Top
Begin typing your search above and press return to search.

Cegah banjir Bali agar tidak berulang

Cegah banjir Bali agar tidak berulang
X

Relawan membersihkan sungai dari sampah sisa banjir di Sungai Tukad Badung, Denpasar, Bali, Sabtu (20/9/2025). Aksi bersih sungai tersebut dilakukan untuk membantu mengatasi permasalahan sampah yang masih mengotori wilayah itu pascabencana banjir Bali yang terjadi pada Rabu (10/9). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/tom.

Banjir Bali di awal September 2025 begitu mengagetkan publik luas. Selama ini, bagi orang luar Bali, ekosistem kehidupan di Pulau Dewata dianggap mampu berdamai dengan pembangunan dan modernisasi tanpa kehilangan kultur dan kearifan lokal setempat.

Banjir besar di Denpasar, jantung aktivitas di Bali, menjadi pertanda (alarm) bahwa modernisasi pembangunan jangan sampai melumpuhkan Bali dengan bencana. Denpasar merupakan wilayah hilir, tetapi mencegah banjir tidak bisa hanya dilakukan di hilir. Air berasal dari hulu, sehingga mitigasi banjir harus berbasis pengelolaan terpadu dari hulu hingga hilir.

Berdasarkan pantauan Google Earth Pro, bagian hilir Denpasar yang umumnya berada pada ketinggian kurang dari 50 meter dari permukaan laut (mdpl), seolah menjadi penampungan air yang datang dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Ayung di hulu serta tiga anak sungai termasuk Sub-DAS-nya, yang memiliki wilayah dengan ketinggian lebih dari 900 mdpl.

Pengelolaan kesatuan ekosistem pada kawasan hidrologis DAS ini melampaui batas-batas administrasi pemerintahan, sehingga kelihaian gubernur dan bupati/wali kota dalam berkoordinasi menjadi salah satu kunci sukses pencegahan bencana.

Secara kebijakan, Bali telah berupaya menerapkan konsep “satu pulau satu manajemen” (one island, one management). Pulau kecil seperti Bali memang selayaknya dikelola sebagai satu kesatuan ekologi. Namun, pengelolaan terpadu kawasan hidrologis yang mencakup daerah tangkapan air, sungai, sempadan, hingga kawasan pesisir, masih dapat dioptimalkan.

Di sinilah peran perencanaan tata ruang berbasis neraca air menjadi penting. Dengan demikian, pembangunan permukiman, pariwisata, dan infrastruktur dapat diatur agar tidak melampaui daya dukung lingkungan. Bali sebenarnya memiliki warisan pengetahuan ekologis yang sangat berharga, yakni sistem subak.

Sistem ini bukan sekadar metode irigasi, tetapi juga sistem sosial-ekologis yang memastikan pembagian air dilakukan adil, terukur, dan selaras dengan siklus alam.

Subak mengajarkan bahwa air harus dikelola, disimpan, dan disalurkan dengan bijaksana baik saat berlimpah maupun saat langka. Di era modern, nilai-nilai subak ini dapat diadaptasi menjadi strategi manajemen banjir, membuat kolam retensi, sumur resapan, dan taman resapan di hulu maupun hilir.

Bali juga memiliki pacalang yang berfungsi menjaga keamanan dan ketertiban adat. Dalam konteks pengelolaan lingkungan, pacalang dapat diberdayakan untuk mengawasi kepatuhan terhadap aturan ruang terbuka hijau, sempadan sungai, dan pembuatan infrastruktur resapan air di lingkungan desa adat. Kearifan lokal yang kuat ini menjadi modal sosial untuk menggerakkan aksi kolektif.

Penyebab banjir

Penulis sempat berdiskusi dengan seorang tenaga ahli menteri asal Bali terkait penyebab banjir. Paling tidak ada dua tren besar yang mempercepat daratan Bali kehilangan kemampuan menyerap air.

Pertama, tren pemasangan batu sikat untuk mempercantik halaman. Dalam lima hingga sepuluh tahun terakhir, halaman-halaman yang dulunya berupa tanah atau rumput diubah menjadi permukaan keras dengan plester semen lalu dihias batu sikat. Hasilnya indah, namun daya infiltrasi tanah hilang total akibat soil sealing.

Air hujan langsung mengalir ke sungai tanpa sempat meresap. Berbeda dengan paving block yang masih memiliki celah-pori, batu sikat sepenuhnya menutup permukaan. Solusi yang dapat diterapkan adalah teknik modifikasi batu sikat dengan lubang infiltrasi pada interval tertentu, atau pembangunan sumur resapan dan sistem panen hujan di titik terendah halaman.

Kedua, aturan pembatasan ketinggian bangunan maksimum 15 meter mendorong pembangunan horizontal. Alih-alih membangun gedung bertingkat tinggi, lahan horizontal semakin banyak tertutup beton. Lahan kosong yang dulu berfungsi sebagai “penyerap banjir alami” kini hilang. Situasi ini menunjukkan bahwa regulasi ketinggian bangunan perlu dievaluasi secara hati-hati.

Meningkatkan batas ketinggian untuk perumahan vertikal ramah lingkungan dapat menjadi solusi, karena memungkinkan ruang terbuka hijau tetap terjaga. Selain dua faktor tersebut, perlu diperhatikan pula degradasi daerah hulu akibat perubahan tutupan lahan.

Pembukaan lahan untuk akomodasi pariwisata, vila, dan kebun monokultur berpotensi mengurangi kapasitas hutan menyerap air. Program reforestasi dan agroforestry di daerah hulu DAS Ayung dapat menjadi strategi jangka panjang.

Jalan keluar

Bali memiliki kapasitas sosial, kelembagaan, dan pengetahuan yang memadai untuk menghadapi persoalan banjir. Kuncinya adalah menggabungkan kearifan lokal dengan sains modern. Pemerintah dapat mendorong pembangunan infrastruktur hijau (green infrastructure) seperti biopori massal, kolam retensi komunitas, dan taman kota resapan air.

Teknologi penginderaan jauh dapat dimanfaatkan untuk memantau perubahan tutupan lahan secara berkala sehingga kebijakan adaptasi dapat diambil lebih cepat.

Kolaborasi antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, desa adat, akademisi, dan masyarakat harus diperkuat. Musyawarah desa dapat menjadi forum untuk menyepakati penataan halaman rumah agar tetap estetis tetapi ramah air.

Sementara itu, industri pariwisata sebagai sektor unggulan Bali dapat ikut berkontribusi, misalnya dengan membangun sistem pengelolaan air hujan termasuk panen hujan di area hotel dan resort sehingga tidak menambah beban banjir ke hilir.

Pulau Dewata memiliki modal sosial dan kearifan budaya yang unik. Dengan sinergi antara ilmu pengetahuan, regulasi yang adaptif, dan partisipasi aktif masyarakat, Bali dapat mengembalikan harmoni antara manusia dan alam.

Banjir September 2025 seharusnya menjadi momentum refleksi sekaligus titik balik untuk memperkuat manajemen ekosistem satu pulau. Dengan langkah kolektif ini, Bali tidak hanya mencegah banjir di masa depan tetapi juga memperkuat identitasnya sebagai pulau yang mampu menjaga keseimbangan antara pembangunan, budaya, dan lingkungan.

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire