Terapkan AI, mahasiswa deteksi kelainan penis hingga kanker

Rektor Universitas YARSI, Prof dr Fasli Jalal PhD (tengah), di Jakarta, beberapa waktu lalu. (ANTARA/Indriani)
Rektor Universitas YARSI, Prof dr Fasli Jalal PhD (tengah), di Jakarta, beberapa waktu lalu. (ANTARA/Indriani)
Satu dari 300 anak laki-laki yang lahir di Indonesia mengalami permasalahan kelainan genital seperti hipospadia, yang berdampak pada kualitas hidupnya pada masa depan. Data Kementerian Kesehatan pada 2023 menyebut kasus tersebut terbanyak terjadi di wilayah timur Indonesia.
Kelainan bawaan lahir itu dapat menyebabkan anak laki-laki tersebut memiliki batang penis yang melengkung dan membuatnya sulit untuk urinenya saat buang air kecil berceceran.
Permasalahan abnormal pada alat kelamin dapat berupa infeksi, peradangan hingga gangguan seksual. Kondisi tersebut bisa ditangani oleh dokter spesialis sistem saluran kemih atau urolog, apabila diketahui sejak dini. Namun, jumlah urolog di Indonesia belum merata dan lebih banyak tersebar di kota-kota besar.
Untuk mengatasi permasalahan itu, mahasiswa dan dosen Universitas YARSI membuat pembelajaran yang berbasiskan pada proyek, yakni aplikasi yang bisa mendeteksi kelainan genital pada anak tersebut. Aplikasi yang bernama Ashoka itu dapat mendeteksi penis normal dan abnormal melalui model klasifikasi kecerdasan buatan.
“Sehingga orang tua, bidan desa hingga dokter Puskesmas mengetahui tanda-tanda awal kelainan genital itu. Mereka menggunakan aplikasi kami, yang mana nanti orang tua atau bidan desa bisa mengisi data dan difoto, dan nanti datanya bisa diberikan ke urolog ,” kata Rektor Universitas YARSI, Prof dr Fasli Jalal PhD, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dari data tersebut, urolog kemudian memberikan rekomendasi pada bidan desa ataupun dokter Puskesmas mengenai langkah yang harus dilakukan. Jika perlu adanya tindakan, maka anak tersebut dapat dibawa ke urolog tersebut. Misalnya bagi yang berada di Maluku Utara dapat dibawa ke urolog terdekat yang ada di Ambon. Namun jika perlu adanya tindakan lanjutan, maka bisa dirujuk ke Surabaya atau Jakarta.
Dengan tindakan yang cepat, lanjut dia, diharapkan permasalahan yang dialami anak laki-laki dapat teratasi.
Sebenarnya upaya mendeteksi kelainan genital tersebut dapat dilakukan secara mandiri oleh orang tua, tapi yang menjadi persoalan adalah tidak semua orang tua memiliki kepekaan.
“Bisa dilihat dari kenapa kencingnya tidak keluar secara normal atau kadang-kadang malah ke belakang. Bahkan ada juga kecurigaan kalau anak itu perempuan. Inilah yang kita bantu,” jelas dia.
Data dari berbagai wilayah Indonesia
Pada awalnya, kata Fasli, proyek berbasis kecerdasan buatan kerja sama dengan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu menggunakan data internasional sebagai basis data. Namun saat ini, sudah mengumpulkan berbagai data terkait kelainan genital di berbagai wilayah Indonesia. Tujuannya agar sensitivitas dan spesifikasi data tersebut sesuai dengan kondisi Indonesia.
Aplikasi Ashoka menggunakan Convolutional Neural Network (CNN) yang dilatih dengan lebih dari 5.000 gambar klinis penis normal dan abnormal (termasuk hipospadia ringan hingga berat). Saat ini, tingkat akurasi deteksi mencapai 92 persen berdasarkan uji coba di 12 Puskesmas DKI Jakarta dan Banten.
Pembelajaran berbasis proyek yang dilakukan mahasiswa dan dosen Universitas YARSI tak hanya pada persoalan kelainan genital saja, tetapi juga pada persoalan kanker rahim. Data Globocan 2022 menyebut kanker serviks atau rahim, menempati posisi kedua sebagai penyebab kematian akibat kanker pada perempuan Indonesia, dengan 36.000 kasus baru per tahun. Meskipun sudah ada upaya deteksi dini melalui Pap Smear, hanya mencapai kurang dari 10 persen wanita usia produktif di daerah pedesaan yang menjalaninya.
Akan tetapi kecepatan komputer dalam membaca “slide” atau sampel sel serviks tersebut masih lamban yakni satu jam untuk satu “slide”. Tentu saja hal itu kurang efektif karena jumlah patolog di Tanah Air tidak banyak.
“Akhirnya mahasiswa dan dosen membuat aplikasi yang bisa membaca slide itu hanya dalam hitungan menit. Aplikasi itu juga yang mendeteksi dan langsung memisahkan sel yang normal maupun yang terdeteksi sel kanker,” terang Fasli lagi.
Sehingga patolog bisa konsentrasi pada sampel yang memiliki sel kanker. Pembelajaran berbasis proyek yang bisa mendeteksi sel kanker serviks tersebut bekerja sama dengan universitas di Jepang, dan pihak Jepang meminjam supercomputer yang bisa membaca "slide" hanya dalam hitungan menit.
Ke depan, kata dia, dunia kesehatan tak bisa lagi dilepaskan dari teknologi kecerdasan buatan yang diyakini dapat menghasilkan diagnosa yang lebih presisi. Oleh karenanya mahasiswa terutama di bidang kesehatan dibiasakan untuk menggunakan teknologi dalam pembelajaran.
Pembelajaran yang dilakukan di perguruan tinggi seharusnya tak hanya dapat membantu mengurai persoalan yang ada di masyarakat, tetapi juga mahasiswa dapat melihat kebermanfaatan dari ilmu yang dipelajarinya di perkuliahan.
Melalui pembelajaran berbasis proyek, mahasiswa diajak juga meningkatkan keahliannya, sehingga menghasilkan lulusan yang unggul dan dapat memiliki daya saing.
Melalui proyek-proyek berbasis pembelajaran seperti aplikasi Ashoka untuk deteksi dini hipospadia dan sistem AI cepat untuk analisis Pap Smear, kita berharap pendidikan tinggi dapat menjadi motor penggerak inovasi sosial dan juga agen perubahan. Di sisi lain, pembelajaran berbasis proyek juga bisa meningkatkan daya saing lulusan.




