Top
Begin typing your search above and press return to search.

Mitigasi ancaman krisis di hulu saat hilirisasi nikel

Mitigasi ancaman krisis di hulu saat hilirisasi nikel
X

Pentingnya memitigasi ancaman krisis bijih nikel dalam proses hilirisasi nikel. (ANTARA/HO-FINI)

Di tengah optimisme besar Indonesia untuk menjadi pusat industri nikel dan baterai listrik dunia, muncul sebuah ironi yang memaksa bangsa ini bercermin lebih dalam. Negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia ini justru harus mengimpor bijih nikel dari negara dengan cadangan jauh lebih kecil.

Fenomena ini tidak sekadar paradoks, tetapi alarm penting bahwa percepatan pembangunan hilirisasi harus berjalan seiring dengan penguatan kapasitas pasokan di hulu. Sebab tanpa itu, rantai industri nikel nasional tidak akan mampu bertahan secara berkelanjutan.

Ketua Umum Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) Arif Perdana Kusumah menyampaikan pembangunan hilirisasi yang selama ini dibanggakan Indonesia sebagai loncatan strategis sejatinya adalah ekosistem yang sangat kompleks.

Tidak satu pun elemen dalam rantai industri nikel dapat berdiri sendiri. Tambang sebagai pemasok bahan baku, smelter sebagai pengolah, pasar sebagai penyerap produk, dan kebijakan pemerintah sebagai pengarah harus berjalan harmonis.

Ketika satu elemen melemah, seluruh struktur industri terguncang, dan titik paling rapuh saat ini adalah pasokan bijih nikel di hulu. Arif menyoroti perubahan masa berlaku Rancangan Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari tiga tahunan menjadi satu tahunan sebagai tantangan besar yang tidak boleh diremehkan.

Dengan pertumbuhan ratusan smelter yang semakin masif, kebutuhan kuota tambang meningkat signifikan. Namun perencanaan tambang justru dipersingkat. Konsekuensinya adalah meningkatnya risiko ketidakseimbangan antara kapasitas produksi tambang dan kebutuhan industri.

Di sinilah ironi mulai terlihat jelas. Secara teori, Indonesia seharusnya menjadi negara paling aman dari sisi ketersediaan bijih nikel karena memiliki 55 juta ton cadangan logam nikel atau 45 persen cadangan dunia. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa ekspansi smelter yang begitu cepat membuat kapasitas produksi tambang tertinggal jauh.

Impor bijih nikel

Smelter yang menggunakan teknologi pirometalurgi maupun hidrometalurgi membutuhkan pasokan kontinu, stabil, dan terukur. Saat produksi tambang tidak mampu mengikuti laju pembangunan smelter, tekanan terhadap bahan baku pun tidak terhindarkan.

Inilah yang kemudian memunculkan ironi lain dimana Indonesia mengimpor bijih nikel dari Filipina. Pada 2024 volume impor mencapai sekitar 10,4 juta ton, dan pada 2025 diperkirakan meningkat menjadi sekitar 15 juta ton atau senilai 600 juta dolar AS.

Padahal cadangan Filipina hanya sekitar 4,8 juta ton logam nikel atau empat persen dari cadangan global, sangat jauh di bawah Indonesia. Arif menjelaskan impor tersebut terjadi bukan semata-mata karena kekurangan pasokan domestik, tetapi juga kebutuhan blending untuk menyesuaikan rasio Si dan Mg dalam proses produksi smelter.

Meski demikian, tetap menjadi ironi besar ketika negara yang digadang sebagai superpower nikel dunia bergantung pada negara dengan cadangan jauh lebih kecil.

Sementara itu kapasitas smelter Indonesia tumbuh luar biasa cepat. Pada 2017 produksi smelter hanya sekitar 250 ribu ton nikel kelas dua, namun pada 2024 melonjak menjadi sekitar 1,8 juta ton nikel kelas dua dan 395 ribu ton nikel kelas satu.

Dalam kurang dari satu dekade Indonesia menjelma menjadi pemain kunci dalam industri baja tahan karat dan material baterai dunia dengan pangsa pasar lebih dari 60 persen kebutuhan global. Namun pertumbuhan cepat tanpa penguatan hulu menciptakan ancaman serius. Smelter besar dan investasi besar tidak akan bernilai apa-apa jika bahan baku menjadi kendala utama.

Apabila pasokan bijih nikel terus ketat, dampaknya akan merembet luas. Ketidakpastian investasi muncul, biaya produksi meningkat, risiko penghentian operasi smelter menjadi nyata, dan investasi lanjutan, seperti industri baterai dan kendaraan listrik, bisa mandek.

Semua ini dapat menghambat transformasi strategis yang sedang Indonesia bangun. Arif menekankan momentum emas Indonesia dapat hilang jika krisis pasokan ini tidak ditangani secara serius dan terukur.

Fondasi kuat

Meski demikian, kita tetap optimistis. Indonesia berada di jalur hilirisasi yang benar, dan upaya besar ini membutuhkan fondasi yang kuat agar tidak goyah.

Langkah-langkah strategis perlu diambil untuk memperkuat hulu, karena hilirisasi yang berkelanjutan hanya dapat berjalan apabila kapasitas tambang mampu memenuhi kebutuhan industri.

Arif mendorong pemerintah mengambil peran kepemimpinan yang lebih tegas dalam tiga hal. Pertama, memperkuat eksplorasi untuk memastikan cadangan yang sudah ada dapat terus dioptimalkan dan diperbarui. Cadangan yang tidak dieksplorasi tidak akan pernah berubah menjadi produksi.

Kedua, meningkatkan kapasitas dan kepatuhan teknis penambangan agar setiap tambang dapat beroperasi secara efisien, aman, dan menghasilkan luaran sesuai standar industri. Ketiga, memberikan prioritas RKAB bagi tambang yang terintegrasi dengan smelter sesuai kebutuhan pasokan. Penyesuaian kuota harus berbasis data dan kemampuan produksi nyata, bukan hanya proyeksi.

Dalam pandangan Arif, hilirisasi adalah peluang sejarah yang jarang terjadi. Indonesia memiliki karunia sumber daya yang mampu membawa bangsa ini menjadi pemain strategis dunia. Hanya saja, peluang besar selalu datang bersama risiko besar. Apabila hulu tidak diperkuat, ironi impor bijih nikel akan terus menghantui ambisi besar Indonesia.

Hilirisasi seharusnya menjadi cara Indonesia membangun kedaulatan industri, bukan justru menciptakan ketergantungan baru. Karena itu penguatan hulu adalah kunci utama memastikan seluruh rantai nilai berjalan seimbang dan berkelanjutan.

Peluang untuk menjadi pusat industri nikel dan baterai dunia hanya dapat dimenangkan apabila bahan baku industrinya tidak langka di negeri yang kaya nikel.

Perlu diingat bahwa hilirisasi adalah momentum yang barangkali tak akan berulang dalam sejarah. Peluang itu hanya bisa dimenangkan jika bahan baku industrinya tidak langka di negeri yang kaya nikel ini. Maka inilah pentingnya membangun fondasi yang kuat di hulu sebelum hilirisasi dimulai.

Sumber : Antara

Related Stories
Next Story
All Rights Reserved. Copyright @2019
Powered By Hocalwire