Kemunculan ikan pora-pora, kesempatan kedua untuk Danau Toba

Delegasi perhelatan internasional, Summit Women 20 (W20) dari sejumlah negara disela kegiatan berkesempatan mengikuti tabur bibit ikan di Danau Toba tepatnya di Pelabuhan Sialagan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Rabu (20/7/2022). ANTARA/Juraidi/aa.
Delegasi perhelatan internasional, Summit Women 20 (W20) dari sejumlah negara disela kegiatan berkesempatan mengikuti tabur bibit ikan di Danau Toba tepatnya di Pelabuhan Sialagan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Rabu (20/7/2022). ANTARA/Juraidi/aa.
Bagaimana jika suatu spesies yang dinyatakan punah secara lokal tiba-tiba muncul kembali, bukan hanya beberapa ekor yang selamat, melainkan hadir sebagai populasi yang tangguh yang bertahan melawan segala rintangan?. Ini bukan alur cerita sebuah dokumenter baru; ini adalah kisah nyata yang menakjubkan yang sedang terjadi di perairan Danau Toba.
Ikan yang dikenal secara lokal sebagai ikan pora-pora atau ikan bilih (Mystacoleucus padangensis), yang pernah menjadi tulang punggung industri perikanan lokal kurun waktu 2003-2013, ditemukan kembali. Temuan ini memberikan pelajaran berharga tentang ketahanan dan kesempatan kedua bagi konservasi ikan.
Selama bertahun-tahun, kisah ikan pora-pora memberi banyak pembelajaran. Ditebarkan di Danau Toba pada tahun 2003 untuk memanfaatkan ledakan plankton, ikan ini berkembang dengan cepat, dengan tangkapan tahunan melonjak hingga puluhan ribu ton. Hal ini menjadi keajaiban ekonomi bagi masyarakat lokal di sekitar Danau Toba.
Pada tahun 2016, keajaiban itu berakhir. Kombinasi antara penangkapan berlebihan yang intensif, kerusakan habitat, dan tekanan dari spesies invasif seperti ikan kaca-kaca (Parambassis siamensis), mendorong ikan pora-pora ke ambang kepunahan, dan ikan ini menghilang dari tangkapan, diduga telah punah selamanya dari Danau Toba.
Namun, narasi tentang kepunahan ternyata terlalu dini. Penelitian terbaru tim IPB University, yang didasarkan pada survei yang dilakukan pada tahun 2024, telah mengungkap cerita yang berbeda. Cerita tentang sebuah harapan: Melawan segala rintangan, ikan pora-pora masih ada di Danau Toba.
Tim peneliti IPB menemukan ikan ini menempati daerah littoral danau dan yang lebih penting, dijumpai di sungai-sungai yang mengalir ke Danau Toba (inlet Danau). Penemuan kembali ini bukan hanya keunikan biologis; ini adalah tanda bahwa ikan yang secara ekologi dan ekonomi penting ini sedang berjuang untuk bertahan.
Kembali dengan diam-diam
Menjelajahi tujuh kabupaten/kota yang mengelilingi Danau Toba, tim peneliti IPB melakukan survei fauna ikan Danau Toba. Hasilnya sungguh mengagumkan. Tim berhasil mengoleksi spesimen ikan pora-pora di enam dari tujuh kabupaten, mulai dari sungai-sungai dan zona litoral Danau Toba di Kabupaten Toba, hingga Kabupaten Simalungun dan Samosir.
Kesehatan ikan pora-pora menceritakan kisah yang positif. Analisis kami menunjukkan bahwa ikan pora-pora di Danau Toba memiliki pola “pertumbuhan isometrik.” Artinya, tubuh mereka tumbuh secara proporsional —laju pertumbuhan bobot badan sejalan dengan pertambahan panjang tubuh ikan. Ini adalah pola pertumbuhan yang ideal, menunjukkan bahwa ikan-ikan tersebut tidak mengalami perlambatan pertumbuhan atau kekurangan gizi.
Selain itu, “faktor kondisi” mereka, yang merupakan ukuran kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan, ditemukan terjadi pada semua kelompok ukuran. Dengan kata lain, ikan yang kami temukan dalam kondisi yang kuat dan sehat.
Temuan yang paling menggembirakan adalah hostspot populasi ikan pora-pora adalah di muara-muara sungai di Kabupaten Toba dan Simalungun, di mana tim peneliti mencatat tingkat hasil tangkapan tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa muara-muara sungai ini merupakan critical sanctuaries yang berfungsi sebagai tempat pemijahan dan pembesaran ikan, di mana ikan dapat menyelesaikan siklus hidupnya jauh dari tekanan di danau.
Resiliensi dan ancaman terhadap ikan pora-pora
Resiliensi ikan pora-pora sejalan dengan prinsip ekologi dasar yaitu “Melindungi habitat maka Anda sedang melindungi spesies yang ada di dalamnya”.
Meskipun menghadapi tekanan di masa lalu, kondisi fisik dan kimiawi perairan Danau Toba dan muaranya masih mampu menopang seluruh stadia hidup ikan pora-pora. Plankton yang melimpah sebagai sumber makanan utama mereka menjadi energi yang diperlukan oleh spesies ini untuk pulih.
Penemuan kembali spesies ini di Danau Toba menunjukkan adanya ketahanan alami yang dimilikinya. Setelah dipindahkan dari habitat aslinya di Danau Singkarak, ikan pora-pora telah menunjukkan kemampuannya untuk beradaptasi. Kini, spesies ini membuktikan bahwa ia dapat bertahan dan mulai pulih bahkan setelah mengalami penurunan populasi yang parah, asalkan masih ada sisa-sisa habitat yang dapat berfungsi sebagai tempat memijah dan berlindung.
Namun, resiliensi ini tidak boleh disamakan dengan ketidakrentanan. Ancaman yang menyebabkan kepunahan seperti penangkapan ikan berlebihan, spesies invasif, dan degradasi habitat, belum hilang dari Danau Toba. Ikan red devil (Amphilophus citrinellus) yang bersifat invasif menimbulkan ancaman baru dan signifikan karena bersaing untuk memperebutkan sumber daya dan berpotensi memangsa anak-anak ikan pora-pora.
Kesempatan kedua
Penemuan kembali ikan pora-pora adalah anugerah, kesempatan langka untuk memperbaiki kesalahan masa lalu dan membangun masa depan yang berkelanjutan bagi perikanan Danau Toba. Kita tidak boleh menyia-nyiakannya. Berdasarkan temuan tersebut, ada beberapa strategi komprehensif yang bisa dilakukan.
Pertama, program restocking yang didasarkan pada kajian ilmiah dengan menggunakan benih ikan yang dibesarkan di hatchery dari induk ikan yang secara genetik beragam untuk melengkapi populasi di alam.
Kedua, mengembangkan dan melaksanakan rencana pengelolaan yang ditargetkan untuk mengendalikan populasi spesies invasif, terutama spesies dominan dan mengganggu ekosistem seperti ikan red devil (Amphilophus citrinellus).
Ketiga, perlindungan habitat, dengan menetapkan perlindungan formal sungai-sungai yang masuk ke Danau Toba karena berfungsi sebagai tempat pemijahan dan pembesaran yang esensial bagi ikan pora-pora.
Keempat, pengendalian pencemaran. Menerapkan regulasi ketat untuk mengurangi polusi dari kegiatan budidaya keramba jaring apung dan kegiatan antropogenik lainnya (seperti limbah rumah tangga, perhotelan, pertanian) guna meningkatkan kualitas air secara keseluruhan.
Kelima, melaksanakan program pemantauan parameter kualitas air di danau dan sungai-sungai yang masuk ke danau, serta memantau dinamika populasi ikan secara berkesinambungan dan teratur.
Keenam, mengembangkan dan menginstitusionalisasikan kerangka kerja pengelolaan bersama kolaboratif perikanan pora-pora yang secara aktif melibatkan semua pemangku kepentingan terkait, seperti pemerintah pusat dan daerah, komunitas nelayan lokal, pemimpin adat, institusi akademik dan lembaga penelitian, sektor swasta, LSM, dan konsumen.
Cerita tentang ikan pora-pora merupakan bukti bagaimana alam tetap bertahan, tak tergoyahkan untuk kembali kepada posisi sediakala. Alam Danau Toba telah memberi kita kesempatan kedua.
Pertanyaannya kini adalah apakah kita cukup bijak untuk memanfaatkannya. Dengan bertindak bijaksana dan bekerja sama, kita dapat memastikan bahwa ikan pora-pora di Danau Toba tidak hanya bertahan hidup, tetapi juga berkembang kembali, menjamin kesehatan ekologis dan ekonomi bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.