Pasar jam tangan mewah tumbuh di tengah ketidakpastian ekonomi global

Para kolektor jam tangan mewah antusias menghadiri acara pembukaan butik jam tangan mewah di Prosperity Tower, SCBD, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. ANTARA/HO-Watches Trader.
Para kolektor jam tangan mewah antusias menghadiri acara pembukaan butik jam tangan mewah di Prosperity Tower, SCBD, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. ANTARA/HO-Watches Trader.
Sepertinya ada fenomena, ketika masyarakat selalu ingin presisi meski di tengah krisis, ternyata mereka juga merindukan punya simbol stabilitas dan menikmati sensasi melihat waktu bergeser dalam versi terindahnya.
Maka kemudian, industri jam tangan alias horologi di level kolektor, khususnya di Jakarta, pun tak disangka-sangka menemukan momentumnya saat ini; Pasar kolektor jam tangan tumbuh, anehnya di saat banyak sektor lain justru berhitung hati-hati menghadapi tekanan ekonomi global.
Laporan Morgan Stanley & Deloitte Watch Industry Report 2024 menunjukkan industri jam tangan mewah global (Swiss watch exports) tetap tumbuh sekitar 8 persen meski ekonomi dunia melambat akibat inflasi dan ketidakpastian geopolitik.
Nilai ekspor jam tangan Swiss bahkan mencapai rekor CHF 27 miliar atau naik dari 24,8 miliar pada 2022. Dalam konteks Indonesia, negeri ini memang tidak memproduksi jam tangan mewah dalam skala besar, tetapi pasarnya berkembang pesat, terutama di Jakarta, Surabaya, dan Bali.
Laporan Euromonitor 2024 memperkirakan pasar ritel jam tangan premium di Indonesia meningkat sekitar 6–7 persen per tahun, didorong konsumsi kelas menengah atas. Fenomena ini menarik. Di tengah ketidakpastian ekonomi, ketika banyak orang menunda belanja besar, segmen jam tangan mewah justru menunjukkan daya tahannya.
Data BPS pada 2023 dan BCG Southeast Asia Consumer Sentiment 2023 memang menunjukkan daya beli kelas menengah atas tetap kuat meski inflasi tinggi. Mereka menggeser pola konsumsi ke arah high-value spending atau membeli lebih sedikit tetapi dengan nilai jangka panjang.
Maka dapat disaksikan betapa di butik-butik eksklusif kawasan SCBD atau Senopati, orang-orang tetap datang melihat karya mekanik jam dari Swiss, Jepang, hingga Jerman. Mereka bukan sekadar untuk membeli, melainkan untuk memahami, menyentuh, dan merasakan waktu dalam bentuk paling indahnya.
Simbol Stabilitas
Perilaku ini mencerminkan perubahan pola konsumsi kelas menengah atas Indonesia. Mereka tak lagi membeli karena ingin memiliki, tetapi karena ingin menghargai sesuatu yang punya nilai, kisah, dan presisi. Jam tangan sepertinya menjadi simbol stabilitas, bahkan ketika dunia sedang goyah. Seperti karya seni, ia tak lekang oleh fluktuasi pasar.
Sebuah jam tangan edisi langka dari Patek Philippe atau Rolex bukan hanya benda, melainkan penyimpan nilai baik nilai sejarah, emosional, maupun finansial. Fenomena inilah yang membuat sejumlah pemain industri menangkap momentum. Beberapa di antaranya bahkan berekspansi dan memperbesar investasi.
Watches Trader, misalnya, yang baru saja membuka butik mewah di Prosperity Tower, SCBD, Jakarta Selatan, setelah tujuh tahun beroperasi di Surabaya. Langkah ini dianggap sebagai respons terhadap meningkatnya permintaan dari ibu kota. General Manager Watches Trader Indonesia, Sugeng Soeparta, menyebut hampir 60 persen pelanggan mereka kini berasal dari Jakarta.
Ia menganggap pasar di ibu kota lebih dinamis dan beragam. Banyak kolektor yang bukan sekadar membeli, tapi benar-benar memahami nilai craftsmanship dari sebuah jam tangan. Dalam acara pembukaan butiknya pada akhir Oktober lalu, Watches Trader memamerkan sejumlah karya dari merek prestisius seperti Rolex, Patek Philippe, Audemars Piguet, Vacheron Constantin, hingga F.P. Journe.
Beberapa di antaranya hanya diproduksi dalam jumlah amat terbatas bahkan kurang dari lima unit di dunia. Di mata para kolektor, kelangkaan adalah keindahan baru. Nilai sebuah jam bukan hanya ditentukan oleh emas atau safir di dalamnya, melainkan oleh cerita dan waktu yang terkandung di baliknya.
Konteks Ekonomi
Namun yang paling menarik dari fenomena ini bukan soal merek atau kemewahan, melainkan konteks ekonomi di baliknya. Industri jam tangan berkembang justru ketika ekonomi global masih bergulat dengan perlambatan, inflasi, dan tekanan biaya hidup.
Di tengah situasi itu, muncul kelas konsumen baru, mereka yang mencari kepastian di tengah ketidakpastian. Bagi kelompok ini, jam tangan mewah menawarkan dua hal yang langka yakni kestabilan nilai dan kepuasan batin. Banyak dari mereka menganggap jam tangan sebagai aset alternatif, sebuah bentuk investasi yang aman.
Nilai beberapa model bahkan meningkat drastis di pasar sekunder. Kolektor memandangnya sebagai versi modern dari emas atau karya seni, aset yang bisa disentuh, ditatap, dan dinikmati. Di sisi lain, ada dimensi emosional yang tidak kalah penting. Memiliki jam tangan mekanik dianggap sebagai pernyataan diri bahwa waktu bukan sekadar angka di layar, melainkan sesuatu yang bisa dirasakan lewat detak halus di pergelangan tangan.
Sugeng Soeparta melihat tren ini sebagai tanda kedewasaan pasar. Menurutnya, banyak pelanggan kini lebih cermat, tidak lagi terjebak pada gengsi merek, tetapi mencari jam dengan cerita unik dan nilai historis.
“Kolektor sekarang lebih sadar akan keaslian dan nilai jangka panjang. Mereka ingin punya jam yang punya makna,” katanya.
Pasar jam tangan di Indonesia kini juga ditopang oleh berkembangnya pasar sekunder. Mekanisme trade-in, buy-back, dan consignment menciptakan sirkulasi ekonomi baru. Banyak kolektor yang menjual atau menukar koleksinya untuk mendapatkan seri lain yang lebih langka.
Aktivitas ini menciptakan dinamika perdagangan yang sehat dan profesional, dengan sistem autentikasi dan sertifikasi yang makin ketat. Kepercayaan menjadi mata uang baru di ekosistem horologi Indonesia. Dari perspektif ekonomi, geliat ini menunjukkan betapa kuatnya segmen berbasis emotional investing. Ketika investasi finansial sulit ditebak, aset dengan nilai emosional justru menjadi pelarian rasional.
Di sinilah jam tangan menemukan momentumnya dan memberi rasa kontrol di saat dunia terasa tak pasti. Nilai yang ditawarkan bukan semata keuntungan, melainkan rasa kepemilikan atas sesuatu yang abadi.
Peluang Baru
Lebih jauh, industri horologi juga membuka peluang baru di sektor ekonomi kreatif. Perawatan, restorasi, desain, hingga sertifikasi kini menjadi bidang yang potensial. Di masa depan, desainer Indonesia bisa memadukan budaya lokal dengan presisi modern. Imajinasi tentang jam tangan dengan filosofi batik atau corak Nusantara bukan hal mustahil.
Industri ini memiliki peluang besar untuk menggabungkan seni, teknologi, dan identitas bangsa dalam satu karya presisi. Di sisi lain, komunitas pecinta jam tangan juga tumbuh pesat. Pertemuan mereka di Jakarta, Surabaya, atau Bali bukan sekadar pamer koleksi, melainkan ruang belajar.
Mereka berdiskusi tentang mekanisme tourbillon, sejarah movement, hingga filosofi desain. Dari situ lahir ekosistem yang tidak hanya bernilai ekonomi, tapi juga budaya. Makin banyak orang yang menghargai waktu bukan sebagai sumber tekanan, tetapi sebagai bagian dari perjalanan hidup yang pantas dirayakan.
Industri horologi Indonesia kini berdiri di persimpangan menarik. Dan tumbuh di tengah tekanan, berkembang di masa tak menentu, dan membuktikan bahwa apresiasi terhadap presisi dan keindahan bisa menjadi kekuatan ekonomi baru.
Pasar ini tidak besar dalam ukuran volume, tapi bernilai tinggi dalam kedalaman. Namun mengajarkan bahwa di balik setiap detak waktu, ada cerita tentang ketekunan, keyakinan, dan ketahanan manusia menghadapi perubahan.
Barangkali di situlah letak pesona sejati jam tangan, di tengah dunia yang serba cepat dan tak pasti, mengingatkan bahwa keindahan tidak lahir dari kecepatan, melainkan dari ketepatan. Dalam setiap putaran jarum, ada pesan yang tak lekang oleh waktu bahwa, bahkan di masa ekonomi sulit, presisi dan kesabaran selalu menemukan jalannya.




