Hari santri dan akar tradisi nusantara

Santri menata hasil karya seni lukisan kaca wajah ulama KH. Maimun Zubair dan Gus Baha saat pameran produk UMKM pada peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2025 di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Selasa (21/10/2025). Pameran produk UMKM yang diikuti sebanyak 72 pelaku usaha merupakan rangkaian peringatan Hari Santri Nasional serta upaya peningkatan ekonomi masyarakat, pesantren dan santri di Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Nirza/agr/foc.
Santri menata hasil karya seni lukisan kaca wajah ulama KH. Maimun Zubair dan Gus Baha saat pameran produk UMKM pada peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 2025 di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, Selasa (21/10/2025). Pameran produk UMKM yang diikuti sebanyak 72 pelaku usaha merupakan rangkaian peringatan Hari Santri Nasional serta upaya peningkatan ekonomi masyarakat, pesantren dan santri di Jawa Tengah. ANTARA FOTO/Nirza/agr/foc.
Hari ini, 22 Oktober 2025, bangsa Indonesia memperingati Hari Santri. Tanggal ini dipilih bukan tanpa alasan. Pada 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari menyerukan Resolusi Jihad yang menegaskan bahwa membela bangsa dan tanah air adalah ekspresi dari iman.
Resolusi jihad bukan hanya panggilan politik, tetapi seruan moral dan spiritual bagi umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan dan wilayah Republik Indonesia yang baru seumur jagung. Sejarah mencatat dari resolusi itulah muncul semangat heroik para santri dan pejuang Surabaya yang kemudian dikenal sebagai Hari Pahlawan setiap 10 November.
Dalam makna sempit, santri sering dimaknai sebagai orang yang menuntut ilmu agama di pesantren, berguru pada kyai, baik dengan cara menetap (santri mukim) maupun yang tidak menetap (santri kalong). Dalam makna sedang, santri juga mencakup mereka yang belajar agama di madrasah, mushalla, atau masjid.
Namun dalam makna yang lebih luas, santri dapat merujuk pada siapa pun yang menuntut ilmu agama dan berusaha mengamalkan nilai-nilainya dalam kehidupan sehari-hari.
Tak heran jika di berbagai daerah, terutama di Jawa Barat, setiap tanggal 22 setiap bulan, para siswa dan guru sekolah negeri, serta Aparatur Sipil Negara (ASN), mengenakan atribut khas santri yakni sarung, kopiah, dan baju koko. Baju koko bahkan berasal dari busana Tionghoa.
Tradisi ini menjadi simbol kebanggaan bahwa nilai-nilai kesederhanaan, kesantunan, dan keikhlasan para santri adalah bagian tak terpisahkan dari jati diri bangsa.
Namun, yang menarik, istilah “santri” sesungguhnya tidak lahir dalam ruang kosong sejarah. Kata ini berakar dari tradisi panjang pendidikan di Nusantara, bahkan sebelum Islam datang.
Sejumlah ahli seperti Nurcholis Madjid mengatakan istilah “santri” berasal dari kata sastri dalam bahasa Sanskerta, yang berarti “orang yang melek huruf” atau “cendekia”.
Ada pula yang mengaitkannya dengan kata cantrik, yaitu murid yang tinggal dan belajar kepada seorang empu di padepokan. Dengan demikian, sistem pendidikan pesantren sebenarnya merupakan kelanjutan dan transformasi dari sistem pendidikan tradisional yang telah lama hidup di bumi Nusantara.
Dari sini, terlihat bahwa pesantren bukanlah entitas asing yang tiba-tiba hadir bersama Islam. Ia adalah hasil akulturasi antara ajaran Islam dan tradisi lokal yang telah mapan.
Kombinasi Kurikulum
Para ulama dan kyai pendiri pesantren tidak menghapus warisan budaya lama, melainkan mengislamkan dan memodifikasi bentuknya agar sejalan dengan nilai-nilai tauhid, dapat kita sebut pesantren merupakan post tradisional pendidikan yang unik.
Maka tidak heran jika istilah “santri” tetap dipertahankan, alih-alih menggunakan istilah Arab seperti thalibul ‘ilm. Dalam konteks perkembangan zaman, pesantren tentu masih sangat relevan dalam membangun sistem pendidikan bangsa.
Hal ini ditandai dengan kombinasi kurikulum pendidikan nasional dengan kurikulum pesantren dalam sistem pengajaran, justru makin komprehensif. Begitu pula dalam hal bahasa dan istilah keagamaan, masyarakat Nusantara menunjukkan kemampuan luar biasa dalam mengadaptasi ajaran Islam dengan budaya setempat.
Dalam masyarakat Jawa dan Sunda, misalnya, Allah SWT sering disebut dengan sebutan Gusti, Pangeran, atau Gusti Pangeran. Walaupun secara harfiah istilah itu merujuk pada raja atau bangsawan, namun dalam konteks religius istilah tersebut dimaknai sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa.
Penggunaan bahasa lokal ini menjadi bukti betapa dalamnya kemampuan masyarakat Nusantara mengontekstualisasikan ajaran Islam tanpa kehilangan makna tauhid yang mendasarinya.
Demikian pula, sosok ulama atau tokoh agama di Indonesia disebut kyai. Dalam budaya Jawa, kata kyai sebelumnya juga digunakan untuk menyebut benda-benda yang dianggap memiliki nilai luhur atau sakral seperti Kyai Naga Siluman (keris pusaka), Kanjeng Kyai Guntur Madu (gamelan keraton), atau bahkan kerbau bule Kyai Slamet di Surakarta.
Penggunaan istilah yang sama untuk menyebut tokoh agama menunjukkan adanya kesinambungan nilai penghormatan terhadap yang dianggap suci, luhur, dan berwibawa. Islam datang dan memberi makna baru terhadap istilah itu tanpa harus meniadakan akar tradisinya.
Tanpa disadari secara alami umat beragama pun belajar memahami kata tidak sekadar teks, tetapi juga konteks sebuah kata digunakan pada ruang dan waktu tertentu. Hal ini tentu sejalan dengan pepatah arab yang berbunyi likulli maqalin maqamun wa likulli maqamin maqalun. Maknanya kurang lebih setiap perkataan memiliki tempat dan setiap tempat memiliki perkataan.
Kearifan Lokal
Peringatan Hari Santri, dengan demikian, dapat dimaknai bukan sekadar penghormatan kepada para pejuang Islam yang ikut mempertahankan kemerdekaan, tetapi juga sebagai pengakuan terhadap kearifan lokal yang menjadi fondasi kebudayaan bangsa.
Santri adalah simbol keterbukaan Islam terhadap budaya Nusantara, simbol kemampuan umat Islam untuk berdialog dengan tradisi tanpa kehilangan identitasnya. Dari mereka yang berpredikat santri, telah melahirkan organisasi organisasi besar Islam Indonesia yang sampai hari ini terus eksis dan berkembang.
Selain KH. Hasyim Ashari yang telah melahirkan Nahdlatul Ulama, ada KH. Ahmad Dahlan yang melahirkan Muhammadiyah, ada KH. Tubagus Mohammad Soleh, KH Entol Muhammad Yasin dan KH. Mas Abdurrahman yang melahirkan Mathla'ul Anwar, ada Haji Zamzam dan Haji M Yunus yang melahirkan Persis, dan masih banyak Ormas Islam lainnya yang lahir dan dibesarkan oleh santri.
Dalam konteks kekinian, santri tidak lagi identik dengan kehidupan di pesantren semata. Santri kini hadir di berbagai bidang: sebagai akademisi, ilmuwan, pebisnis, birokrat, bahkan teknokrat. Mereka membawa nilai-nilai pesantren termasuk kejujuran, kerja keras, tawadhu, dan cinta tanah air, ke dalam berbagai lini kehidupan.
Inilah generasi santri baru yang mampu menembus batas tradisi tanpa meninggalkan akar spiritualitasnya.
Hari Santri bukan sekadar peringatan seremonial. Ia adalah momen refleksi bagi bangsa Indonesia untuk menegaskan kembali bahwa perjuangan membela negara adalah ekspresi dari keimanan pribadi orang yang beriman sebagaimana ditegaskan KH. Hasyim Asy’ari delapan dekade silam.
Santri, dalam makna paling hakikinya, adalah siapa saja yang terus belajar, berbuat baik, dan berjuang untuk kemaslahatan umat dan bangsa seraya terus menghormati guru (kyai) sebagai perantara (wasilah) ilmu. Maka, di tengah tantangan zaman yang semakin kompleks, marilah warisi semangat santri meliputi cinta ilmu, cinta tanah air, dan cinta perdamaian.
Hal ini pun tertuang dalam kitab masyhur yang disusun oleh Burhânuddîn Ibrâhim al-Zarnûji al-Hanafi yakni kitab Ta'alim Muta'allim.
Pada akhirnya, dari pesantren lah bangsa ini belajar dan mendapat fondasi yang kokoh, bahwa jihad tidak selalu berarti di ruang-ruang tempat ibadah dan angkat senjata, melainkan juga perjuangan tanpa henti dalam menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan serta membangun peradaban bangsa.
Selamat Hari Santri Nasional 2025.