Pahlawan Hari Ini (Bag 1)

Mayjen TNI Mohamad Hasan, Dan Kodiklat
Mayjen TNI Mohamad Hasan, Dan Kodiklat
TUJUH puluh sembilan tahun setelah 10 November 1945, gema “Ini dadaku, mana dadamu” masih terasa, tetapi medan juangnya berubah. Bila para pendahulu mengangkat bambu runcing dan keyakinan, generasi hari ini berhadapan dengan badai disrupsi yang tak berbentuk: informasi tanpa saringan, budaya yang diproduksi algoritma, ekonomi yang berputar sedemikian cepat hingga nilai-nilai mudah tercecer di tikungan.
Karena itu, makna kepahlawanan mesti direaktualisasi, bukan untuk mengaburkan sejarah, melainkan untuk menyambung nyala yang sama ke sumbu zaman yang berbeda. Kepahlawanan di masa kini bukan sekadar kisah heroik yang dibingkai hitam-putih, juga bukan cuma tentang cerita pekik yang membakar nyali.
Ia adalah sikap batin yang membumi, tegak pada kejujuran ketika kemudahan menipu begitu menggoda. Setia pada tanggung jawab di tengah budaya instan dan bangga pada jati diri Indonesia ketika standar kemajuan sering disamakan dengan imitasi. Pahlawan bukan monopoli para figur besar namun ia hadir dalam skala mikro yang berulang, cara kita berpikir, menulis, menilai, bekerja, dan berbicara, terutama ketika tak ada yang menonton.
Makna ini penting ditegaskan karena generasi muda tumbuh dalam ekosistem perbandingan: semua orang tampak berhasil, semua hal tampak mendesak. Dalam lanskap demikian, pahlawan masa kini adalah mereka yang berani pelan di tengah kegaduhan cepat, yang memilih jernih ketimbang viral, yang mau belajar ulang ketika kebenaran menuntut revisi. Keberanian untuk bersetia pada proses belajar, berkarya, mengabdi adalah bentuk baru dari “bertahan di garis depan”.
Kepahlawanan hari ini juga berwajah kolektif. Ia menolak narasi “aku sendirian menaklukkan dunia” dan kembali mengakui kenyataan sederhana: kemajuan pribadi tidak berarti banyak bila menyisakan jurang di sekelilingnya. Itulah sebabnya, semangat pahlawan modern selalu bertanya, “Siapa yang ikut terangkat oleh langkahku?” di tempat kerja, ruang belajar, atau kampung halaman.
Dalam arti ini, cinta tanah air bukan mendaku superioritas, melainkan mengusahakan kebermanfaatan yang terasa oleh sesama. Reaktualisasi juga menuntut bahasa baru. Generasi digital lebih persuasif bila nilai-nilai disampaikan melalui karya, contoh, dan ekosistem. Kata “Cinta Tanah Air” menemukan tubuhnya dalam musik yang merayakan keragaman, gim edukatif yang menumbuhkan literasi, atau kanal-kanal konten yang mengangkat sains dan kebudayaan Nusantara.
“Wawasan Kebangsaan” hidup sebagai kebiasaan kolaborasi lintas identitas, bekerja bersama tanpa curiga, berbeda pendapat tanpa memutus persaudaraan dan tak mengutamakan validasi ketimbang toleransi. “Pancasila” hadir sebagai kompas keseharian: bernalar lurus, berempati, bersatu, bermusyawarah, dan adil.
Dengan kacamata inilah kita membaca heroism 10 November: bukan sebagai nostalgia yang diulang-ulang, melainkan ajakan untuk menjadi relevan. Para pejuang dulu memaknai “Merdeka” sebagai hak untuk menentukan masa depan. Kita memaknainya sebagai kewajiban untuk memikul masa depan agar Indonesia tak sekadar besar di peta, tapi juga adil, unggul, dan beradab dalam kenyataan.
Jiwa Kepahlawanan : Antibodi Bangsa di Era Disrupsi
Disrupsi memadat di tiga ruang sekaligus, digital, sosial-ekonomi, dan ekologi menciptakan ketidakpastian yang mudah menjalar. Di sinilah jiwa kepahlawanan bekerja seperti antibodi: tidak selalu tampak, tetapi menentukan daya tahan bangsa. Di ruang digital, pahlawan adalah kurator kebenaran. Ia mempraktikkan hygiene informasi: memeriksa sumber, mengenali bias, menunda berbagi sebelum paham. Ia menolak menjadi corong kebencian dan tidak memonetisasi kebohongan.
Bila harus berbeda, ia tetap santun sebab martabat diskursus menentukan martabat demokrasi. Pahlawan digital juga membangun ekosistem konten yang mencerahkan: sains populer dalam bahasa lokal, ekonomi rumah tangga yang rasional, kebudayaan daerah yang dipentaskan ulang dengan format kekinian.
Ia membuktikan bahwa algoritma bisa diarahkan dengan konsistensi dan kualitas untuk memperluas cakrawala, bukan mempersempitnya. Di ruang sosial-ekonomi, pahlawan adalah penggerak yang mengikat nilai dengan nilai tambah. Ia mengkawinkan etos kerja dengan empati, inovasi dengan inklusi.
Para pelaku UMKM yang menjaga mutu dan kejujuran di tengah gempuran pasar, para pekerja muda yang menolak budaya shortcut dan memilih kompetensi sebagai jalan, para profesional yang transparan terhadap pajak dan tanggung jawab sosial, semua adalah pahlawan di lini produksi martabat nasional. Mereka menyadari: daya saing Indonesia tumbuh dari kepercayaan diri kolektif, percaya pada produk dalam negeri karena mutu, pada pekerja karena etos, pada institusi karena integritas.




