Hari Komedi Nasional: humor yang tak pernah main-main

Menteri Kebudayaan Fadli Zon (kanan) menyerahkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kebudayaan yang menetapkan 27 September sebagai Hari Komedi Nasional pada gelaran Anugerah Komedi Indonesia (ANUKOM) ke-5, di Jakarta. (Dok. Kementerian Kebudayaan)
Menteri Kebudayaan Fadli Zon (kanan) menyerahkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kebudayaan yang menetapkan 27 September sebagai Hari Komedi Nasional pada gelaran Anugerah Komedi Indonesia (ANUKOM) ke-5, di Jakarta. (Dok. Kementerian Kebudayaan)
Tertawa adalah hal paling serius yang perlu kita lakukan hari-hari ini. Di tengah deru politik yang makin bising, situasi ekonomi yang bikin pusing, tertawa itu penting.
Indonesia termasuk bangsa yang paling ceria di dunia jika dilihat dari intensitas tersenyumnya. Ini serius. Survei Global Emotions Report 2025 membuktikan hal itu. Sekitar 90 persen responden asal Indonesia menyatakan mereka tersenyum atau tertawa pada hari sebelum survei dilakukan.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon, beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa Pemerintah telah menetapkan tanggal 27 September sebagai Hari Komedi Nasional. Tanggal tersebut bertepatan dengan hari lahir Bing Slamet, sosok pelawak, penyanyi, aktor, sekaligus ikon budaya. Penetapan Hari Komedi Nasional merupakan bentuk penghargaan terhadap sang maestro.
Lebih jauh lagi, Hari Komedi Nasional diharapkan juga menjadi upaya untuk melestarikan budaya Indonesia. Banyak jenis budaya tradisional Indonesia yang memiliki karakter komedi, seperti Lenong dari Betawi, ketoprak humor –versi lucu dari seni ketoprak— dari Jawa Tengah, serta Ludruk dari Jawa Timur.
Lelucon yang disampaikan dalam seni tradisional tersebut bukan hanya menghibur, namun seringkali juga diselipi petuah dan kritikan kepada penguasa.
Komedi bukan receh
Sejatinya, komedi adalah jalan paling aman untuk bicara serius. Komedi seringkali hadir, bukan sekadar sebagai hiburan. Ia menjadi cermin, bahkan senjata, untuk menyindir kekuasaan dan memperlihatkan absurditas sosial. Komedi adalah alat kritik sosial yang lebih tajam dari editorial surat kabar dan tidak membuat dahi berkerut.
Kritik yang disampaikan lewat komedi seringkali juga lebih mengena. Jika kritik langsung kerap ditolak, dianggap menyerang, bahkan bisa berujung gugatan hukum dengan alasan pencemaran nama baik, kritik yang dibungkus tawa terasa lebih ringan, meski isinya sama pedas.
Simak saja beberapa aksi komedian tunggal (stand-up comedy). Dalam salah satu penampilannya, seorang komedian yang dikenal sering me-roasting pejabat mengatakan: "Pak, Bapak tuh kayak sinyal Wi-Fi di kantor pemerintah. Ada, tapi nggak nyambung."
Lelucon yang disambut tawa riuh penonton maupun si pejabat itu sendiri, bukan sekadar olok-olok, tapi kritik pada pejabat yang dianggap kurang responsif.
Meskipun demikian, bukannya menghindar, beberapa politisi, kini, bahkan mulai sadar bahwa menjadi bahan roasting bisa menaikkan citra mereka, asal mereka bisa menanggapi dengan santai. Tentu saja, mereka juga harus memberikan respons positif dalam bentuk aksi nyata.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon pun mengakui bahwa seni komedi dapat menjadi sebuah wadah yang netral bagi semua pihak untuk menyampaikan kritik pada pemerintah. Tentunya dengan catatan, harus disampaikan menggunakan bahasa yang baik, sopan dan tidak menyinggung pihak lain.
Kritik yang menggunakan seni komedi dapat disampaikan dalam bentuk satir maupun konten hiburan.
Warkop DKI hingga stand-up comedy
Di era Orde Baru, kita mengenal Warkop DKI yang dikenal kritis dan sering menyentil kebijakan pemerintah saat itu dalam lawakannya. Di tahun 1980-an grup lawak Bagito muncul dengan lawakan kritik sosial dan politik.
Ada dua arus komedi saat itu, yaitu komedi slapstick/hiburan ringan yang aman dari sensor dan komedi yang satiris, tapi dibungkus agar tidak terlalu frontal. Ketika itu, televisi masih menjadi kanal utama dan dikontrol ketat oleh Departemen Penerangan.
Meskipun demikian, jarang atau bahkan belum pernah ada komedian yang dimasukkan penjara oleh pemerintah Orde Baru gara-gara lawakannya. Meski grup Bagito sempat diberi warning karena lawakan politik yang dianggap terlalu tajam.
Beberapa tahun belakangan makin banyak bermunculan komika, pelaku komedi tunggal (stand-up comedy), yang dalam materi lawakannya sering mengajak penonton berpikir sambil ngakak. Bahan candaannya bervariasi, dan yang jelas semuanya disiapkan dengan serius.
Komedi tunggal memberi ruang lebih bebas untuk kritik. Namun, ruang ini bukannya tanpa risiko. UU ITE bisa menjerat komedian jika dianggap menghina. Kasus Komika Gilang Bhaskara, misalnya, pernah dipolisikan karena dianggap menista agama lewat materi komedinya.
Di sisi lain, sebagian masyarakat masih sulit membedakan antara lelucon sebagai kritik dengan hinaan pribadi, sehingga memicu perdebatan panjang di media sosial.
Menghargai kritik dalam komedi
Jika komedi terbukti menjadi saluran komunikasi publik yang efektif, maka kritik lewat humor sebaiknya dipandang sebagai masukan, bukan ancaman. Alih-alih melaporkan komedian, pejabat publik bisa menanggapinya dengan sikap terbuka dan menjadikannya cermin evaluasi.
Di sisi lain, masyarakat perlu paham bahwa tidak semua lelucon dimaksudkan untuk menghina, banyak yang justru membuka ruang refleksi. Dengan memahami konteks, kita bisa menanggapi komedi secara dewasa, tanpa mudah tersulut emosi.
Sementara dari sisi komedian, meski bebas berekspresi, mereka tetap harus menjaga agar kritiknya tajam, tapi tidak jatuh pada ujaran kebencian yang menyerang identitas pribadi atau kelompok rentan.
Hari Komedi Nasional mestinya menjadi pengingat bahwa komedi bukan sekadar hiburan, tapi juga cermin sosial. Ia adalah saluran komunikasi publik, cara masyarakat mengkritik kekuasaan tanpa harus turun ke jalan.
Kalau komedi adalah cermin, maka tertawa adalah cara kita mengintip wajah sendiri, tanpa terlalu sedih melihat keriputnya.
Tentu, kita tidak bisa berharap semua komedi harus idealis. Toh, kadang kita memang butuh ketawa receh untuk mengusir penat