Polri diminta tangkap aktor intelektual kerusuhan demonstrasi di Jakarta
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah meminta Polri untuk menangkap aktor intelektual di balik kerusuhan yang terjadi saat aksi demonstrasi 28–31 Agustus 2025.

Ilustrasi, Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Ilustrasi, Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah meminta Polri untuk menangkap aktor intelektual di balik kerusuhan yang terjadi saat aksi demonstrasi 28–31 Agustus 2025.
Menurutnya unjuk rasa yang berujung kerusuhan tersebut telah teroganisir. Di mana semula memprotes besaran tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat ini berubah menjadi penjarahan di berbagai lokasi di Indonesia.
"Semua aktor intelektual harus ditangkap semua tanpa terkecuali, jangan Tanggung-tanggung. Artinya kan memang, yang ditangkap jangan hanya yang dilapangan saja, mereka kan dibayar. Nah yang memberi upah itu yang harusnya ditangkap, gampang kok ditelusuri dari pengakuan mereka, siapa orangnya dan di mana," kata Trubus kepada wartawan, Kamis (6/11/2025).
Lebih jauh Trubus menegaskan bahwa kerusuhan seperti ini tidak bisa dipandang sebagai peristiwa spontan semata. Di tambah, pola perusakan yang terjadi di berbagai titik mengindikasikan adanya skenario yang terencana.
Untuk itu ia mendesak aparat penegak hukum agar membuka dugaan adanya provokasi terstruktur.
"Polisi harus wajib bersungguh-sungguh menangkap aktor intelektualnya. Ini agar kasus serupa tidak terjadi kembali," ujarnya.
Sementara itu Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso mengusulkan agar dibentuk Tim Koneksitas yang terdiri dari TNI-Polri guna mengungkap kasus tindak pidana kerusuhan Agustus 2025.
"Saya menyatakan pemeriksaan ini penting, belum tentu memang bisa juga mereka sebagai pelakunya. Tetapi pemeriksaan yang mendalam kemudian cermat menggunakan pendekatan scientific crime investigation," ujarnya.
Di sisi lain Teguh menilai para aktivis yang ditangkap tidak memiliki kekuatan untuk mengorganisir atau menggerakkan orang-orang di lapangan. Apalagi untuk melakukan tindak pidana kekerasan, pembakaran, dan menjarah rumah-rumah para anggota DPR, sampai rumah mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Misalnya orang-orang yang yang teridentifikasi itu alat komunikasinya pada saat itu harusnya bisa disita. Kalau sekarang dilakukan ini memang sudah sangat sulit karena data-data komunikasi mereka di lapangan tidak disita pada saat itu bisa saja data-data tersebut dihapus," pungkasnya.




