Beijing: laporan militer China buatan Pentagon penuh bias geopolitik

ANTARA
ANTARA
Kementerian Pertahanan China menyebut laporan perkembangan militer China yang dibuat Departemen Perang Amerika Serikat penuh dengan bias politik sehingga melebih-lebihkan apa yang disebut dengan "ancaman militer Tiongkok".
"Tahun demi tahun, AS menerbitkan laporan yang terang-terangan mencampuri urusan dalam negeri China, memelintir kebijakan pertahanan China, seenaknya menebak-nebak perkembangan kekuatan militer, memfitnah tindakan normal tentara China yang artinya seluruh dokumen penuh dengan kesalahpahaman dan bias geopolitik, serta melebih-lebihkan apa yang disebut 'ancaman militer China' untuk menyesatkan komunitas internasional," kata Juru Bicara Kementerian Pertahanan China Zhang Xiaogang dalam konferensi pers di Beijing, Kamis (25/12).
Menurut Laporan "Perkembangan Militer dan Keamanan yang Melibatkan Republik Rakyat China 2025" yang dikeluarkan oleh Departemen Perang AS pada 23 Desember 2025, disebutkan bahwa Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) selama beberapa dekade telah mengerahkan sumber daya, teknologi, dan kemauan politik untuk mencapai militer kelas kelas dunia.
PLA merupakan komponen kunci dari ambisi China untuk menggantikan AS sebagai negara paling kuat di dunia sekaligus mengukur konsep dan kemampuannya terhadap "musuh kuat" yaitu AS.
Selain itu, strategi militer utama China berfokus sepenuhnya pada upaya untuk mengalahkan AS melalui mobilisasi seluruh bangsa yang disebut Beijing sebagai "perang total nasional".
China, kata Zhang, dengan teguh menjalankan kebijakan pertahanan nasional yang bersifat defensif, berpegang pada strategi militer "pertahanan aktif", secara berkualitas tinggi memajukan modernisasi pertahanan nasional dan angkatan bersenjata, semata-mata untuk menjaga kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan negara.
"Tentara China juga selalu menjadi kekuatan bagi perdamaian, stabilitas, dan kemajuan dunia. Kami secara aktif mempraktikkan Inisiatif Keamanan Global, bertindak secara ketat berdasarkan hukum nasional dan hukum internasional, secara rasional dan terkendali dan bergandengan tangan dengan angkatan bersenjata berbagai negara untuk mendorong pembangunan komunitas dengan masa depan bersama bagi umat manusia," jelas Zhang Xiaogang.
Soal Taiwan, Zhang menegaskan bahwa wilayah tersebut adalah milik China dan bagaimana menyelesaikan masalah Taiwan adalah urusan internal China.
"Tugas PLA dalam menjaga kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah, menutup jalan 'kemerdekaan Taiwan' dan mendorong penyatuan adalah hal yang sepenuhnya wajar dan tidak akan ada kompromi sedikit pun, dan tidak mengizinkan adanya komentar seenaknya dari pihak AS," tambah Zhang.
China juga disebut Zhang memiliki kedaulatan yang tak terbantahkan atas pulau-pulau di Laut China Selatan dan perairan sekitarnya.
"Perlu ditekankan bahwa AS dengan sengaja mengumpulkan sekutu untuk mengerahkan kekuatan laut dan udara ke 'pintu rumah' China untuk melakukan gangguan jarak dekat. Tindakan tentara China mengambil langkah yang diperlukan untuk menanggapi hal tersebut sama sekali tidak dapat disalahkan," ungkap Zhang.
Ia pun meminta agar AS dan sekutunya menghentikan semua tindakan provokasi berbahaya adalah satu-satunya cara untuk menghindari insiden tak terduga di laut dan udara.
"Kami mendesak AS memiliki pemahaman yang tepat tentang China, secara objektif memandang perkembangan China dan tentara China, berhenti menciptakan narasi palsu, berhenti menghasut konfrontasi, dan menghindari membawa hubungan kedua negara dan kedua angkatan bersenjata ke jalan yang salah," tegas Zhang.
Soal Taiwan, Zhang menyebut China berupaya maksimal untuk memperjuangkan penyatuan secara damai, tetapi tidak berjanji untuk melepaskan penggunaan kekuatan, dan melakukan semua langkah yang dianggap perlu.
"Jika kekuatan separatis 'kemerdekaan Taiwan' melakukan provokasi yang memaksa, bahkan menerobos garis merah, kami akan terpaksa mengambil tindakan tegas. PLA selalu berada dalam status siap tempur sepanjang waktu, dan yakin akan menang," kata Zhang.
Dalam laporan Kementerian Perang AS, China disebut memiliki persenjataan nuklir, maritim, serangan jarak jauh konvensional, siber, dan kemampuan ruang angkasa yang besar dan terus berkembang yang mampu mengancam keamanan warga AS secara langsung.
PLA terus membuat kemajuan yang stabil menuju target tahun 2027, dimana PLA harus mampu mencapai "kemenangan strategis yang menentukan" atas Taiwan, "penyeimbang strategis" terhadap AS di bidang nuklir dan domain strategis lainnya serta "pencegahan dan pengendalian strategis" terhadap negara-negara regional lainnya.
Artinya, laporan itu dengan tegas mengatakan bahwa China menargetkan dapat berperang dan memenangkan perang atas Taiwan pada akhir tahun 2027.
Dalam mengejar tujuan-tujuan tersebut PLA terus menyempurnakan berbagai opsi militer untuk memaksa penyatuan Taiwan dengan kekuatan militer. Opsi-opsi tersebut termasuk, yang paling berbahaya adalah invasi amfibi, serangan tembakan langsung, dan mungkin blokade maritim.
Sepanjang 2024, PLA menguji komponen-komponen penting dari opsi-opsi ini, termasuk melalui latihan untuk menyerang target laut dan darat, menyerang pasukan AS di Pasifik, dan memblokir akses ke pelabuhan-pelabuhan utama.
Serangan PLA berpotensi mencapai jarak hingga 1500-2000 mil laut dari China. Dalam jumlah yang cukup, serangan-serangan tersebut dapat secara serius menantang dan mengganggu kehadiran AS di atau sekitar konflik di kawasan Asia-Pasifik.
Hal itu disimpulkan karena PLA pernah melakukan latihan penembakan rudal di Selat Taiwan dan sekitarnya termasuk menyebut China memiliki rudal balistik antarbenua (ICBM) DF-27 sebagai Rudal Balistik Anti-Kapal (ASBM) dengan jangkauan 5.000-8.000 km, jauh melintasi Samudra Pasifik sehingga tidak hanya mencakup Alaska dan Hawaii, tetapi juga sebagian dari Amerika Serikat Kontinental (CONUS).
Modernisasi PLA didorong oleh pengeluaran pertahanan dan pengembangan teknologi China. Sejak tahun pertama masa jabatan Presiden Xi Jinping sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis China, anggaran pertahanan China yang diumumkan telah meningkat hampir dua kali lipat.
China juga terus mempercepat pengembangan teknologi militernya, termasuk dalam kecerdasan buatan (AI) di bidang militer, bioteknologi, dan rudal hipersonik.
Dalam laporan tersebut, disebutkan bahwa pemerintah China memperluas istilah "kepentingan inti" China dengan mencakup Taiwan dan wilayah yang masih dalam sengketa di Laut Cina Selatan, Kepulauan Senkaku maupun dan negara bagian Arunachal Pradesh di timur laut India.
Partai Komunis China (PKC) disebut sangat sensitif terhadap setiap ancaman yang dianggap mengancam wilayah teritorial China dan terhadap kritik domestik apa pun yang menyatakan bahwa PKC gagal mempertahankan kepentingan China.
Untuk memperkuat kendali partai, PKC melabeli suara-suara politik yang berbeda dengan PKC di Hong Kong, Xinjiang, dan Tibet serta Taiwan sebagai elemen separatis yang mendorong kemerdekaan dan didukung oleh apa yang disebut "kekuatan eksternal". PKC memandang kelompok-kelompok politik tersebut sebagai ancaman yang tidak dapat diterima terhadap legitimasi dan kekuasaannya.




