Arah Pengembangan Buah Indonesia

Sistem budi daya tabulampot atau tanaman buah dalam pot untuk skala komersial. (ANTARA/HO-Sardi Duryatmo)
Sistem budi daya tabulampot atau tanaman buah dalam pot untuk skala komersial. (ANTARA/HO-Sardi Duryatmo)
Sebagian wilayah Indonesia terletak di khatulistiwa, sehingga iklimnya cocok untuk produksi buah sepanjang tahun. Jika ditarik garis dari barat ke timur, panjang wilayah Indonesia mencapai 5.120 km. Hal itu memungkinkan musim buah berbeda di setiap wilayah. Panen buah durian memang sekali dalam setahun di wilayah tertentu. Namun, panen di seluruh negeri berlangsung terus-menerus.
Khusus jenis tanaman buah berbatang tunggal seperti pisang, kelapa, pepaya, nanas, dan salak mampu panen sepanjang tahun. Berbagai jenis tanah dari pesisir hingga pegunungan, iklim panas hingga sejuk, musim kering hingga basah merupakan keuntungan untuk budi daya berbagai jenis buah.
Pusat keanekaragaman buah, misalnya Kalimantan, masih menyimpan potensi spesies buah yang belum diketahui untuk dieksplorasi dan dikembangkan lebih lanjut. Di Indonesia, sekitar 40 jenis buah memiliki nilai komersial, sementara ratusan jenis lainnya belum dimanfaatkan secara optimal.
Kondisi cuaca memengaruhi waktu panen, kualitas, dan kuantitas buah. Permintaan akan buah berkualitas premium sangat tinggi, tetapi produksi dan volume masih kurang. Pasar buah modern menuntut pasokan yang terus-menerus sepanjang tahun. Namun, selama musim panen puncak, terjadi kelebihan produksi. Dampaknya pasar tidak dapat menyerap dan harga turun.
Kendala lain berupa penanganan pascapanen selama musim panen. Kerugian akibat penanganan buah yang buruk mencapai 20—60% dari total produksi, mulai dari petani, penjual eceran, hingga konsumen akhir. Menurut Badan Pusat Statistik produksi durian dalam empat tahun terakhir (2021—2024) mencapai 6,7 juta ton. Perinciannya 1.353. 037 ton pada 2021, 1.582.171 ton (2022), 1.852.045 ton (2023), dan 1.981.486 ton (2024).
BPS juga mencatat pada kurun yang sama produksi buah komersial lain seperti alpukat mencapai 3,4 juta ton, 37 juta ton (pisang), 12,7 juta ton (mangga), 6,7 juta ton (salak), dan 1,4 juta ton (manggis).
Tiga Kelompok
Menurut Pakar buah tropis, Dr. Mohammad Reza Tirtawinata, M.S. dalam simposium internasional hortikultura di Senyum World Hotel, Kota Batu, Jawa Timur (15/10), program pengembangan dan produksi buah di Indonesia yang berkelanjutan idealnya melibatkan tiga pihak, yakni petani kecil, kebun buah, dan kebun plasma nutfah.
Petani dan petani kecil fokus pada pemangkasan dan perbaikan pohon buah yang sudah ada. Mereka berupaya meningkatkan produktivitas dan kualitas buah di lingkungan sekitar, kata Reza dalam simposium yang diselenggarakan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya dan Perhimpunan Hortikultura Indonesia (Perhorti) itu.
Selain itu para petani juga menggunakan sumber daya dan teknologi yang tersedia secara lokal. Dalam 2—3 tahun, mereka memperoleh peningkatan pendapatan dari panen buah berkualitas lebih baik.
Di daerah perdesaan terdapat kebun yang kaya akan pohon buah lokal dan tumbuh liar secara alami. Pohon buah lokal itu merupakan varietas yang tidak teridentifikasi, berkualitas rendah, berproduksi rendah, dan bernilai pasar rendah.
Bagi para petani, lakukan renovasi pohon-pohon itu dengan metode top-working (TW) pada kanopi. Pada prinsipnya top working merupakan teknik penyambungan tanaman dengan menyisipkan entres dari varietas unggul ke batang bawah pohon. Entres itu kelak menjadi batang atas.
“Top-working itu proses untuk mengubah pohon yang tidak produktif menjadi produktif dengan melakukan penyambungan ulang kanopi menggunakan varietas komersial baru, dengan menggunakan batang yang sudah ada sebagai batang bawah,” kata Reza.
Tujuan top working mengganti varietas tanaman yang kurang produktif atau berkualitas rendah menjadi varietas yang lebih unggul dalam waktu lebih singkat. Jadi, untuk meningkatkan nilai panen buah lebih singkat dan tanpa menebang pohon.
Pohon buah lokal tumbuh secara alami dan dapat bertahan dalam kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan. Setelah penerapan metode TW, pohon dapat bertahan tanpa memerlukan perawatan intensif. Menurut Reza pohon hasil top working akan berbuah jauh lebih cepat daripada menanam bibit yang disambung. Vegetasi di sekitar pohon TW harus dikendalikan untuk menghindari persaingan nutrisi, air, dan sinar matahari.
Kelompok kedua, yakni kebun buah dan perkebunan buah komersial yang fokus pada tanaman buah dalam pot (tabulampot).
Mereka berinvestasi dalam teknologi budi daya buah terbaru seperti internet of things (IoT) dan good agricultural practices untuk menghasilkan panen buah sepanjang tahun sehingga ketersediaan buah pun terjaga. Investasi itu sekaligus meningkatkan produksi dan kualitas buah.
Upaya lain yang dapat diterapkan kebun buah adalah budi daya tanaman buah dalam pot (tabulampot) terutama untuk pohon dengan buah berukuran kecil atau kurang dari 1 kg), sedangkan pohon dengan buah berukuran besar (lebih dari 1 kg) sebaiknya ditanam di ladang.
Tabulampot sebagai teknologi baru yang sedang berkembang untuk menghasilkan buah berkualitas tinggi sepanjang tahun. Penanaman dalam wadah untuk membatasi pertumbuhan akar yang liar dan mengelola kanopi pohon.
Wadah tanam atau kontainer menggunakan kantung tanam berkapasitas 150–200 liter dari bahan terpal atau idealnya aeropot. Reza mengatakan, petani yang menerapkan sistem budi daya tabulampot lebih mudah mengatur pembuahan. Hal itu memungkinkan untuk mencegah pembuahan serentak.
Membuahkan tanaman dalam pot dengan media tanam terbatas relatif mudah. Penyebabnya area perakaran terbatas, hanya di dalam pot, sehingga pengangkutan nutrisi dari akar lebih optimal dan lebih cepat. Pada kesempatan lain, Reza membuat analogi akar tanaman dalam pot yang lebih pendek itu “menyederhanakan birokrasi”.
Hal itulah yang menyebabkan tanaman mudah berbuah dengan kualitas tinggi hingga premium. Pengaturan pembuahan tanaman dalam pot memungkinkan ketersediaan buah sepanjang tahun. Pasokan buah di pasar yang konstan menyebabkan harga pun stabil.
Plasma nutfah
Sistem tabulampot memerlukan investasi tinggi dibanding dengan penanaman pohon buah di lahan terbuka. Hal itu karena petani memerlukan material seperti pot atau planter bag dan media kultur. Planter bag mampu bertahan 5—6 tahun. Namun, menurut Reza, buah hasil budi daya tabulampot berkualitas tinggi, waktu panen yang tepat, dan volume yang cukup untuk memenuhi permintaan pasar.
Panen buah pada tingkat kematangan 80—90 persen untuk mendapatkan buah yang seragam dan berkualitas tinggi. Kebun buah yang menanam tabulampot menargetkan pasar buah segar dan konsumen buah meja. Kebun buah komersial menargetkan pasar ekspor dan industri pengolahan buah.
Karena ukuran yang kompak, tabulampot cocok untuk taman agrowisata petik buah sendiri. Jumlah spesies buah yang makin langka terus meningkat, akibat nilai nonkomersialnya.
Banyak spesies buah di hutan mengalami penurunan populasi, akibat perluasan perkebunan sawit dan penebangan pohon. Pohon buah juga berfungsi sebagai penyeimbang lingkungan seperti penahan air, penyerapan karbondioksida, produksi oksigen, dan pencegahan longsor.
Selain itu terdapat pohon buah yang menjadi tempat tinggal dan sumber pakan bagi hewan kecil seperti burung, tupai, kelelawar, dan lebah. Itulah sebabnya spesies-spesies itu harus dilestarikan.
Cara pelestarian antara lain penanaman di taman umum, kawasan konservasi alam, ruang terbuka di kantor/lembaga pemerintah, zona hijau pabrik atau industri, taman hijau properti, dan taman pribadi kolektor. Tugas kelompok ketiga, yakni kelompok plasma nutfah tanaman buah, berfokus pada konservasi.
Mereka mengumpulkan tanaman buah lokal yang langka dan kurang dimanfaatkan, serta melestarikannya secara eks-situ. Selain itu mereka juga menanam beragam spesies di lahan terbuka yang tersedia untuk menjadikannya hijau dan ramah lingkungan. Koleksi plasma nutfah antara lain bermanfaat untuk merakit varietas unggul.