Kualitas beras di tengah kebijakan serap gabah `any quality`

Sejumlah petani di Desa Panawuan Kecamatan Cigandamekar, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, memisahkan padi dan jerami sebelum dibeli Tim Jemput Gabah Perum Bulog Kantor Cabang Cirebon seharga Rp6.500 per kilogram, Sabtu (9/8/2025). ANTARA/Harianto
Sejumlah petani di Desa Panawuan Kecamatan Cigandamekar, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, memisahkan padi dan jerami sebelum dibeli Tim Jemput Gabah Perum Bulog Kantor Cabang Cirebon seharga Rp6.500 per kilogram, Sabtu (9/8/2025). ANTARA/Harianto
Kebijakan Perum Bulog untuk menyerap gabah dengan skema any quality menjadi ujian berat sekaligus tantangan besar bagi tata kelola pangan nasional. Kebijakan ini berarti Bulog menerima gabah petani tanpa mensyaratkan kadar air, tingkat kebersihan, ataupun standar mutu tertentu sebagaimana biasanya berlaku dalam perdagangan gabah.
Langkah ini membuka ruang bagi petani untuk menjual hasil panen mereka tanpa terhambat standar teknis. Namun, di sisi lain menuntut strategi pengelolaan yang jauh lebih kompleks untuk memastikan kualitas beras yang dihasilkan tetap layak dikonsumsi dan aman bagi masyarakat.
Setidaknya ada lima alasan penting di balik keputusan Bulog menyerap gabah any quality. Pertama, kebijakan ini bertujuan meningkatkan ketersediaan pangan nasional dengan memastikan pasokan gabah melimpah di pasar dan menjaga stabilitas harga beras.
Kedua, memberikan dukungan nyata kepada petani agar hasil panen mereka terserap dengan baik, sehingga mereka memperoleh kepastian pendapatan dan keberlanjutan usaha.
Ketiga, mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya nasional. Dengan menerima gabah dari berbagai tingkat kualitas, Bulog dapat memaksimalkan potensi produksi dan efisiensi pengelolaan pangan di tengah keterbatasan lahan dan tingginya kebutuhan nasional.
Keempat, kebijakan ini menjadi langkah antisipasi menghadapi potensi krisis pangan, memastikan cadangan beras pemerintah tetap terjaga untuk kebutuhan darurat.
Kelima, memberikan peluang bagi Bulog untuk meningkatkan kualitas gabah melalui proses pengeringan, pengolahan, dan pemurnian lebih lanjut, sehingga menghasilkan beras yang lebih baik bagi konsumen.
Namun, keputusan menyerap gabah tanpa batasan kualitas membawa tantangan yang tidak ringan, apalagi selama puluhan tahun, Bulog menetapkan persyaratan kadar air dan kadar hampa yang ketat dalam proses penyerapan gabah.
Kini, dengan kebijakan baru, Bulog harus bekerja lebih keras untuk memastikan keberhasilan penyimpanan dan pengolahan gabah dengan mutu yang beragam.
Tantangan pertama terletak pada kualitas beras yang dihasilkan. Jika gabah yang diterima berkualitas rendah, maka risiko menurunnya kualitas beras semakin besar, yang pada akhirnya dapat memengaruhi kepercayaan konsumen terhadap produk Bulog.
Selain itu, risiko kerusakan beras menjadi lebih tinggi. Gabah dengan kualitas rendah umumnya lebih rentan terhadap jamur, serangan hama, dan penurunan mutu saat disimpan. Hal ini bukan hanya berpotensi menimbulkan kerugian material, tetapi juga memengaruhi keamanan pangan masyarakat.
Tantangan berikutnya adalah tingginya biaya pengolahan. Gabah dengan kualitas rendah memerlukan proses tambahan seperti pengeringan, penyortiran, atau pemurnian untuk menghasilkan beras layak konsumsi. Konsekuensinya, beban biaya produksi meningkat dan efisiensi operasional Bulog bisa terganggu.
Kendala lain yang tak kalah penting adalah kompleksitas pengelolaan stok. Menyimpan gabah dengan berbagai tingkat kualitas menuntut penanganan berbeda, mulai dari pengaturan kelembapan, suhu, hingga pemisahan gudang untuk menghindari kontaminasi silang.
Jika tidak dikelola dengan baik, risiko kontaminasi akibat sisa pestisida, bahan asing, atau kelembapan yang tidak terkendali dapat mengancam keamanan pangan. Selain berdampak pada konsumen, situasi ini juga berpotensi menurunkan pendapatan Bulog dan petani jika harga jual beras terpaksa ditekan akibat mutu yang kurang optimal.
Penggolongan Gabah
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Bulog perlu menerapkan berbagai strategi yang lebih adaptif dan inovatif. Salah satu langkah penting adalah mengembangkan sistem penggolongan gabah berdasarkan tingkat kualitasnya. Pendekatan ini memungkinkan gabah berkualitas tinggi dan rendah diproses secara berbeda sehingga hasil akhirnya lebih terkontrol.
Bulog juga perlu meningkatkan fasilitas pengeringan dan pengolahan modern yang mampu menjaga mutu gabah sejak awal penyimpanan. Investasi pada teknologi pengeringan berbasis digital, misalnya, dapat membantu mengurangi kadar air dengan lebih presisi dan menjaga kualitas beras tetap terjamin.
Selain itu, kerja sama erat dengan petani menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini. Melalui penyuluhan dan pelatihan teknik budidaya dan panen yang baik, kualitas gabah yang dihasilkan dapat ditingkatkan sejak dari hulu. Pendampingan teknis yang berkelanjutan akan membuat petani lebih memahami pentingnya standar mutu dan praktik penyimpanan pascapanen yang tepat.
Bulog juga perlu memperketat pengawasan kualitas pada setiap tahap, mulai dari proses penerimaan gabah, penyimpanan, pengeringan, hingga distribusi beras. Tak kalah penting, penerapan teknologi mutakhir dalam rantai pasokan pangan dapat menjadi solusi jangka panjang.
Pemanfaatan sistem berbasis Internet of Things (IoT) untuk mengontrol suhu dan kelembapan gudang, misalnya, bisa membantu meminimalkan kerusakan gabah dan beras. Teknologi ini juga memungkinkan deteksi dini potensi kerusakan atau kontaminasi, sehingga tindakan preventif bisa segera dilakukan.
Dengan demikian, Bulog tidak hanya mampu menjaga kualitas cadangan pangan, tetapi juga meningkatkan efisiensi operasional dan mengurangi biaya pengolahan. Keberhasilan Bulog dalam menghadapi tantangan penyerapan gabah any quality tidak hanya menentukan kualitas beras nasional, tetapi juga menjadi faktor strategis dalam menjaga ketahanan pangan negara.
Cadangan beras pemerintah yang disimpan Bulog berperan penting sebagai penyangga stabilitas pasar dan kebutuhan darurat, terutama saat menghadapi lonjakan permintaan atau kondisi krisis. Jika sistem penyimpanan dan pengolahan gabah dikelola dengan baik, maka kebijakan ini justru bisa menjadi peluang emas untuk memperkuat kedaulatan pangan Indonesia.
Optimisme tetap diperlukan dalam melihat kebijakan ini. Dengan pengalaman panjang Bulog sebagai operator pangan nasional, sinergi bersama petani, dukungan pemerintah, dan penerapan teknologi modern, tantangan menyerap gabah berbagai kualitas dapat diubah menjadi peluang untuk berbenah dan berinovasi.
Keberhasilan kebijakan ini akan menjadi bukti kemampuan bangsa mengelola pangan secara mandiri dan berkelanjutan. Menyerap gabah any quality memang ujian berat, tetapi juga kesempatan untuk membangun sistem pangan yang lebih tangguh dan inklusif, demi kesejahteraan petani dan ketahanan pangan masyarakat luas.