Mantan Komisioner KPK dan Ikadin dukung uji materi Pasal 2 dan 3 UU Tipikor

Elshinta.com – Mantan Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas menyatakan dukungan terhadap permohonan Judicial Review Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Mahkamah Konstitusi (MK). Erry menilai penerapan pasal tersebut kerap tidak fokus pada akar persoalan korupsi, yakni praktik suap.
“Amicus curiae ini mendukung permohonan Judicial Review yang meminta agar Mahkamah Konstitusi mencabut Pasal 2 dan Pasal 3. Kenapa? Karena kami merasakan bahwa Pasal 3 itu dalam pelaksanaannya menjadi kurang fokus terhadap suap,” kata Erry, saat konferensi pers Gerakan Pemberantasan Korupsi Berkeadilan oleh para tokoh anti–korupsi penanda tangan Amicus Curiae di Trinity Tower Jakarta Selatan, Rabu(27/8/2025).
Menurutnya, pasal tersebut sering kali hanya menitikberatkan pada kerugian keuangan negara. Padahal, untuk membuktikan tindak pidana korupsi seharusnya ada unsur niat jahat dan praktik penyuapan.
“Harusnya kan ada niat jahat, harus terbukti di pengadilan ada suap. Menguntungkan diri sendiri artinya kan, bahwa itu semuanya merugikan keuangan negara ya iya, tapi jangan hanya fokus pada kerugian keuangan negara saja,” ujarnya.
Erry menegaskan dukungan ini bukan upaya untuk membela koruptor. “Tidak ada sama sekali niat untuk membela koruptor, sama sekali tidak ya. Bahwa si pemohon ini membela koruptor terpidana iyalah Pak Nur Alam. Tapi kan yang bersangkutan sudah melaksanakan hukumannya, dan yang digugatkan bukan soal itunya,” jelasnya.
Ia menambahkan, jika pasal tersebut tidak dicabut, sebaiknya ada syarat tambahan agar lebih tepat dalam penerapan. “Memang ekstremnya dihapus. Tapi kalaupun tidak dihapus ada batasan-batasan, ada syarat-syarat. Misalnya harus terbukti di pengadilan adanya niat jahat atau penyuapan. Kalau itu sudah terbukti ya enggak ada masalah,” kata Erry.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Maqdir Ismail juga menilai Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor sering kali digunakan secara tidak proporsional.
“Kalau kami itu memang mencoba melihat bahwa penggunaan Pasal 2 Ayat 1 sama Pasal 3 ini dalam praktik, itu sudah tidak dalam hal tertentu tidak masuk di akal. Apalagi kita sebut bahwa dalam praktiknya kerugian keuangan negara itu kan selalu begitu besar disampaikan penyidik. Tetapi ketika diputusan pengadilan ternyata tidak seperti itu,” kata Maqdir.
Maqdir menegaskan pemberantasan korupsi sebaiknya lebih difokuskan pada tindak pidana suap. “Kita ingin agar supaya ada peralihan fokus dalam pemberantasan korupsi. Jangan fokusnya itu kerugian keuangan negara, tetapi mari kita fokus pada suap menyuap,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006, namun substansinya belum sepenuhnya diadopsi.
Lebih jauh, Maqdir menolak pandangan yang menyamakan tindak pidana korupsi dengan kejahatan kemanusiaan. “Yang terus terang kami khawatirkan sekarang ini adalah perkembangan mencoba mengembangkan pemikiran seolah-olah korupsi ini sebagai kejahatan kemanusiaan. Padahal Statuta Roma sudah menjelaskan batas dari kejahatan kemanusiaan. Belum pernah ada putusan pengadilan internasional yang menyebut bahwa korupsi itu kejahatan kemanusiaan,” tegasnya.
Ikadin meminta MK membatalkan Pasal 2 dan Pasal 3. Namun, jika tidak dikabulkan, mereka mendorong adanya batasan yang lebih jelas.
“Kalau MK setuju untuk dibatalkan, kami lebih suka itu dibatalkan. Tetapi kalau MK tidak mau membatalkannya, diberi syarat. Syaratnya itu adalah suap menyuap. Jadi kebijakan yang diambil karena suap, bukan karena kebijakan yang diambil dengan iktikad baik,” pungkas Maqdir.
Diketahui Sebanyak 24 tokoh antikorupsi menyampaikan pandangannya sebagai amicus curiae (sahabat pengadilan) terkait uji materi (judicial review) atas Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 31/1999 jo Undang-undang Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Permohonan uji materi diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Syahril Japarin (mantan Direktur Utama Perum Perindo), Kukuh Kertasafari (mantan pegawai Chevron Indonesia), Nur Alam (mantan Gubernur Sulawesi Tenggara), dan Hotashi Nababan (mantan Direktur Utama Merpati Airlines). (Awaluddin Marifatullah)