Top
Begin typing your search above and press return to search.

Menyalakan api ambisi pendidikan tinggi

Menyalakan api ambisi pendidikan tinggi
X

Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendikti Saintek) Brian Yuliarto (kiri) menyampaikan sambutan dan arahan didampingi Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Bambang Pramujati (kanan) saat Forum Wakil Rektor bidang kerja sama di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (25/9/2025). Forum wakil rektor yang dihadiri sebanyak 54 peserta dari 32 perguruan tinggi se-Indonesia tersebut sebagai upaya dalam membangun ekosistem kerja sama untuk kemandirian perguruan tinggi dan mengatasi berbagai persoalan bangsa. ANTARA FOTO/Moch Asim/rwa.

Narasi Menteri Pendidikan, Riset, dan Teknologi, Prof. Brian Yuliarto dalam kuliahnya di ITS, seakan menyalakan jalan baru pendidikan tinggi, dan menginspirasi dunia kampus.

“Di negara dengan ekonomi bagus, selalu ada industri kuat. Di belakang industri kuat, selalu ada kampus hebat," demikian pernyataan Prof. Brian.

Kalimat ini bukan sekadar pernyataan, melainkan cermin yang memaksa kita menatap wajah bangsa ini, dan bertanya: apakah kita cukup ambisius untuk menjadi hebat?

Mentalitas “Jam Lima Sore”.

“Bagaimana mau mengejar target itu, jika mentalitas kita masih sebatas mentalitas jam lima sore?” Ini bukan sekadar sindiran, melainkan diagnosis atas penyakit kronis yang menggerogoti dunia akademik dan intelektual kita.

Ia membandingkan dengan Korea Selatan, di mana mahasiswa masih bergelut di laboratorium hingga jam sembilan malam, berdebat dengan dosen demi temuan baru. Sementara itu, di sini, apa yang kita lakukan? Banyak dari kita, termasuk anak muda, terjebak dalam zona nyaman: scrolling media sosial, bermain game online, atau terpaku di depan televisi.

Ini bukan soal menyalahkan hiburan. Hiburan adalah hak setiap individu. Namun, ini soal urgensi. Soal kegilaan untuk maju.

Bangsa yang besar, harus ditopang oleh kaum elite yang ambisius dan “gila kerja”. Siapa elite itu? Mahasiswa, dosen, dan guru besar. Mereka adalah motor penggerak inovasi, pendorong roda industri, dan penentu arah masa depan.

Namun, realitanya? Dunia kampus kerap terjebak dalam paradigma lama. Dosen sibuk mengejar kutipan di jurnal Scopus, menumpuk penelitian yang berakhir sebagai dokumen berdebu di perpustakaan. Mahasiswa, sebagian besar masih melihat kuliah sebagai formalitas meraih gelar, bukan ladang mengasah ambisi dan kreativitas.

Ini adalah mentalitas “jam lima sore”: bekerja sekadarnya, pulang tepat waktu, menghindari tantangan besar.

Redefinisi dosen

Perlu definisi baru tentang dosen: bukan sekadar akademisi yang diukur dari jumlah publikasi, tetapi inovator yang mampu menghasilkan royalti dari penelitiannya. Ini adalah pergeseran paradigma yang radikal.

Penelitian harus “membumi”, relevan dengan kebutuhan industri, mampu menjawab permasalahan publik, dan menghasilkan dampak nyata ekonomi. Ketika riset laku, dosen dan kampus mendapat pemasukan, industri mendapat solusi, dan negara melaju menuju kemajuan. Ini adalah simbiosis mutualisme yang ideal.

Namun, mencapai titik ini tidaklah sederhana. Dosen tidak bisa bekerja sendirian. Di sinilah peran strategis Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Pusat Penelitian menjadi krusial. Kantor mereka seharusnya bukan di dalam kampus, melainkan di luar: di kawasan industri, di ruang rapat Kadin, di lobi kementerian.

Mereka adalah duta besar kampus, yang bertugas menjemput peluang, menciptakan kolaborasi, dan memasarkan produk riset ke dunia nyata.

Pernyataan ini mengingatkan pandangan Prof. Michael Porter, pakar strategi bisnis dari Harvard, yang menegaskan bahwa inovasi tidak terjadi dalam isolasi. Dalam bukunya Competitive Advantage of Nations (1990), Porter menyoroti pentingnya klaster inovasi—kolaborasi erat antara universitas, industri, dan pemerintah.

Korea Selatan misalnya, Universitas seperti KAIST dan Seoul National University bekerja sama dengan raksasa industri seperti Samsung dan Hyundai, menghasilkan ekosistem inovasi yang mendorong ekonomi nasional.

Di Indonesia, kolaborasi semacam ini masih sporadis, terhambat oleh birokrasi, kurang keberanian, dan terjebak mentalitas “jam lima sore.”


Tantangan sistemik dan solusi struktural

Untuk mewujudkan visi tersebut, kita perlu mengatasi sejumlah tantangan sistemik.

Pertama, sistem insentif di kampus harus dirombak. Saat ini, dosen dinilai berdasarkan jumlah publikasi atau indeks kutipan, bukan dampak nyata penelitiannya. Sistem ini mendorong “produksi jurnal” demi angka, bukan solusi.

Kita perlu mengadopsi model seperti di Jerman, di mana Fraunhofer Society mengelola jaringan penelitian terapan yang langsung terhubung dengan industri. Dosen di sana didorong untuk menghasilkan paten dan produk yang marketable, bukan hanya makalah.

Kedua, peran Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Pusat Penelitian harus didefinisikan ulang sebagai “panglima perang” di medan industri. Mereka harus dilatih untuk bernegosiasi, memahami kebutuhan pasar, dan membangun jaringan strategis. Ini bukan tugas mudah, mengingat budaya akademik kita cenderung introvert dan terpaku pada rutinitas kampus.

Ketiga, mahasiswa harus dididik untuk menjadi agen perubahan, bukan sekadar pengejar nilai. Kurikulum harus diarahkan pada pengembangan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kewirausahaan. Program magang di industri, proyek riset kolaboratif, dan inkubator startup di kampus bisa menjadi langkah awal.


Menuju “Jam Sembilan Malam”

Kemajuan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari kerja keras, ambisi, dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Mentalitas “jam lima sore” adalah jalan yang nyaman tapi buntu. Sebaliknya, jalan “jam sembilan malam” penuh tantangan, namun di ujungnya ada tujuan besar: bangsa yang inovatif, industri yang kuat, dan ekonomi yang tangguh.

Sebagai dosen, harusnya merenung: apa peran saya dalam ekosistem ini? Apakah saya cukup “gila” untuk mendorong mahasiswa keluar dari zona nyaman mereka? Apakah riset saya relevan dengan kebutuhan masyarakat? Dan sebagai bangsa, kita perlu bertanya: apakah kita siap mengorbankan kenyamanan demi ambisi?

Seperti kata Thomas Edison, “Genius is one percent inspiration and ninety-nine percent perspiration.” Kemajuan tidak datang dari mimpi, tetapi dari keringat dan kegigihan. Untuk mewujudkan visi besar, kita perlu langkah kolektif: dosen harus berinovasi, mahasiswa harus bermimpi besar, dan kampus harus menjadi jembatan menuju dunia nyata.

Pemerintah juga harus berperan dengan menciptakan kebijakan yang mendukung kolaborasi kampus-industri, seperti insentif pajak untuk perusahaan yang mendanai riset universitas.

Pandangan Prof. Brian bukan sekadar kritik, melainkan seruan untuk bergerak. Ia mengajak kita beralih dari mentalitas “jam lima sore” menuju semangat “jam sembilan malam”, semangat yang telah membawa Korea Selatan, dan banyak negara maju lainnya, ke puncak inovasi.

Pertanyaannya, maukah kita mengambil jalan terjal itu? Atau kita akan terus berjalan santai, puas dengan kenyamanan yang pada akhirnya hanya akan membawa kita pada stagnasi?

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire