Kadin dorong transformasi pendidikan, optimalkan serapan tenaga kerja

Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Pembangunan Manusia, Kebudayaan dan Pembangunan Berkelanjutan Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani (kedua kanan) bersama Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi RI Stella Christie (kedua kiri) usai diskusi dengan Kadin di Jakarta, Rabu (24/9/2025). (ANTARA/HO-Kadin)
Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Pembangunan Manusia, Kebudayaan dan Pembangunan Berkelanjutan Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani (kedua kanan) bersama Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi RI Stella Christie (kedua kiri) usai diskusi dengan Kadin di Jakarta, Rabu (24/9/2025). (ANTARA/HO-Kadin)
Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia meminta pemerintah untuk melakukan transformasi pendidikan agar mengoptimalkan serapan tenaga kerja di tanah air, mengingat ada 842 ribu lulusan perguruan tinggi yang belum memiliki pekerjaan.
"Ada beberapa tantangan yang perlu kita sikapi bersama. Pertama, masih banyak terjadi kesenjangan antara lulusan pendidikan dan kebutuhan pasar kerja. Fenomena pengangguran terdidik terus terjadi, pada 2023 tercatat lebih dari 842 ribu lulusan diploma dan sarjana yang menganggur. Hal ini menunjukkan adanya competency gap yang serius," kata Wakil Ketua Umum Koordinator Bidang Pembangunan Manusia, Kebudayaan dan Pembangunan Berkelanjutan Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani dalam pernyataan di Jakarta, Kamis.
Ia menyampaikan perlu langkah nyata dalam mengatasi kesenjangan antara lulusan siap kerja dan kebutuhan industri.
Shinta menyoroti persepsi keliru di masyarakat mengenai sekolah berstandar global. Menurutnya, kualitas pendidikan tidak ditentukan oleh kurikulum asing, melainkan oleh kompetensi guru, kurikulum yang relevan, serta sistem asesmen yang kredibel.
"Namun, dalam realitas tidak harus seperti itu. Kualitas pendidikan ditentukan oleh kompetensi guru, kurikulum yang relevan dan sistem asesmen yang kredibel, tidak semata-mata ditentukan oleh kurikulum luar negeri," ucap dia.
Lebih lanjut, Shinta menekankan bahwa produktivitas tenaga kerja Indonesia masih tertinggal dibanding negara lain di Asia Tenggara. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mencatat produktivitas Indonesia hanya sepertiga dari rata-rata negara anggota.
“Selain jumlah tenaga kerja yang besar, kita juga perlu memastikan kualitas dan produktivitas mereka agar mampu bersaing secara global,” ujarnya.
Lebih lanjut, Shinta menambahkan bahwa tantangan global seperti Revolusi Industri 4.0 dan digitalisasi membuat kebutuhan keterampilan baru semakin mendesak.
“McKinsey Global Institute memperkirakan pada 2030, hingga 23 juta pekerjaan di Indonesia akan terotomatisasi jika tenaga kerja tidak dilengkapi keterampilan baru. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah, tetapi juga dunia usaha, akademisi dan masyarakat,” tegas Shinta.
Sementara itu, Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi RI Stella Christie, menekankan pentingnya mendorong perguruan tinggi menuju model research university.
“Kita harus bisa melihat apa sebenarnya data-data yang menunjukkan hubungan langsung antara pendidikan tinggi dan pertumbuhan ekonomi. Universitas berbasis riset itulah yang menghasilkan inovasi baru. Misalnya Stanford University mampu menciptakan nilai ekonomi hingga 3 triliun dolar AS per tahun,” kata Stella.
Ia mengungkapkan pihaknya telah memetakan riset unggulan di berbagai universitas di Indonesia. Peta tersebut diharapkan memudahkan dunia usaha bekerja sama dengan peneliti.
“Kami sudah membangun sistem yang memungkinkan siapa pun mencari topik riset tertentu dan langsung mengetahui peneliti serta universitas terkait. Dengan begitu, kolaborasi antara industri, pemerintah, dan akademisi dapat lebih cepat terwujud,” katanya lagi.
Lebih lanjut, Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah RI Fajar Riza Ul Haq, menekankan bahwa transformasi pendidikan tidak harus selalu berwujud perubahan kurikulum.
“Biasanya orang selalu bersorak, ganti menteri ganti kurikulum. Tetapi kami ingin memperkuat bagaimana guru mengajarkan kurikulum itu. Kompetensi abad ke-21 bukan soal seberapa banyak materi yang diajarkan, tetapi bagaimana cara dan alasan materi itu diajarkan,” kata Fajar.
Ia menegaskan pentingnya membangun pola pikir, mentalitas dan budaya belajar sejak usia dini.
“Kurikulum bisa berubah, tetapi jika guru sebagai penggerak utama tidak memahami cara mengajarkan, maka tidak akan ada maknanya,” katanya.