Top
Begin typing your search above and press return to search.

Di balik layar LSF awasi tayangan

Di balik layar LSF awasi tayangan
X

Lampu ruangan sengaja diredupkan di sebuah studio sensor yang berukuran tidak terlalu besar. Di dalamnya, enam orang anggota Lembaga Sensor Film (LSF) dan penyensor duduk di depan layar lebar, mengamati dengan saksama tayangan film baru sebelum dirilis ke publik.

Begitulah rutinitas di balik studio sensor LSF saat menelaah film-film sebelum mendapat izin tayang. Masing-masing kelompok penyensor bertugas menilai, meneliti, dan menggolongkan adegan demi adegan untuk memastikan konten yang sampai ke publik sesuai dengan nilai moral dan klasifikasi usia penonton.

Setiap hari, sekitar 200 hingga 300 judul materi tayangan masuk ke Lembaga Sensor Film. Materi tersebut dibagi secara acak ke dalam lima studio. Dari pukul sembilan pagi hingga empat sore, kelompok penyensor menonton berbagai jenis karya. Materi tersebut berupa deretan film layar lebar untuk tayang di bioskop, serial televisi, iklan, hingga konten digital.

“Kalau saat ini total ada 103 orang di LSF. Dari jumlah itu, 17 anggota dan 33 tenaga sensor yang bertugas di studio,” kata Naswardi.

Menariknya, cara kerja penyensoran saat ini jauh berbeda dibanding satu dekade lalu; Sejak 2014, LSF resmi meninggalkan metode lama berbasis pita seluloid dan sepenuhnya beralih ke sistem penyensoran digital.

“Kalau dulu, penyensoran dimaknai secara harfiah yakni memotong bagian film yang dinilai tidak layak. Materi filmnya masih berupa seluloid, jadi benar-benar dipotong, lalu disambung lagi dengan solatip. Kalau di bioskop dulu tiba-tiba muncul gambar gelap atau gerakan hitam di layar, itu tandanya film tersebut disensor,” ujar Ketua LSF 2024-2028, Dr. Naswardi, MM, ME., kepada ANTARA.

Sebagai gantinya, lembaga ini memberikan catatan dan rekomendasi kepada produser atau rumah produksi untuk menyesuaikan konten agar sesuai dengan klasifikasi usia yang diajukan.

Bila terdapat adegan atau dialog yang tidak sesuai dengan kriteria usia penonton yang dikategorikan, maka tim penyensor akan menyarankan perubahan seperti misalnya pengambilan gambar dengan jarak kamera yang diperjauh atau mengganti dialog dengan bahasa yang diperhalus.

“Jadi yang melakukan penyesuaian seperti memotong tayangan atau memblur itu bukan kami, tapi pihak produser. Kami hanya memberikan rekomendasi dari sisi tema, judul, dialog, maupun adegan,” jelas mantan analis dan tenaga ahli KPAI tersebut.

Data Lembaga Sensor Film (LSF) mencatat, sepanjang tahun 2024 terdapat 42.339 judul materi tayangan yang disensor, meliputi film bioskop, televisi, dan jaringan teknologi informatika.

Sedangkan, hingga Oktober 2025 terdapat lebih dari 39.000 judul sudah dinyatakan lulus sensor. Dari jumlah itu, film layar lebar nasional mencapai 217 judul dan film impor sebanyak 212 judul yang datang dari 18 negara. Semua materi tersebut telah diklasifikasikan sesuai usia penonton, mulai dari semua umur (SU), 13 tahun ke atas, 17 tahun ke atas, hingga dewasa 21 tahun ke atas.

Namun, tantangan baru muncul di era digital saat ini. Platform tayangan berbasis internet seperti OTT (Over The Top) dan video on demand berkembang sangat pesat. Banyak masyarakat yang menemukan konten tidak sesuai dengan klasifikasi usia atau bahkan memuat unsur pelanggaran SARA hingga kekerasan.

LSF mengungkapkan, penayangan berbasis jaringan teknologi informatika termasuk OTT dan media sosial belum secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Perfilman. Karena itu, pengawasan terhadap digital masih bersifat sukarela dari pihak penyedia layanan, terutama OTT lokal.

Meski begitu, LSF tetap berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang juga memiliki perwakilan dalam keanggotaan lembaga tersebut.

“Saat ini sekitar lima persen dari total materi yang kami sensor berasal dari platform OTT. Dengan revisi UU Perfilman yang kini masuk prolegnas, harapannya dapat memperkuat dasar hukum pengawasan konten digital,” ujar pria kelahiran Balimbing, Sumatra Barat tersebut.

Masifnya pertumbuhan konten digital ini membuat beban kerja LSF meningkat drastis. Untuk mengantisipasinya, lembaga ini mulai berkolaborasi dengan Institut Teknologi Bandung, menyusun studi kelayakan penggunaan teknologi berbasis kecerdasan buatan AI dalam proses penyensoran.

Penerapan teknologi kecerdasan buatan inilah yang harapannya dapat membuat kerja-kerja LSF bisa semakin sederhana, seperti membaca elemen-elemen film, dialog, dan konteks adegan dalam waktu bersamaan dan akurat.

“Kerjasama dengan ITB untuk melihat prospek studi kelayakan dari penggunaan AI dalam proses penyesoran, karena beberapa yang kita identifikasi itu masih terbatas teknologinya,” kata Naswardi.

Upaya ini menjadi langkah antisipatif, terutama jika revisi Undang-Undang Perfilman nantinya memperluas mandat LSF untuk menilai seluruh bentuk tayangan, termasuk tayangan pada konten digital di platform OTT dan media sosial.

Namun, tantangan LSF tidak berhenti di ruang digital. Dalam beberapa tahun terakhir, geliat penyelenggaraan festival film di Indonesia juga semakin menambah volume kerja lembaga ini. Belum lagi, sebagai institusi yang bertugas memastikan setiap tayangan sejalan dengan nilai moral, agama, dan budaya bangsa, LSF tetap menerapkan mekanisme klasifikasi usia pada film-film festival yang beredar di dalam negeri.

Hingga September 2025, tercatat total ada 765 film yang berasal dari 25 negara, yang diputar di Tanah Air. Dari jumlah tersebut, sebanyak tujuh film terpaksa tidak dapat ditayangkan di RI karena dinilai bertentangan dengan nilai dasar bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945, kebhinekaan, ataupun norma keagamaan.

LSF kini juga mendorong lahirnya kesadaran kolektif melalui Gerakan nasional Budaya Sensor Mandiri. Gerakan ini menjadi upaya sosialisasi agar masyarakat dan pelaku industri film semakin memahami pentingnya memilih serta memproduksi tayangan yang sesuai dengan klasifikasi usia dan nilai-nilai budaya bangsa.

Gerakan ini menjadi jembatan literasi agar masyarakat semakin bijak memilih tontonan, sementara para pembuat film semakin sadar pentingnya memproduksi karya yang selaras dengan nilai-nilai bangsa.

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire