Menghitung UMP 2026: Keseimbangan daya beli dan daya saing
Kebijakan upah minimum di Indonesia memasuki babak baru melalui sebuah rumus tunggal yang sangat menentukan: kenaikan upah = inflasi + (pertumbuhan ekonomi x alfa).

Ilustrasi. Suasana aksi unjuk rasa terkait UMP 2026 di depan Balai Kota Jakarta, Senin (17/11/2025). (ANTARA/Lifia Mawaddah Putri.).
Ilustrasi. Suasana aksi unjuk rasa terkait UMP 2026 di depan Balai Kota Jakarta, Senin (17/11/2025). (ANTARA/Lifia Mawaddah Putri.).
Kebijakan upah minimum di Indonesia memasuki babak baru melalui sebuah rumus tunggal yang sangat menentukan: kenaikan upah = inflasi + (pertumbuhan ekonomi x alfa).
Formula ini bukan sekadar deretan angka matematis, melainkan sebuah pertaruhan besar untuk menjaga keseimbangan antara daya beli jutaan buruh dan daya saing industri nasional di tengah ketidakpastian global.
Dengan menempatkan variabel alfa (α) dalam rentang yang cukup lebar, yakni 0,5 hingga 0,9, pemerintah secara eksplisit menggeser paradigma pengupahan dari sekadar jaring pengaman sosial menjadi instrumen apresiasi produktivitas pekerja.
Di balik ambisi tersebut, tantangan besar muncul pada implementasinya di tingkat daerah yang harus diputuskan dalam waktu sangat singkat, sebelum tenggat 24 Desember 2025.
Urgensi penetapan ini terasa kian nyata seiring rilis data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) per November 2025 yang mencatat inflasi nasional sebesar 2,72 persen dan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2025 di angka 5,04 persen.
Angka-angka tersebut merupakan bahan baku utama yang harus diolah oleh setiap kantor gubernur dalam hitungan hari. Masalahnya, formula ini memberikan hasil yang sangat bervariasi bergantung pada bagaimana Dewan Pengupahan Daerah (Depeda) memaknai nilai alfa.
Jika alfa ditetapkan pada batas tertinggi, kenaikan upah akan menjadi berkah bagi kesejahteraan buruh, namun berpotensi menjadi "bom waktu" bagi sektor industri padat karya yang sedang berjuang melawan efisiensi biaya produksi.
Mari kita bedah dampak formula ini melalui simulasi nyata di dua wilayah barometer ekonomi nasional.
DKI Jakarta, yang memulai dengan basis UMP 2025 sebesar Rp5.396.761, akan melihat angka yang sangat progresif.
Jika gubernur menetapkan alfa moderat sebesar 0,5, kenaikan upah mencapai 5,24 persen atau setara Rp5.679.551. Namun, apabila tekanan dari serikat pekerja berhasil mendorong alfa ke angka maksimal 0,9, nominal UMP Jakarta 2026 akan melonjak ke angka Rp5.788.350.
Angka ini secara absolut sangat besar dan menjadi daya tarik sekaligus beban bagi struktur biaya perusahaan di ibu kota. Sebaliknya, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang memiliki basis upah Rp2.264.080, menunjukkan dinamika yang berbeda.
Meski secara nominal kenaikannya tidak sefantastis Jakarta, persentase perlindungan daya beli di DIY sangat krusial karena laju inflasi lokal sering kali lebih dinamis dibandingkan rata-rata nasional.
Fenomena ini membuktikan bahwa formula tersebut secara teknokratik berupaya menjahit retakan ekonomi antarwilayah. Namun, efektivitas instrumen ini sepenuhnya bergantung pada transparansi penentuan indeks Alfa yang hingga kini masih menjadi titik sengketa paling panas di ruang-ruang rapat Dewan Pengupahan.
Alfa kritis
Titik kritis dari kebijakan ini terletak pada subjektivitas penentuan nilai alfa yang merepresentasikan kontribusi pekerja terhadap pertumbuhan ekonomi.
Rentang 0,5 hingga 0,9 adalah ruang negosiasi yang sangat luas dan berisiko menjadi komoditas politik ketimbang acuan ilmiah.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) secara terbuka telah menyuarakan kekhawatiran bahwa alfa yang terlalu tinggi akan memicu deindustrialisasi dini, terutama di sektor garmen, tekstil, dan alas kaki.
Bagi industri-industri ini, biaya tenaga kerja bukan sekadar komponen tambahan, melainkan jantung dari biaya operasional.
Kenaikan upah yang dipaksakan tanpa melihat margin laba sektoral hanya akan menyisakan dua jalan keluar yang menyakitkan: pemutusan hubungan kerja (PHK) massal atau relokasi pabrik ke luar negeri.
Ketidakadilan sering kali muncul akibat generalisasi nilai Alfa di tingkat provinsi. Sebagai contoh, di Jawa Barat, industri otomotif yang padat modal dan memiliki nilai tambah tinggi tentu mampu menyerap kenaikan upah dengan alfa maksimal 0,9 sebagai insentif produktivitas.
Namun, memaksakan angka yang sama bagi pabrik tekstil di wilayah yang sama akan mempercepat kebangkrutan usaha.
Oleh karena itu, gagasan mengenai alfa sektoral atau alfa berbasis risiko industri menjadi sangat relevan untuk segera diadopsi.
Kebijakan upah harus mampu membedakan mana industri yang sedang terbang tinggi dan mana industri yang sedang berjuang untuk sekadar bertahan hidup di tengah gempuran produk impor.
Selain itu, transparansi metodologi penghitungan alfa merupakan syarat mutlak agar kebijakan ini tidak dianggap sebagai angka "murah" oleh buruh atau "pemerasan" oleh pengusaha.
Depeda wajib membuka data mengenai indeks efisiensi tenaga kerja dan rasio biaya upah terhadap total pendapatan di setiap sektor industri. Tanpa adanya keterbukaan data, penetapan UMP akan selalu terjebak dalam ritual tahunan yang penuh ketegangan tanpa dasar argumentasi yang kuat.
Gubernur harus berani mengambil peran sebagai pemimpin yang berbasis data, bukan sekadar mediator yang mencari jalan tengah aman demi menghindari konflik sosial sesaat.
Langkah strategis
Menghadapi tantangan tersebut, solusi yang paling konstruktif adalah dengan tidak lagi memandang kenaikan upah sebagai beban biaya semata, melainkan sebagai investasi dalam produktivitas manusia.
Pemerintah daerah harus segera mengintegrasikan kebijakan upah dengan program pelatihan keterampilan yang bersertifikat.
Sebagian dari kenaikan upah tersebut, atau melalui dukungan anggaran daerah, harus dialokasikan untuk meningkatkan kompetensi pekerja agar relevan dengan kebutuhan teknologi industri terkini.
Jika produktivitas per orang meningkat, maka kenaikan upah menjadi konsekuensi logis yang tidak lagi menakutkan bagi perusahaan karena output yang dihasilkan pun tumbuh secara proporsional.
Di sisi lain, pemerintah pusat perlu menyediakan instrumen pendukung berupa insentif pajak bagi perusahaan yang memilih jalur transformasi teknologi sebagai respons atas kenaikan upah.
Kebijakan seperti tax allowance atau pengurangan bea masuk mesin produksi otomatis dapat membantu industri padat karya beralih menjadi industri padat modal yang lebih efisien.
Dengan demikian, kenaikan upah 2026 tidak akan berujung pada pengusiran investasi, melainkan menjadi pemicu bagi dunia usaha untuk naik kelas.
Transformasi ini memang membutuhkan biaya besar di awal, namun merupakan jalur strategis untuk memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, keberhasilan formula inflasi + (pertumbuhan ekonomi x alfa) akan sangat bergantung pada kemauan kolektif untuk menjalin kemitraan industrial yang dewasa.
Upah minimum harus tetap menjadi jaring pengaman yang bermartabat bagi pekerja, sekaligus tetap menjaga napas dunia usaha agar lapangan kerja tidak hilang.
Jika dikelola dengan kebijakan alfa yang spesifik dan berbasis data produktivitas, maka UMP 2026 akan menjadi batu pijakan penting bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Masa depan ekonomi nasional ditentukan oleh seberapa mampu kita menyeimbangkan kebutuhan hidup layak dengan kenyataan daya saing global yang kian kompetitif.
*) Rioberto Sidauruk adalah pemerhati industri strategis dan saat ini bertugas sebagai tenaga ahli AKD DPR RI




