Standar ganda IOC

Atlet senam Aljazair, Kaylia Nemour, beraksi di nomor palang bertingkat pada kualifikasi Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 di Indonesia Arena, Jakarta, Selasa (21/10/2025). ANTARA/HO/JAGOC/pri.
Atlet senam Aljazair, Kaylia Nemour, beraksi di nomor palang bertingkat pada kualifikasi Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 di Indonesia Arena, Jakarta, Selasa (21/10/2025). ANTARA/HO/JAGOC/pri.
Bayangkan jika atlet Israel mengikuti Kejuaraan Dunia Senam Artistik 2025 di Jakarta ketika suasana dan sentimen dunia sudah begitu buruk terhadap Negara Zionis itu.
Sentimen global itu terjadi bukan saja karena genosida di Gaza, tetapi juga oleh sikap bebal Israel dari suara-suara global, termasuk Majelis Umum PBB.
Israel bahkan menulikan diri dari putusan Mahkamah Internasional yang menggolongkan aksi mereka di Gaza sebagai genosida hingga sejumlah pemimpin mereka, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, masuk daftar penangkapan internasional.
Dewan Pakar PBB sampai meminta tim sepak bola Israel dikeluarkan dari kompetisi FIFA dan UEFA, karena genosida di Gaza yang sudah diputuskan Mahkamah Internasional.
Dewan Pakar PBB juga meminta perusahaan-perusahaan global memutuskan hubungan dagang dengan Israel karena genosida Gaza.
Negara lain boleh mengabaikan semua itu, tapi tidak Indonesia, yang selain karena tuntutan konstitusi, tapi juga memiliki koneksi kuat dengan Palestina pada tingkat yang sangat emosional.
Tapi yang jauh lebih penting lagi adalah jika Kejuaraan Dunia Senam 2025 tetap menghadirkan atlet Israel, maka Jakarta dan berbagai wilayah lain di Indonesia bisa diamuk protes masa.
Bayangan yang mungkin sama terjadi ketika Indonesia menolak kehadiran Israel dalam Piala Dunia U20 pada 2023 sehingga FIFA memindahkan turnamen itu ke Argentina.
Protes massa itu bisa sangat besar, luas dan berpanjangan yang bisa merembet ke masalah-masalah yang bukan cuma soal keberadaan atlet Israel di Indonesia.
Padahal, dua bulan sebelum Kejuaraan Dunia Senam 2025 digelar, Indonesia diguncang unjuk rasa hebat yang diperparah oleh penjarahan, pembakaran, dan aksi-aksi anarkistis lainnya.
Semua skenario itu mungkin sudah dibayangkan oleh para pengambil kebijakan politik di Indonesia.
Apalagi dalam banyak hal sikap Indonesia sudah sejalan dengan mayoritas suara dunia dan seruan Dewan Pakar PBB, yang pernah meminta FIFA dan UEFA melarang partisipasi Israel dalam turnamen-turnamen sepak bola dunia.
Dan bukan kali ini saja Indonesia meneguhkan sikap seperti itu. Di antara yang bisa disebut adalah ketika Indonesia melakukan hal serupa kepada Israel pada Asian Games 1962 ketika sistem olahraga Israel masih berada di bawah payung Asia.
Banyak pakar yang menggolongkan aksi Israel di Palestina sebagai rasisme dan diskriminasi, seperti dilakukan rezim apartheid di Afrika Selatan.
Sebanyak 68 ribu orang tewas di Gaza, kebanyakan anak-anak dan perempuan. Selain itu, mengutip The Times of Israel pada Oktober 2025, 83 persen dari total gedung di Gaza hancur lebur oleh serangan Israel. Sementara itu, akses bantuan kemanusiaan dicegah masuk ke kantong Palestina itu.
Ya benar, situasi di Gaza tengah memasuki babak baru gencatan senjata Israel-Hamas, tetapi kekerasan yang sudah digolongkan genosida tak boleh begitu saja dilupakan.
Karena praktik-praktik seperti itu pula, yang juga terjadi di Tepi Barat, Israel digolongkan sengaja memusnahkan Palestina dan membunuh gagasan Negara Palestina yang sudah menjadi konsensus bagian terbesar dunia.
Apa yang terjadi di Gaza bisa melebihi Afrika Selatan selama rezim apartheid, jika faktor genosida dimasukkan. Dan Afrika Selatan pula yang menggugat Israel melakukan genosida di Gaza ke Mahkamah Internasional.
Sikap Komite Olahraga Internasional (IOC) terhadap rezim apartheid Afrika Selatan sendiri begitu jelas. Mereka melarang Afrika Selatan tampil dalam Olimpiade dari 1964 sampai 1992 karena segregasi rasial yang dilakukan rezim apartheid.
IOC juga melakukan hal sama terhadap Zimbabwe sewaku masih bernama Rhodesia, dengan melarangnya tampil dalam Olimpiade Muenchen 1972, juga karena segregasi rasial.
Negara lain yang pernah dijatuhi sanksi IOC karena perkara di luar olah raga adalah Afghanistan. Negara ini dilarang mengikuti Olimpiade Melbourne 2000 karena Taliban mengekang hak-hak kaum perempuan.
Jadi, dari fakta-fakta ini, IOC sebenarnya pernah menggunakan alasan-alasan non olahraga untuk menyampaikan sikap keras terhadap anggotanya.
Dan IOC harus tahu bahwa Israel disorot dunia karena diskriminasi dan segregasi rasial, seperti dilakukan rezim apartheid Afrika Selatan dan beberapa negara yang dihukum IOC karena berlaku sama dengan Israel saat ini.
Tudingan terhadap Israel bahkan ditambah kejahatan berat genosida, yang seharusnya disikapi keras oleh seluruh dunia, termasuk badan-badan olahraga internasional. Beberapa negara Barat sendiri, seperti Spanyol, meminta Israel diasingkan dari kompetisi dan turnamen olahraga internasional.
IOC dan badan-badan olahraga dunia juga memakai alasan itu terhadap Rusia ketika rekomendasi Mahkamah Internasional bahwa Rusia telah deportasi paksa warga Ukraina ke Rusia dan genosida di Bucha, Ukraina, menjadi dasar untuk menghukum Rusia dalam olahraga global.
Walau suara keras IOC kepada Indonesia "hanya" mengingatkan badan-badan olahraga untuk tak menggelar kejuaraan dan pertemuan olahraga di Indonesia, selain menutup pintu untuk menjadi tuan rumah Olimpiade, suara itu tetaplah mengesankan adanya standard ganda.
Ya mungkin karena sikapnya dalam Kejuaraan Dunia Senam 2025 membuat Indonesia dituntut berpikir lebih matang lagi untuk tak melakukan hal serupa di kemudian massa. Tapi, mestikah kedaulatan nasional mengalah kepada perilaku global yang tidak adil?
Jika harus sekeras itu kepada Indonesia, IOC semestinya juga kritis terhadap praktik diskriminasi, rasisme, segregasi rasial dan genosida di Gaza. Apalagi semua praktik itu menyalahi prinsip-prinsip dasar Gerakan Olimpiade yang dipromosikan IOC.
Bahkan Pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) menolak gugatan Israel terhadap langkah Indonesia tak menerbitkan visa untuk atlet-atletnya.
CAS bisa saja mengabulkan tuntutan Israel karena alasan Israel hampir sama dengan alasan IOC bersuara keras terhadap Indonesia baru-baru ini. Kenyataannya CAS tak melakukannya.
Indonesia mungkin memang perlu mengevaluasi langkah-langkahnya dalam konteks olahraga global yang dianggap tidak tepat oleh sistem olahraga global, tapi badan-badan olahraga dunia seperti IOC juga mesti memperlihatkan diri tidak berstandar ganda.




