Depok disiapkan jadi percontohan, menteri LH tekankan pengelolaan sampah aman dan efektif
Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol memberi peringatan keras terkait pembangunan fasilitas pengolahan sampah berbasis waste to energy

Radio Elshinta/ Arie Dwi Prasetyo
Radio Elshinta/ Arie Dwi Prasetyo
Menteri Lingkungan Hidup (LH) Hanif Faisol memberi peringatan keras terkait pembangunan fasilitas pengolahan sampah berbasis waste to energy. Ia menegaskan teknologi yang tidak tepat justru bisa menghasilkan zat beracun berbahaya bagi kesehatan.
“Kalau insinerator itu abal-abal, hanya sekadar tungku bakar, jangan dipakai karena hasilnya bukan solusi, justru bencana baru. Gas dioksin dan furan yang muncul lebih berbahaya daripada sampah itu sendiri. Efeknya bisa sampai 20 tahun dan tidak bisa disaring masker apa pun,” ujar Hanif dalam pertemuan bersama Forkopimda dan komunitas lingkungan di Depok, Jumat (3/10/2025).
Hanif menjelaskan, untuk membakar sampah dengan aman dibutuhkan teknologi insinerator bersuhu minimal 1.000 derajat Celsius. Namun, biaya pembangunan fasilitas modern itu bisa mencapai Rp3 triliun, ditambah subsidi listrik yang sangat besar dari negara.
“Pemerintah harus membayar hampir Rp1 juta per ton sampah agar bisa diubah jadi listrik. Semua itu uang rakyat dari APBN dan APBD. Jadi waste to energy hanya boleh dipakai sebagai solusi darurat, bukan jalan pintas,” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa solusi jangka panjang tetap ada pada pengelolaan dari hulu: memilah sampah rumah tangga, menguatkan bank sampah, hingga memperkuat komunitas lingkungan di tingkat kelurahan.
“Jangan bangga dulu dengan waste to energy. Kalau sampahnya tidak terpilah, biayanya mahal dan risikonya besar. Jalan terbaik, meskipun melelahkan, adalah mengurangi sampah dari sumbernya,” kata Hanif.
Hanif menyebut Depok kini masuk kategori kota darurat sampah dan akan dijadikan proyek percontohan nasional. “Depok ini harus jadi model. Kita akan buktikan bisa bersih, sambil kita siapkan teknologi waste to energy yang benar-benar aman dan sesuai standar,” pungkasnya.
(Arie Dwi Prasetyo)