KPK dalami prosedur pengurusan RPTKA tahun 2015-2017

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Budi Prasetyo memberikan keterangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (2/12/2025). ANTARA/Rio Feisal
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Budi Prasetyo memberikan keterangan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (2/12/2025). ANTARA/Rio Feisal
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami prosedur pengurusan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) tahun 2015-2017 dalam penyidikan kasus dugaan pemerasan kepada TKA terkait pengurusan RPTKA di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan pendalaman tersebut dilakukan lembaga antirasuah saat memeriksa Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing (PPTKA) Kemenaker tahun 2015-2017 berinisial RAH sebagai saksi pada 1 Desember 2025.
“Saksi saudari RAH didalami terkait prosedur pengurusan RPTKA tahun 2015-2017 yang masih manual atau belum online (daring, red.),” ujar Budi kepada para jurnalis di Jakarta, Kamis.
Selain itu, Budi mengatakan KPK meminta keterangan saksi RAH mengenai adanya permintaan uang tidak resmi kepada para agen TKA.
Sebelumnya, pada 5 Juni 2025, KPK mengungkapkan identitas delapan orang tersangka kasus pemerasan dalam pengurusan RPTKA di Kemenaker, yakni aparatur sipil negara di Kemenaker bernama Suhartono, Haryanto, Wisnu Pramono, Devi Anggraeni, Gatot Widiartono, Putri Citra Wahyoe, Jamal Shodiqin, dan Alfa Eshad.
Menurut KPK, para tersangka dalam kurun waktu 2019–2024 atau pada era Menaker Ida Fauziyah telah mengumpulkan sekitar Rp53,7 miliar dari pemerasan pengurusan RPTKA. KPK menjelaskan RPTKA merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh tenaga kerja asing agar dapat bekerja di Indonesia.
Apabila RPTKA tidak diterbitkan Kemenaker, penerbitan izin kerja dan izin tinggal akan terhambat sehingga para tenaga kerja asing akan dikenai denda sebesar Rp1 juta per hari. Dengan demikian, pemohon RPTKA terpaksa memberikan uang kepada tersangka.
Selain itu, KPK mengungkapkan bahwa kasus pemerasan pengurusan RPTKA tersebut diduga terjadi sejak era Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menjabat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada periode 2009–2014, yang kemudian dilanjutkan Hanif Dhakiri pada 2014–2019, dan Ida Fauziyah pada 2019–2024.
KPK lantas menahan delapan tersangka tersebut. Kloter pertama untuk empat tersangka pada 17 Juli 2025, dan kloter kedua pada 24 Juli 2025. Pada 29 Oktober 2025, KPK mengumumkan penambahan seorang tersangka baru dalam kasus tersebut.




