Pemerintah Pusat tak tanggung gaji ASN daerah, Pemda harus efisien dan terapkan KPI kinerja

Ilustrasi ASN di Pemda
Ilustrasi ASN di Pemda
Pemerintah Pusat memastikan tidak akan menanggung pembayaran gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) di daerah. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, kebijakan tersebut diambil karena keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sementara Pemerintah tengah fokus menjaga defisit tetap di bawah 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Purbaya menyebut, usulan agar gaji ASN daerah dibebankan ke pusat memang wajar, namun secara fiskal tidak memungkinkan dilakukan saat ini. Pemerintah, kata dia, sedang berupaya menyeimbangkan belanja negara agar pertumbuhan ekonomi nasional tetap terjaga.
Pernyataan itu disampaikan setelah pertemuan Menteri Keuangan dengan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Dalam forum tersebut, hampir seluruh kepala daerah mengusulkan agar gaji ASN ditanggung APBN. Mereka beralasan, beban fiskal daerah meningkat akibat berkurangnya Transfer ke Daerah (TKD) dan tambahan tanggungan dari pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Menanggapi hal tersebut, Pakar Governansi Publik Universitas Diponegoro, Amni Zarkasyi Rahman, menilai keputusan Menteri Keuangan sudah sejalan dengan prinsip desentralisasi fiskal.
“Karena asas desentralisasi adalah money follow function. Nah di mana dari desentralisasi ini ada pelimpahan kewenangan, pelimpahan fungsi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Baik itu provinsi, kota maupun kabupaten. Sehingga akan salah ketika APBN ini akan digunakan untuk membayar gaji PNS atau PPPK di provinsi atau kota kabupaten,” ujarnya dalam Elshinta News and Talk edisi pagi, Rabu (12/11/2025).
Menurut Amni, Pemerintah Daerah perlu beradaptasi dengan kebijakan efisiensi anggaran yang dilakukan pusat. Salah satu langkah yang dapat ditempuh adalah mengoptimalkan Dana Alokasi Umum (DAU) untuk menanggung beban gaji ASN dan PPPK tanpa menghambat program pembangunan prioritas.
Ia juga menekankan perlunya perubahan dalam pola kerja birokrasi. “Daerah juga harus melakukan beberapa efisiensi ya, program-program kerja yang mungkin bisa diselenggarakan secara daring misalnya,” jelasnya.
Amni mendorong penerapan Key Performance Indicator (KPI) yang lebih objektif agar tunjangan ASN berbasis kinerja, bukan jabatan. “Gaji pokok ASN relatif sama, tapi tunjangan yang membuat beban anggaran besar. Jika kinerja tidak tercapai, wajar jika tunjangan dikurangi,” ujarnya kepada News Anchor Asrofi.
Menurutnya, sistem Sasaran Kinerja Pegawai (SKP) saat ini masih lemah karena bersifat administratif, bukan berbasis hasil nyata. Ia menilai, indikator keberhasilan ASN seharusnya dikaitkan langsung dengan capaian pembangunan, seperti penurunan angka kemiskinan, peningkatan kualitas pendidikan, hingga penguatan layanan publik.
Dalam jangka panjang, Amni menyarankan pemerintah menerapkan moratorium penerimaan pegawai baru dan melakukan evaluasi tunjangan jabatan, agar kesenjangan kesejahteraan ASN pusat dan daerah dapat ditekan.
“Reformasi birokrasi harus adil. Pejabat tinggi juga harus menunjukkan teladan efisiensi, bukan hanya menuntut ASN di bawahnya,” ujarnya.
Sejumlah pendengar yang berinteraksi melalui program Talk Elshinta juga menilai, kebijakan efisiensi anggaran seharusnya tidak membebani pegawai tingkat bawah saja. Mereka berharap transparansi dan pemerataan kesejahteraan menjadi bagian dari reformasi birokrasi yang dijalankan pemerintah.
Amni menambahkan, partisipasi publik penting dalam mengawal kebijakan fiskal daerah. “Sekarang era no viral, no justice. Masyarakat harus ikut mengawasi penggunaan anggaran agar kebijakan efisiensi benar-benar berpihak pada pelayanan publik,” pungkasnya.
Penulis: Sukma Salsabilla/Ter




