Meredam derita petani singkong dan tebu Nusantara

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (tengah), Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal (tiga kanan) dalam jumpa pers seusai rapat koordinasi dengan Pemprov Lampung dan sejumlah asosiasi petani singkong dan tebu di Kantor Kementerian Pertanian Jakarta, Jumat (19/9/2025). ANTARA/Harianto
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (tengah), Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal (tiga kanan) dalam jumpa pers seusai rapat koordinasi dengan Pemprov Lampung dan sejumlah asosiasi petani singkong dan tebu di Kantor Kementerian Pertanian Jakarta, Jumat (19/9/2025). ANTARA/Harianto
Permasalahan singkong dan tetes tebu menjadi perhatian serius pemerintah karena menyangkut nasib jutaan petani kecil dan buruh tani di berbagai daerah sentra produksi. Di tengah keresahan tersebut, Presiden Prabowo Subianto turun tangan langsung dengan memberikan atensi khusus terhadap persoalan yang kian mendesak untuk segera dicarikan solusinya ini.
Sebagai kepala negara, Prabowo tidak hanya menerima laporan, melainkan menginisiasi pembahasan masalah singkong dan tapioka dalam forum terbatas yang dihadiri jajaran kementerian terkait. Rapat terbatas yang digelar pada pertengahan September itu digelar di Hambalang, menjadi wadah koordinasi guna merumuskan langkah cepat serta kebijakan tepat agar petani tidak semakin dirugikan.
Atensi presiden ini memberi harapan baru bagi petani singkong dan tebu bahwa suara mereka benar-benar didengar dan dicarikan jalan keluar demi keberlanjutan usaha tani di tanah air.
Keresahan petani singkong
Lampung sebagai sentra produksi singkong menyumbang 70 persen produksi nasional, tetapi para petani di sini kerap dihantui keresahan harga jual hasil panen jatuh. Setiap panen, mereka hanya bisa pasrah ketika harga singkong ditetapkan rendah, bahkan dipotong hingga sepertiga dari nilai sebenarnya. Rugi bukan lagi cerita satu-dua orang, melainkan jeritan bersama.
Ketua Perkumpulan Petani Ubi Kayu Indonesia (PPUKI), Dasrul Aswin, menggambarkan kondisi pelik yang dialami petani singkong selama dua tahun terakhir akibat anjloknya harga dan potongan rafaksi mencekik.
Sejak pertengahan 2024 harga singkong hanya berkisar Rp1.320 hingga Rp1.340 per kilogram, tetapi dipotong rafaksi mencapai 30 hingga 60 persen, jauh dari kondisi wajar. Hasil akhirnya, singkong dihargai hanya sekitar Rp675 per kilogram.
Padahal biaya produksi yang dikeluarkan petani rata-rata Rp740 per kilogram, mulai dari pengolahan hingga panen. Kondisi ini membuat keuntungan nyaris hilang, bahkan kerugian menimpa banyak petani singkong. Kesulitan makin bertambah karena timbangan pabrik disebut tidak transparan. Dalam sekali muatan truk, petani bisa kehilangan berat hingga enam kuintal, sedangkan fuso berkapasitas 25 ton dapat hilang dua ton.
Keadaan terpuruk itu sempat mendorong aksi-aksi petani. Dari demonstrasi berulang hingga pertemuan dengan pemerintah. Mereka menuntut harga layak Rp1.350 per kilogram dengan rafaksi maksimal 15 persen.
Harapan petani kembali muncul setelah pemerintah menetapkan harga singkong minimal Rp1.350 per kilogram. Namun petani menilai implementasi di lapangan sering tidak konsisten, membuat mereka kecewa sehingga meminta adanya penindakan bagi industri yang membeli di bawah itu.
Kondisi ini berdampak luas. Obat-obatan pertanian menumpuk tak terbeli, tenaga kerja harian kehilangan pekerjaan, dan lahan singkong mulai terbengkalai karena pemilik enggan menambah biaya perawatan. PPUKI mencatat petani singkong khusus di wilayah Lampung mencapai 1,3 jiwa di luar buruh tani. Dengan luas lahan perkebunan ubi kayu di wilayah itu mencapai sekitar 500 ribu hektare.
Jika kondisi itu dibiarkan, ditakutkan petani beralih tanam. Padahal, singkong berperan penting dalam rantai ekonomi, termasuk sebagai bahan baku pakan ternak sapi dan industri.
"Otomatis dong namanya petani sama dengan orang usaha. Kalau dia rugi terus, ya ngapain bertahan di tanaman itu? Makanya kami beri judul itu 'Selamatkan Petani Singkong Indonesia'" ucap Dasrul.
PPUKI pun mendesak pemerintah menjadikan singkong sejajar dengan padi dan jagung sebagai komoditas strategis nasional. Dengan regulasi jelas berupa Instruksi Presiden (Inpres) sehingga harga dan serapan hasil panen bisa lebih terjamin.
Selain itu, mereka menuntut penghentian impor singkong yang merugikan petani lokal, serta menolak praktik kecurangan pabrik dalam timbangan maupun pungutan tidak wajar yang membebani petani. Di tengah kondisi itu, petani singkong menyampaikan apresiasi kepada Presiden Prabowo Subianto melalui Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman yang dinilai serius melindungi keberlangsungan hidup petani di dalam negeri.
Keputusan pemerintah membatasi impor, memberi sinyal kuat negara benar-benar hadir melindungi petani sekaligus mendorong industri lebih fokus menyerap produksi dalam negeri secara berkelanjutan.
Dukungan penuh pemerintah terhadap komoditas singkong diyakini menjaga kestabilan harga, meningkatkan kesejahteraan petani, serta memacu semangat mereka dalam meningkatkan produksi untuk Indonesia yang lebih sejahtera.
Tetes tebu anjlok
Tak hanya petani singkong, di tengah geliat musim giling, banyak pabrik gula di Indonesia justru dipenuhi aroma kekhawatiran. Tangki-tangki penyimpanan yang biasanya menjadi penopang produksi kini sesak oleh tumpukan tetes tebu yang tak terserap pasar.
Selama bertahun-tahun, harga tetes tebu relatif stabil dan menjadi tumpuan tambahan penghasilan petani. Namun, sejak awal 2025, kondisi berubah drastis setelah pasar domestik dibanjiri etanol dan molase murah asal Thailand.
Harga tetes tebu atau molasses, salah satu produk turunan utama dari industri gula, terjun bebas hingga menyentuh Rp900 per kilogram. Padahal, selama lima tahun terakhir, harga tetes stabil di kisaran Rp2.100 per kilogram tanpa pernah mengalami penurunan berarti.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Fatchuddin Rosyidi, menilai kebijakan impor yang dibuka lewat Permendag Nomor 16 Tahun 2025 membuat produk lokal kehilangan daya saing hingga harga anjlok ke titik terendah.
Akibatnya, sekitar 60 persen dari total produksi nasional yang mencapai 1,6 juta ton tidak lagi terserap, hanya tersimpan di tangki pabrik dengan risiko menghentikan jalannya penggilingan jika kapasitas penuh. Bagi petani, situasi ini menjadi pukulan berlapis.
Ongkos perawatan tanaman tetap tinggi, sementara hasil yang seharusnya menambah pendapatan justru tidak bernilai, bahkan menyulitkan keberlanjutan hidup keluarga tani. Industri pun terkena imbas. Jika pabrik terpaksa berhenti beroperasi karena penumpukan, ribuan tenaga kerja yang menggantungkan hidup dari kegiatan giling gula terancam kehilangan mata pencaharian.
Keresahan itu terus membayang, sebab tetes tebu bukan sekadar produk sampingan, melainkan bagian penting dari rantai produksi yang menopang keberlanjutan sektor gula nasional.
Kini, dengan adanya kebijakan pembatasan impor etanol, harapan itu menyeruak. APTRI menilai kebijakan itu sebagai bentuk perhatian dan keberpihakan pemerintah dalam memberikan semangat baru bagi petani tebu di seluruh Indonesia.
Negara hadir
Atas arahan Presiden Prabowo Subianto, pemerintah resmi menerbitkan dua Permendag yang memperketat impor ubi kayu, tapioka, dan etanol demi melindungi petani dalam negeri. Kebijakan ini hadir sebagai jawaban nyata atas krisis harga singkong yang sempat menjerat petani, memastikan penyerapan hasil panen lokal, serta menjaga stabilitas harga nasional.
Krisis harga singkong mulai mencuat sejak Januari 2025, dipicu banjir impor tapioka yang membuat hasil panen petani tidak terserap industri dan anjlok di pasaran. Pada 23 Januari, ribuan petani singkong dari tujuh kabupaten Lampung menggelar aksi protes menuntut harga sesuai Surat Keputusan Bersama sebesar Rp1.400 per kilogram.
Saat itu, harga jual singkong merosot tajam hanya Rp600 hingga Rp700 per kilogram, jauh di bawah biaya produksi Rp740 per kilogram yang ditanggung petani. Melihat situasi genting, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bertindak cepat, menegaskan sikap tegas terhadap importir yang mengutamakan produk impor dan merugikan petani dalam negeri.
Kajian Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memperkuat fakta bahwa impor tapioka menjadi penyebab utama jatuhnya harga, sehingga pemerintah segera merancang pertemuan khusus antara petani, industri, dan regulator.
Pertemuan 31 Januari di Jakarta jadi awal koordinasi nasional, tapi hingga Mei 2025 harga singkong tetap tertekan di Lampung yang menopang 70 persen produksi nasional dan jutaan keluarga petani. Impor yang berlebihan membuat industri lebih memilih bahan murah dari luar negeri, sementara potongan harga hingga 60 persen semakin menjerat petani dalam kerugian besar.
Pada 9 September, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal bersama bupati dan legislator berkoordinasi dengan Mentan Amran agar segera bertindak menyelamatkan petani dari kemiskinan. Amran menanggapi dengan rencana menerbitkan surat resmi harga minimum nasional, sambil mendorong peningkatan produktivitas hingga 70 ton per hektar dan pembangunan pabrik.
Puncak perjuangan terjadi pada 19 September 2025, ketika Amran mengumumkan Larangan Terbatas impor tapioka dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Pertanian. Pengumuman itu dilakukan seusai rapat koordinasi dengan Pemprov Lampung dan sejumlah asosiasi petani singkong dan tebu.
Tak sampai 24 jam, Menteri Perdagangan Budi Santoso menandatangani dua Permendag baru yang memperketat impor ubi kayu, tapioka, dan etanol demi melindungi petani dan industri.
Kedua Permendag tersebut adalah Permendag 31 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Barang Pertanian dan Peternakan. Permendag ini mengatur impor ubi kayu dan produk turunannya.
Selanjutnya, Permendag 32 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2025 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor Bahan Kimia, Bahan Berbahaya dan Bahan Tambang. Permendag ini mengatur impor etanol.
Kedua Permendag ini akan berlaku dalam kurun waktu 14 hari sejak tanggal diundangkan.
Menteri Perdagangan Budi Santoso menyatakan penerbitan dua Permendag itu sebagai tindak lanjut arahan Presiden Prabowo untuk membatasi impor ubi kayu, melindungi petani, menjaga pasokan strategis, dan menjamin ketersediaan bahan baku industri.
Pemerintah memperkuat perlindungan petani singkong dan tebu dengan memastikan hasil panen terserap industri, menjaga kestabilan harga, serta membuka peluang lebih besar bagi peningkatan kesejahteraan jutaan keluarga petani di daerah sentra.
Upaya ini juga sejalan dengan visi swasembada pangan, energi, dan gula nasional, sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi hijau melalui tata kelola pasokan bahan baku strategis yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.
Kebijakan pembatasan impor singkong dan etanol menjadi langkah nyata pemerintah meredam derita petani Nusantara sekaligus memperkuat ketahanan pangan serta energi berkelanjutan demi masa depan Indonesia.