KPPU: Persaingan usaha adil syarat pertumbuhan ekonomi berkualitas

Ilustrasi - Aktivitas bongkar muat kontainer berlangsung di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/YU)
Ilustrasi - Aktivitas bongkar muat kontainer berlangsung di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/YU)
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menegaskan perlindungan terhadap persaingan usaha secara adil, sehat, dan menyeluruh merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkualitas.
"Sebagai lembaga yang mengawasi isu ini, KPPU berperan menjaga iklim usaha di Indonesia," kata Komisioner KPPU Moh. Noor Rofieq dalam diskusi bertajuk 'Mitigasi Risiko Pelanggaran Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat' sebagaimana keterangan di Jakarta, Sabtu.
Noor menyampaikan ihwal filosofi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat pada pokoknya adalah melindungi proses persaingan itu sendiri, dan bukan melindungi pesaing.
“Jadi kami melihat bagaimana pelaku usaha itu membangun bisnisnya secara wajar, dan tanpa ada pelanggaran,” ujar Noor.
Menurutnya, KPPU dalam menilai persaingan usaha mempertimbangkan terutama konteks bisnis, tidak hanya dari aspek legal semata. Misalnya, KPPU tidak serta merta menilai suatu praktik bisnis melanggar hukum hanya karena harga terlihat sama atau paralel.
“Jangan takut dengan paralelisme karena pasar itu terbuka mengenai informasi harga. Dan ini harus diikuti oleh faktor-faktor lain,” katanya.
Pendekatan KPPU, lanjutnya, selalu melihat konteks bisnis secara praktis, tidak hanya dari aspek legalistik semata.
KPPU mengelompokkan risiko pelanggaran ke dalam tiga aspek utama pada bisnis. Pada aspek produksi, umpamanya, pelanggaran dapat terjadi jika pelaku usaha mengatur volume produksi tidak untuk efisiensi, tetapi dengan sengaja menguasai sumber daya atau mempengaruhi pasar.
Ada pula aspek pemasaran dan harga yang kerap menjadi sorotan seiring isu pricing. Menurut Noor, KPPU tidak serta-merta menilai harga tinggi sebagai pelanggaran.
"Sebab, faktor-faktor seperti Internal Rate of Return (IRR), Return on Investment (ROI) dan biaya untuk industri yang padat modal akan diperhitungkan," jelasnya.
Namun, kata dia pula, praktik pelanggaran perpajakan yang berujung pada biaya produksi tidak wajar dapat menjadi pintu masuk bagi dugaan pelanggaran UU No. 5/1999.
Aspek lainnya yakni distribusi atau channeling. Dalam konteks ini, Noor mengingatkan pelaku usaha untuk berhati-hati dalam mengganti distributor, serta memastikan tidak ada unsur diskriminasi atau kesengajaan untuk menyingkirkan pihak tertentu.
"Contoh diskriminasi yang dapat terjadi adalah perbedaan tempo pembayaran," katanya.
Di tempat yang sama, Komisioner KPPU lainnya Ridho Jusmadi menambahkan bahwa dari UU No.5 Tahun 1999, KPPU memberikan perhatian terutama pada isu pengaturan harga (price-fixing). Menurut Ridho praktik tersebut jamak terjadi di sektor industri yang bersifat oligopolistik, seperti farmasi, minyak dan gas, dan infrastruktur.
Dia menyebutkan pula soal praktik pelanggaran usaha kartel yang seringkali tidak meninggalkan jejak secara tertulis.
"Tapi praktisi hukum memiliki doktrin the devil is on the details. Kita cari detail-detailnya itu, pasti ada selipnya. Itu yang kita eksploitasi dalam pembuktian,” kata Ridho.




