelasan arah karier, kurangnya pengakuan, dan komunikasi satu arah dari manajemen. Mereka lebih menghargai organisasi yang memiliki budaya feedback loop cepat dan memberi ruang eksplorasi.
Identitas profesional
Di tengah arus digitalisasi yang kian cepat, Gen Z tidak hanya beradaptasi dengan teknologi, tetapi juga menjadikannya sarana membangun identitas profesional.
Kehadiran platform seperti LinkedIn, GitHub, Behance, hingga TikTok Professional dimanfaatkan untuk menampilkan portofolio, membangun jejaring, dan menunjukkan kompetensi secara terbuka. Dalam konteks ini, digital presence menjadi bagian penting dari reputasi karier.
Kesadaran terhadap kesehatan mental juga menjadi ciri kuat Gen Z di dunia kerja. Mereka lebih terbuka membicarakan stres, burnout, dan keseimbangan hidup.
Survei Mind Matters Asia 2025 menunjukkan lebih dari 70 persen karyawan Gen Z menganggap dukungan psikologis di tempat kerja sama pentingnya dengan kompensasi finansial. Karena itu, banyak perusahaan kini mulai menghadirkan program employee wellness, konseling daring, serta kebijakan cuti kesehatan mental sebagai bagian dari strategi retensi.
Kemajuan kecerdasan buatan (AI) turut mengubah cara Gen Z menatap masa depan pekerjaan. Mereka tidak melihat AI sebagai ancaman, tetapi sebagai alat kolaboratif untuk meningkatkan produktivitas.
Laporan World Economic Forum 2025 mencatat 68 persen pekerja Gen Z di Asia Tenggara telah menggunakan alat berbasis AI dalam pekerjaan sehari-hari, mulai dari riset, desain, hingga analisis data. Namun, hal itu juga mendorong mereka memperkuat keterampilan masa depan (future skills) seperti literasi digital, kemampuan berpikir sistemik, empati, dan komunikasi lintas disiplin.
Dalam konteks karier, Gen Z cenderung menolak jalur linear. Mereka lebih menyukai karier portofolio, yakni menggabungkan berbagai proyek dan pengalaman lintas bidang.
Model kerja fleksibel ini memberi mereka ruang untuk bereksperimen dan menyeimbangkan pekerjaan formal dengan aktivitas personal seperti konten kreatif, wirausaha sosial, atau pekerjaan berbasis proyek.
Bagi perusahaan, fenomena ini menjadi tantangan sekaligus peluang. Gen Z mendorong organisasi untuk memperkuat citra perusahaan (employer branding) berbasis nilai.
Pencitraan perusahaan berbasis nilai bukan hanya soal promosi atau tampilan luar perusahaan via media sosial atau iklan lowongan kerja, tetapi tentang bagaimana nilai, budaya, dan perilaku nyata perusahaan mencerminkan janji dan pengalaman positif karyawan.
Gen Z cenderung memilih perusahaan yang transparan dalam komunikasi, memiliki visi sosial yang kuat, dan memberikan peluang tumbuh yang nyata.
Citra perusahaan, dalam pandangan Gen Z, bukan lagi sekadar citra, melainkan pengalaman autentik yang dirasakan langsung oleh karyawan di dalam budaya kerja sehari-hari.
Selain itu, kemampuan kolaborasi lintas generasi menjadi aspek penting di era multigenerasi saat ini. Gen Z bekerja berdampingan dengan generasi milenial (Y), X, dan baby boomer. Gen Z membawa semangat digital dan kecepatan adaptasi, sementara generasi sebelumnya menawarkan pengalaman dan stabilitas.
Kombinasi kedua kelompok itu menciptakan sinergi yang memperkaya dinamika tim, asalkan ada komunikasi terbuka dan saling menghargai perbedaan gaya kerja.
Dengan sebutan Gen Z adalah anak kandung digital (digital native), profesi yang paling diminati mereka di kancah lapangan kerja Indonesia mencakup area teknologi informasi, pemasaran digital, desain kreatif, kewirausahaan sosial, data science, serta pekerjaan yang terkait dengan lingkungan dan keberlanjutan.
Bagi mereka, menikmati pekerjaan berarti memiliki keseimbangan antara tantangan profesional, kebebasan personal, dan makna sosial. Ke depan, menurut Gen Z, keberhasilan perusahaan tidak hanya diukur dari kinerja finansial, tetapi juga dari kemampuannya menciptakan lingkungan kerja yang humanis, fleksibel, dan berkelanjutan.
Selain itu, Gen Z juga menuntut transparansi, peluang belajar, serta kepemimpinan yang mendengarkan. Perusahaan yang ingin membuat mereka betah dan berkomitmen dalam jangka panjang harus membangun budaya berbasis pembelajaran, empati, dan inovasi berkelanjutan.
Mereka bukan hanya ingin bekerja, tetapi juga bertumbuh dan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar dari sekadar hanya ingin punya jabatan.




