AS cabut visa delegasi Palestina, saatnya PBB pindah dari New York?

Warga membawa bendera Palestina saat Aksi Bela Palestina di depan Kedubes AS Jakarta, Sabtu (1/6/2024). (ANTARA/Khaerul Izan/aa)
Warga membawa bendera Palestina saat Aksi Bela Palestina di depan Kedubes AS Jakarta, Sabtu (1/6/2024). (ANTARA/Khaerul Izan/aa)
Elshinta.com - Dalam sebuah langkah kontroversial yang memicu kecaman luas di tataran global, pemerintah AS mengumumkan untuk mencabut visa Presiden Palestina Mahmoud Abbas serta 80 anggota delegasinya.
Kebijakan "nyeleneh" dari pemerintahan negara adidaya pimpinan Presiden Donald Trump itu dilakukan hanya beberapa pekan sebelum Delegasi Palestina itu menghadiri Majelis Umum PBB 2025 yang akan digelar di New York, September mendatang.
Di tengah genosida dan penderitaan lainnya yang dialami oleh masyarakat Palestina khususnya di Gaza, Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio malahan menyalahkan pihak Palestina karena "merusak prospek perdamaian" hanya karena mengupayakan pengakuan atas negara Palestina.
Rubio menuding tanpa dasar kuat bahwa Otoritas Palestina tidak mematuhi komitmen mereka, antara lain karena terlibat dalam "kampanye menggunakan hukum sebagai senjata" dengan adanya permohonan ke Mahkamah Internasional dan Mahkamah Pidana Internasional untuk meminta pertanggungjawaban rezim Zionis Israel yang telah melakukan berbagai pelanggaran brutal baik di Jalur Gaza maupun di Tepi Barat Palestina.
Hal ini juga membuat berbagai pihak bingung dengan prinsip hati nurani dan kemanusiaan apa yang digunakan Washington?
Apalagi, keputusan yang memicu banyak kritik itu juga secara langsung melanggar kewajiban hukum AS sebagai tuan rumah Markas Besar PBB, serta menimbulkan pertanyaan mendesak tentang ketidakberpihakan dan keandalan AS sebagai penjaga diplomasi internasional.
Amerika Serikat, sebagai tuan rumah Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, terikat oleh Perjanjian Markas Besar PBB–AS tahun 1947 untuk memberikan visa kepada semua perwakilan negara anggota PBB dan pengamat yang menghadiri pertemuan resmi PBB.
Perjanjian pemberian visa untuk aktivitas PBB semestinya terlepas dari pandangan politik yang dipegang pemerintah AS. Meskipun bukan anggota penuh PBB, Negara Palestina telah memegang status pengamat sejak tahun 1974 dan telah secara resmi diakui sebagai "Palestina" dalam proses PBB sejak Resolusi 43/177 pada tahun 1988.
Dengan mencabut visa untuk Presiden Mahmoud Abbas dan delegasinya menjelang Majelis Umum 2025, AS melanggar perjanjian yang mengikat ini.
Sementara Washington mengklaim keputusan itu dibuat atas dasar keamanan nasional, para kritikus berpendapat langkah itu bermotif politik dan merusak prinsip akses kesetaraan PBB.
Penegakan kewajiban tuan rumah yang selektif seperti itu mengancam kredibilitas PBB itu sendiri dan menciptakan preseden berbahaya untuk mempolitisasi forum multilateral terpenting di dunia.
Momen ini menarik paralel yang mirip dengan yang terjadi pada tahun 1988, ketika penolakan visa serupa memaksa pergelaran Majelis Umum PBB untuk sementara pindah ke Jenewa, atau bahkan lebih jauh lagi, membuka kans untuk pindah permanen dari New York.
Mengingat 1988
AS pada 1988 pernah menolak visa Ketua Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Yasser Arafat, sehingga menghalangi partisipasi Arafat dalam sesi khusus Majelis Umum PBB 1988. Peristiwa seperti itu terjadi lagi ketika visa Presiden Palestina Mahmoud Abbas dicabut AS menjelang Majelis Umum PBB 2025.
Langkah AS pada dua kesempatan tersebut juga sama-sama menuai kritik internasional yang tajam. Pada 1988, hal itu menyebabkan Majelis Umum memindahkan sesi tersebut—yang berfokus pada "Persoalan Palestina"—dari tempat tradisional New York di AS, ke Jenewa di Swiss.
Pidato Arafat di hadapan Majelis pada 13 Desember 1988 juga dapat disebut sebagai peristiwa bersejarah karena menegaskan kembali pengakuan PLO atas hak Israel untuk hidup dan mendukung resolusi utama PBB (181, 242, 338) sebagai dasar negosiasi.
Dua hari kemudian setelah pidato historis tersebut, PBB mengadopsi Resolusi 43/177, yang secara resmi mengakui Negara Palestina dan mengubah sebutan resmi PLO di PBB menjadi Palestina. Resolusi tersebut disahkan dengan 104 negara mendukung, 2 menentang (AS dan Israel), dan 36 abstain.
Untuk itu, apa yang terjadi di Jenewa pada 1988 menjadi pengingat kuat bahwa ketika negara tuan rumah (baca: AS) menghalangi partisipasi satu pihak, maka PBB dapat mengambil tindakan untuk melindungi integritasnya. Krisis saat ini mengundang pertimbangan ulang yang serius tentang apakah sejarah kini harus terulang kembali.
Sebenarnya, langkah pencabutan visa oleh AS terhadap pejabat Palestina mencerminkan bentuk kemerosotan yang mendalam atas peran AS sebagai penyelenggara yang seharusnya netral dalam diplomasi internasional.
Meskipun AS telah lama memposisikan diri sebagai pemimpin global dan negara adidaya pasca-Perang Dunia II, kredibilitasnya sebagai tuan rumah PBB yang netral semakin dipertanyakan, karena secara terbuka berpihak pada pemerintahan garis keras Israel dan menghalangi partisipasi Palestina.
Harus diingat bahwa pada tahun 2025 yang semakin terbuka penerapan gagasan multipolar di tataran global ini, AS sudah tidak lagi menikmati dominasi tak terkendali yang dimilikinya selama abad ke-20.
Kekuatan-kekuatan yang sedang bangkit di belahan bumi selatan — dari Indonesia dan Brasil hingga Afrika Selatan dan India — serta kian seringnya blok Uni Eropa mengkritik AS karena dianggap melanggar norma-norma internasional, membuat legitimasi lembaga internasional seperti PBB betul-betul bergantung pada prinsip keadilan dan kesetaraan.
Untuk itu, langkah kontroversial AS juga dinilai tidak akan memperkuat pengaruh negara adidaya itu, tetapi malahan semakin mengisolasinya. Mau tidak mau, komunitas internasional kini dihadapkan pada pilihan antara menoleransi bias yang blak-blakan yang ditunjukkan AS atau melindungi muruah integritas dari PBB itu sendiri.
Apalagi, Majelis Umum PBB memiliki wewenang untuk memindahkan sementara sesi-sesinya, sebagaimana ditunjukkan pada tahun 1988 ketika dipindahkan ke Jenewa sebagai tanggapan atas hambatan yang dilakukan AS.
Pemindahan permanen?
Dengan pencabutan visa tahun 2025 yang menggemakan kembali preseden tersebut, sejumlah pihak telah memikirkan langkah serupa—bahkan mungkin lebih berkelanjutan, yaitu tidak hanya pemindahan temporer, tetapi apakah perlu pemindahan permanen Majelis Umum PBB dari New York, AS?
Meskipun AS tetap menjadi rumah bagi Markas Besar PBB, perilakunya yang semakin dipolitisasi menimbulkan kekhawatiran serius tentang kelayakannya untuk bertindak sebagai tuan rumah yang netral.
Untuk itu, negara-negara anggota juga dapat berpikir tentang memulai pemungutan suara untuk memindahkan seluruh atau sebagian operasi Majelis Umum ke lokasi baru yang netral.
Beberapa kota yang bisa menonjol sebagai calon tuan rumah, selain Jenewa di Swiss yang memiliki kehadiran berbagai kantor PBB yang kuat dan warisan netralitasnya, antara lain Tokyo di Jepang, Wina di Austria, Den Haag di Belanda, hingga Dubai di Uni Emirat Arab.
Selain itu, sejumlah alternatif bagi negara-negara di belahan bumi selatan bahkan dapat diusulkan sebagai desentralisasi kekuasaan yang simbolis, sebagai sebuah langkah yang akan mencerminkan kondisi dunia yang lebih multipolar saat ini dibandingkan periode sebelumnya.
Dalam menghadapi rasa frustrasi yang semakin meningkat terhadap keberpihakan AS, negara-negara Selatan memiliki peran penting dalam mempertahankan kredibilitas PBB. Negara-negara seperti Indonesia, dengan dukungan jangka panjangnya bagi Palestina serta komitmen terhadap gerakan nonblok di tingkat internasional, berada di posisi yang tepat untuk mengusulkan resolusi yang menegaskan kembali kewajiban negara tuan rumah untuk menegakkan netralitas.
Indonesia dan berbagai mitra di negara-negara Selatan juga dapat mendorong reformasi struktural, termasuk peninjauan Perjanjian Markas Besar PBB dan rencana kontingensi untuk merelokasi pertemuan-pertemuan penting ketika kewajiban sebagai tuan rumah dilanggar.
PBB dibangun untuk menjadi platform netral bagi perdamaian, diplomasi, dan keadilan, sehingga ketika negara tuan rumah merusak netralitas tersebut, lembaga internasional itu sendiri berada dalam risiko.
Pencabutan visa oleh AS terhadap delegasi Palestina pada tahun 2025 merupakan ujian apakah PBB tetap menjadi lembaga global sejati atau tunduk pada politik satu negara.
Seperti halnya pada tahun 1988, PBB memiliki pilihan antara melindungi prinsip-prinsipnya atau mengikis legitimasinya. Jika netralitas tidak dapat dijamin di New York, maka mungkin Majelis Umum PBB harus menemukan tempat baru yang lebih adil, sebuah lokasi yang mencerminkan dunia saat ini, bukan seperti di masa lalu.