Top
Begin typing your search above and press return to search.

Berharap tidak ada lagi OTT kepala daerah hanyalah doa, tanpa perbaikan kebijakan pilkada

Berharap tidak ada lagi OTT kepala daerah hanyalah doa, tanpa perbaikan kebijakan pilkada
X

OTT dilakukan KPK pada Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, November 2025

Kasus kepala daerah terjerat operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Penberantasan Korupsi (KPK), terus saja terjadi. Yang terbaru, OTT terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid dan Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, menambah panjang daftar pejabat yang tidak amanah dan melanggar sumpah jabatan.

Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, M.A. memaparkan terus terjadinya OTT kepala daerah disebabkan sistem pemilihan kepala daerah belum diperbaiki, yakni Undang-Undang Pilkada No.10 tahun 2016.

"Ini gara-gara sistem pemilihan kepala daerah belum kita perbaiki. Jadi regulasi terakhir Undang-Undang Pilkada nomor 10 tahun 2016. Sampai sekarang undang-undang itu masih berlaku. Kemarin dipakai di Pilkada serentak nasional 27 November 2024,” kata Prof Djo, kepada news anchor Radio Elshinta Bandung, Nico Aquaresta, Kamis (13/11/2025) pagi.

Prof Djo menambahkan, ketika kepala daerah menjalankan tugasnya, sering terkena kasus hukum. Karena yang ada di pikiran mereka hanya satu, tandas Prif Djo, yakni mengembalikan modal Pilkada yang berbiaya mahal. Yang terjadi, kepala daerah menyimpang dari kekuasaan dan wewenangnya.

"Kepala daerah hasil Pilkada, sudah dilantik Februari 2025. Lalu mereka menjalankan tugas dan pekerjaan, ketemulah kasus hukum. Ini gara-gara sistem pemilihan kepala daerah berbiaya mahal. Maka ketika dia memimpin Pemerintahan, pikirannya cuma satu, yang utama balikin modal. Yang kedua, baru urus rakyat. Akhirnya yang terjadi adalah dia menyimpang dari kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya. Ada pengadaan barang dan jasa dikorupsi, perizinan, jual-beli jabatan,” paparnya.

Prof Djo menambahkan, sistem pemilihan kepala daerah yang buruk dan mahal menghasilkan pemimpin yang rendah moral dan berintegritasnya. Menurutnya kecil kemungkinan mendapatkan kepala daerah berintegritas baik atau tinggi. Dengan sistem pemilihan pilkada saat ini, kata Prof Djo, berharap tidak lagi terjadi OTT terhadap kepala daerah, hanyalah sebuah doa. Tanpa perbaikan sistem, hal itu sulit dicapai.

"Faktornya sistem pemilihan kepala yang buruk dan mahal, sehingga kita mendapatkan pemimpin yang moralnya rendah, integritasnya rendah, karena ia memenangi kontestasi dengan cara-cara fraud,” ujar Prof Djo.

Ia memberikan contoh, kecurangan beli suara. “Itu kan nggak boleh, sama dengan menyuap orang yang akan memilih kita. Akibatnya nggak mungkin kita dapatkan kepala daerah berintegritas, yang kompeten. Kalau toh dapat, nggak banyaklah karena berbiaya mahal. Kalau kita berharap tidak ada lagi OTT, itu cuma doa doang, nggak mungkin bisa tercapai tanpa memperbaiki kebijakan pilkada ke depan,” tambahnya.

Selain itu, Prof Djo mengatakan bahwa dirinya saat ini sedang melakukan riset di 8 provinsi, untuk mempelajari Pilkada. Dari risetnya, ia menemukan data dan informasi mahalnya biaya pilkada baik level gubernur mau pun bupati dan wali kota.

"Menemukan berbagai macam data dan informasi, untuk maju jabatan gubernur butuh 100 miliar lebih ongkos yang dikeluarkan, untuk bupati ada juga 100 an (miliar) lebih utk daerah-daerah besar. Untuk daerah kecil 50-an miliar,” ungkapnya.

Menurut Prof Djo, jika ingin menghasilkan kepala daerah yang bermoral, berintegritas, bermoral dan mengutamakan rakyatnya, harus diperbaiki Undang-Undang Pemilu dan Pilkada, serta Undang-Undang kepartaian, karena sumber rekrutmen pemimpin kita adalah partai politik.

Penulis: Nico Aquaresta/Ter

Sumber : Radio Elshinta

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire