Top
Begin typing your search above and press return to search.

Menkeu klaim aman dengan utang Rp9.138 T, Peneliti FITRA : Belum mencerminkan kondisi riil

Menkeu klaim aman dengan utang Rp9.138 T, Peneliti FITRA : Belum mencerminkan kondisi riil
X

ilustrasi utang negara 

Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa yang menyebut posisi utang Pemerintah sebesar Rp9.138 triliun masih dalam kondisi aman, menuai tanggapan dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA).

Purbaya sebelumnya menjelaskan bahwa indikator keamanan utang tidak diukur dari besarnya angka nominal, melainkan dari rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang saat ini berada di bawah 39 persen, jauh di bawah ambang batas risiko internasional sebesar 60 persen.

Menanggapi hal itu, Peneliti FITRA Badiul Hadi menilai klaim aman tersebut belum sepenuhnya mencerminkan kondisi keuangan negara dan perekonomian nasional.

“Kata aman ini sering digunakan karena Pemerintah memakai patokan rasio utang terhadap PDB yang memang masih di bawah 60 persen. Tapi yang menentukan sehat tidaknya fiskal bukan hanya angka itu, melainkan bagaimana utang digunakan dan seberapa kuat kemampuan negara membayarnya,” ujar Badiul dalam wawancara di Elshinta News and Talk edisi siang, Senin (13/10/2025).

Badiul menjelaskan, dalam APBN 2025, Pemerintah mengalokasikan sekitar Rp775 triliun untuk pembayaran utang, atau sekitar 15 persen dari total APBN. Menurutnya, porsi sebesar itu menunjukkan ketergantungan tinggi terhadap utang dan mempersempit ruang fiskal negara.

“Ketika Pemerintah selalu mengandalkan utang untuk menutup defisit APBN, itu justru mempersempit ruang fiskal dan membuat pengelolaan anggaran tidak lagi fleksibel,” jelasnya kepada Anchor Telni Rusmitantri.

Ia menambahkan, semakin sempitnya ruang fiskal membuat Pemerintah sulit memprioritaskan belanja untuk program yang langsung berdampak pada masyarakat. Badiul juga menanggapi komitmen Pemerintah yang mengklaim akan memperkuat efisiensi belanja negara untuk menekan ketergantungan terhadap utang. Ia menilai langkah tersebut penting, namun pelaksanaannya masih jauh dari optimal.

“Efisiensi itu ideal, tapi sejauh mana komitmen itu dijalankan, perlu dikritisi. Pos belanja mandatori seperti gaji pegawai, pendidikan, dan kesehatan sulit diubah. Sehingga ruang efisiensi sebenarnya sempit,” katanya. “Tanpa efisiensi yang nyata, upaya mengurangi defisit dan kebutuhan utang baru akan sulit tercapai,” tambahnya.

Menanggapi optimisme Pemerintah yang menilai surplus neraca perdagangan dapat menjaga kemampuan membayar utang, Badiul berpendapat bahwa indikator tersebut tidak cukup kuat menjadi jaminan.

“Surplus perdagangan memang positif, tapi cadangan devisa justru menurun karena digunakan untuk membayar utang luar negeri dan menahan pelemahan rupiah,” ungkapnya. Ia juga menyoroti kondisi ekonomi masyarakat yang belum membaik, terlihat dari daya beli yang rendah, tren PHK, dan perlambatan ekonomi, yang menandakan beban fiskal masih berat.

Sebagai penutup, Badiul menegaskan bahwa secara administratif, posisi utang memang masih terkendali, tetapi belum bisa disebut aman secara substantif. “Bahwa terkendali mungkin iya, tapi kalau aman, menurut kami belum aman,” tegas Badiul.

Menurutnya, Pemerintah perlu memastikan setiap penarikan utang diarahkan ke sektor produktif agar memberikan nilai tambah bagi ekonomi dan masyarakat, bukan hanya sekadar menutup defisit anggaran.

Penulis: Dedy Ramadhany/Ter

Sumber : Radio Elshinta

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire