Data Desa Presisi antarkan Sofyan Sjaf jadi guru besar IPB

Berawal dari pesan kedua orangtuanya untuk mengutamakan pendidikan, Sofyan Sjaf tumbuh menjadi anak yang memiliki cita-cita tinggi. Anak ketiga dari empat bersaudara itu membuktikannya hingga kemudian dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) atau IPB University pada Sabtu (30/8).
"Orang tua saya selalu berpesan kepada empat anaknya, salah satu jalan bisa bermartabat adalah melalui pendidikan bukan gelar atau jabatan. Akan tetapi berilmu dan bermanfaat bagi orang lain. Maka kejarlah pendidikan setinggi mungkin," kenang Sofyan yang dikukuhkan sebagai guru besar pada usia 46 tahun itu.
Masa kecil dilalui Sofyan di Kendari, Sulawesi Tenggara, yang pada saat itu sedikit anak yang bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Meski melewati tantangan yang tak mudah di daerah asalnya, Sofyan membuktikan dengan kedisiplinan dan konsistensi setiap orang bisa meraih cita-cita yang diinginkannya.
Beruntung, ia memiliki orang tua yang mengajarkan kepemimpinan dan kedisiplinan pada anak-anaknya. Selain itu, kakak pertamanya, Prof Hasbullah Syaf yang saat ini Guru Besar Evaluasi Lahan Fakultas Pertanian Universitas HaluOleo, juga menjadi sosok yang menginspirasinya.
"Apapun yang kakak saya lakukan, maka saya akan ikuti. Kalau kakak saya sarjana, maka saya juga harus sarjana bahkan harus melampauinya. Kalau saya Ketua OSIS saat SMA, saya juga harus jadi Ketua OSIS. Kakak saya menjadi inspirasi untuk menjadi lebih baik lagi bahkan kalau bisa harus melampauinya," kenang Dekan FEMA IPB itu.
Selepas SMA di Kendari, ia melanjutkan pendidikan di IPB pada program studi Teknologi Hasil Ternak. Pendidikan pascasarjana magister dan doktoral juga di IPB dengan bidang keahlian sosial pedesaan. Sebelum berkarier sebagai dosen, ia pernah menjadi wartawan dan bekerja di perusahaan swasta. Namun ia kemudian memutuskan untuk kembali ke kampus dan menjadi dosen.
"Bagi saya profesi yang merdeka itu ada dua yakni jadi politisi dan akademisi. Politisi merdeka karena dapat mengutarakan pendapat dan menentukan kebijakan, sementara akademisi cakupannya lebih luas dan suaranya didengar karena memiliki basis argumentasi ilmiah," kata ayah dari Shaffan Amzari Sjaf tersebut.
Selama menjadi dosen yang fokus pada sosiologi pedesaan, ribuan desa di Tanah Air telah dijelajahinya. Dari kunjungan-kunjungan yang dilakukan, ia menyadari bahwa ada persoalan dalam pembangunan, terutama persoalan data yang menjadi landasan utama dalam perencanaan pembangunan.
Data yang presisi
Desa menjadi rumah bagi mayoritas masyarakat, tapi sayangnya masih terperangkap dalam kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan struktural. Akar dari persoalan ini, kata Sofyan, bukan semata karena kekurangan anggaran, melainkan cara pandang yang memperlakukan desa sebagai objek pembangunan.
"Selama ini sistem pendataan yang dilakukan berlangsung top down, agregatif dan tidak partisipatif. Akibatnya tidak menangkap keragaman sosial, budaya serta kerentanan di desa tersebut," kata peraih Dosen dengan Kinerja Pengabdian kepada Masyarakat Terbaik dari IPB itu.
Kebijakan yang diambil pemangku kepentingan berdasarkan data yang dikumpulkan dari pusat, padahal dengan kategori yang tidak selalu relevan bagi kehidupan warga desa; data yang digunakan sering kali hanya menggambarkan “kulit luar” desa, tidak menangkap relasi sosial, ketimpangan antar warga, atau kerentanan ekologis.
Akibatnya, kebijakan yang lahir menjadi tumpul, tidak menyentuh akar masalah, dan dalam banyak kasus justru melanggengkan ketimpangan.
Padahal, kata Sofyan, pada era big data seperti saat ini, data dapat menjadi alat emansipasi bukan menjadi alat dominasi. Selama ini, masyarakat desa jarang dilibatkan dalam pengumpulan data. "Kalaupun ada pendataan, mayoritas perangkat desa tidak pernah mengetahui untuk apa data tersebut dan bagaimana peruntukkannya."
Akibatnya, kebijakan publik yang diambil pun menafikan keberadaan mereka, terutama kelompok rentan seperti perempuan kepala keluarga, lansia, dan anak-anak disabilitas.
"Bahkan dalam banyak kasus, pendataan yang tidak akurat menyebabkan program bantuan sosial sering salah sasaran, memperkuat ketimpangan, dan merusak kepercayaan sosial di tingkat lokal," imbuh dia.
Pengalamannya di lapangan, menunjukkan tidak sedikit masyarakat yang seharusnya menerima bantuan sosial tetapi malah tidak mendapatkannya. Persoalan data juga menjadi persoalan yang kerap diperdebatkan oleh para perencana pembangunan.
"Dalam struktur pembangunan nasional saat ini, data telah berubah menjadi alat yang sangat kuat. Data digunakan untuk menentukan alokasi anggaran desa, menentukan jumlah
penerima bantuan sosial, menyusun prioritas pembangunan infrastruktur, dan mengidentifikasi wilayah 'tertinggal' atau 'berkembang'," kata peraih Public Relations Indonesia Awards kategori Community Based Development pada 2022 itu.
Padahal Presiden China Xi Jinping, kata Sofyan, telah mencontohkan 20 tahun yang lalu cara mengatasi kemiskinan di desa-desa dengan melakukan pendataan yang presisi. Melalui pendekatan Data Desa Presisi (DDP), yang memadukan pendekatan mikrospasial, sensus menyeluruh, partisipasi masyarakat, maka desa dapat menjadi subyek pengetahuan.
"Warga desa bukan hanya pemberi data, tetapi juga penafsir, pengguna dan pemilik data," jelas Sofyan yang dikukuhkan sebagai guru besar pada usia 47 tahun itu.
DDP mengusung tiga prinsip utama yakni pertana, setiap keluarga terpetakan secara spasial dan sosial; kedua, data digunakan untuk musyawarah dan pengambilan keputusan lokal dan bukan hanya laporan birokratis; dan ketiga, desa memiliki kontrol penuh atas data, termasuk hak untuk menyimpan, mengatur akses, dan menggunakan data secara mandiri.
"Kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran akan berdampak terhadap tingginya angka ketimpangan dan pengangguran," katanya memperingatkan.
Selama ini data agregatif yang menyatukan kategori yang menyederhanakan kompleksitas dan mereduksi kehidupan sosial ke dalam angka rata-rata, tak mampu mengatasi persoalan pembangunan di pedesaan. Sebagai salah satu pendekatan, DDP merupakan bentuk konkrit dari dekolonisasi data dan menjadi gerakan tindakan kolektif warga menuju kedaulatan pengetahuan.
Dalam dunia yang dipenuhi algoritma, kata Sofyan lagi, pembangunan hendaknya dimulai dari desa, yakni dari data yang dimiliki, dipahami, dan diperjuangkan oleh warga itu sendiri.
Rektor IPB Prof Arif Satria mengatakan kehadiran DDP itu membuktikan IPB tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga mampu memberi dampak nyata, menghadirkan solusi, dan menciptakan nilai di tengah masyarakat dan dunia usaha.